7. French Kiss

1553 Words
“Permainan kamu enggak ada lucu-lucunya tau?!” Iva mengalihkan pandangan geramnya ke jendela. “Kalau begitu, aku akan membawa anakku pulang. Kamu tidak punya hak menghalangi. Di lobi ada pengacaraku. Kamu bisa bicara dengannya kalau kamu keberatan aku membawa Abby.” Penjelasan Fabian menikam hati Iva hingga ia tidak bisa berkata-kata saking merasakan sakit. Iva tahu perpisahan ini lambat laun akan terjadi. Hanya saja, Iva tidak rela melepaskan Abby sekarang meskipun yang membawa Abby adalah ayahnya sendiri. Ketakutan Abby akan tersakiti masih menghantuinya, tapi bagaimana caranya untuk menghentikan Fabian? Meminta bantuan Raymond pun percuma karena pikiran kakaknya itu terlanjur diracuni Fabian. “Abby belum makan siang. Dia harus makan dulu sebelum pulang,” tutur Iva. “Dia bisa makan di rumah.” “Tapi aku sudah terlanjur pesan. Kamu tahu, jadwal makan siang Abby sudah telat dua puluh menit. Kalau dia harus makan di rumahmu, dia akan kelaparan.” “Oke. Aku akan menunggu Abby makan siang, lalu membawanya pulang.” Tidak banyak kata lagi, Iva bergegas kembali ke sofa dan duduk di samping Abby sambil merangkul pundak bocah cantik itu. Perasaan takut kehilangan berdenyut hingga ke setiap nadinya. Begitu petugas layanan kamar datang membawakan makan siang, perasaan Iva semakin tidak karuan. Namun, wanita itu berusaha keras untuk tidak menunjukkan semua itu. Iva segera menyiapkan makan siang Abby di meja makan yang hanya memiliki dua kursi, lalu mengajak Abby duduk di sana. “Abby makan, ya. Habisin. Enggak boleh ada sisa supaya nasinya enggak nangis.” kata Iva. Abby mengangguk. “Iya. Habis makan, Abby boleh main lego lagi, Ma?” “Boleh, Sayang.” Iva kemudian berjalan ke lemari di samping tempat tidur. Ia mengeluarkan pakaian Abby dari sana dan memasukkannya ke travel bag Abby. “Kamu tidak menyuapi Libby?” Pertanyaan Fabian membuat Iva hampir melompat karena kaget. Yang Iva tahu, sedari tadi Fabian sedang mengamati Abby makan dari pintu menuju balkon. “s**t! Kamu mengagetkanku. Kalau datang mendekat itu kasih kode. Berdeham atau bersuara gimana kek. Jangan diam saja. Bagaimana kalau aku kena serangan jantung mendadak? Kamu mau tanggung jawab?” Iva meluapkan emosinya. “Abby tidak perlu disuapi. Usia tiga tahun, anak harus belajar makan sendiri. Itu untuk melatih kemandiriannya,” lanjut Iva. “Kamu tahu banyak soal anak.” “Aku kan sudah bilang padamu. Karena adanya Abby, aku banyak membaca soal parenting.” Iva kemudian menunjukkan travel bag Abby. “Ini tas Abby. Di dalamnya ada pakaian, buku cerita, dan gelas s**u favoritnya Abby.” “Libby tidak perlu semua itu. Aku bisa membeli yang baru,” tolak Fabian dengan angkuh. Iva berkacak pinggang. Penolakan Fabian membuatnya naik darah. Pria itu tidak bisa menghargai usahanya. “Heh! Denger ya, Mr. Crazy Rich! Tidak semua orang suka dengan barang baru. Kalau barang lama dia cintai setengah mati, apa dia rela mengganti barang lamanya dengan barang baru?” “Itu hanya pakaian, buku, dan gelas. Tidak ada yang istimewa.” “Tidak istimewa menurutmu, tapi untuk Abby berbeda. Trust me!” “Terserah kamu.” “Mama, makannya cudah habis. Abby boleh main lego?” kemunculan Abby yang tiba-tiba di sana menghentikan debat antara Fabian dan Iva. Gelenyar rasa perih dan sedih tanpa dikomando membanjiri diri Iva. Saatnya perpisahan. Iva mendekati Abby, menarik pelan tangan gadis kecil itu, lalu mengangkat dan mendudukannya di atas tempat tidur. Iva sendiri berlutut di depan Abby. Ia membingkai wajah Abby dengan kedua tangannya. “Abby, Sayang. Dengerin Mama, ya. Abby pulang dulu sama Papa. Nanti Mama nyusul. Mama ada kerjaan. Sebentar. Enggak lama, kok. Nanti Mama nyusul.” “Abby enggak mau pulang cama Papa.” “Sayang, Mama cuma sebentar saja. Mama nanti nyusul Abby. Mama janji.” “Abby, enggak mau.” Abby justru menolak dan menangis. “Sayang, Mama nanti nyusul kita. Mama kerja dulu sebentar,” bujuk Fabian. “Iya, Mama cuma sebentar kok. Mau ya, pulang sama Papa?” “Abby enggak mau.” Abby keukeuh menolak. Dia malah menghambur memeluk Iva. Iva membelai kepala Abby dengan lembut. Perasaan sedih tak lagi bisa dibendung, tetapi Iva mencoba untuk tidak menangis saat membujuk Abby. “Abby, katanya Abby mau menjadi anak yang baik. Anak baik enggak boleh nangis. Anak baik juga harus patuh. Mama kerja cuma sebentar. Mama janji akan segera menyusul Abby.” “Mama janji ya?” “Iya. Mama janji. Ayo, Mama antar kamu sama Papa ke lobi.” Fabian tertegun oleh pemandangan tak terduga yang lagi-lagi menyengat jiwa seorang ayahnya. Terbersit rasa tidak tega memisahkan mereka, tetapi dia pikir dirinya yang berhak atas Abby. Bukan orang lain. Iva menoleh ke arah Fabian. Dia memelototi pria itu memberi isyarat untuk pergi segera. Namun, Fabian masih diam seperti patung. Iva berdiri, lalu menyenggol lengan Fabian dengan lengannya. “Cepatlah pergi mumpung dia mau,” ucap Iva sedikit pelan tapi sarat perintah. Fabian mengerjap. Dia mengembus napas, lalu menyambar tas milik Abby. “Kita pergi sekarang, Libby.” Abby hanya diam. Anak itu malah memegangi tangan Iva dengan erat. Iva menanggapi ajakan Fabian kepada Abby dengan menggeleng-gelengkan kepala. “Abby, yuk Mama antar ke bawah.” Abby mengangguk. Iva kembali menatap Fabian dan berucap tanpa suara. “Abby.” “No! Libby.” Fabian pun merespons dengan cara yang sama. Hanya gerak bibirnya yang membentuk kata “Abby”. Iva mengembus napas lega saat membuka pintu suite-nya. Fabian ternyata datang sendirian ke sana. Dengan langkah yang sengaja dibuat santai, Iva menuntun tangan Abby menuju lift. Fabian berjalan di belakang mereka. Namun, ketenangan Iva yang dibuat-buat harus berakhir dengan kejengkelan ketika lift terbuka. Jiaaah! Si Botak lagi. Iva memandang sinis pengawal Fabian yang kemudian mempersilakannya masuk. Pria tak berambut itu kemudian mengambil tas Abby dari tangan Fabian. “Thanks. Lobby,” ucap Fabian dan membiarkan pengawal sekaligus asistennya menekan tombol menuju ke lobi. Sementara itu, debaran yang menyayat mulai terasa perih dan sakit. Semakin dekat jaraknya dengan lobi hotel, semakin rasa sakit itu menyeruak dan terserap ke dalam diri Iva. Hanya ketika lift terbuka, seluruh perasaan itu meluluhtantakkan kekuatannya. Mata Iva mulai berkabut dan kekuatannya mulai melemah. Walaupun Iva berusaha tetap terlihat kuat, tetapi mata dan raut wajahnya menampakkan kesedihan yang hakiki. Iva nyaris tidak percaya dengan pandangannya sendiri. Fabian tidak mungkin datang sendiri dan itu benar. Di sofa tunggu di lobby, Iva melihat seorang anak buah Fabian yang lain dan seorang pria bersetelan jas hitam. Iva bisa menduga siapa pria berjas hitam itu. Pengacaranya Fabian. Iva kesal sekali melihatnya. “Sayang, Mama sampai sini saja ya nganternya,” ucap Iva. Ia kemudian menekuk saktu lututnya didepan Abby lalu memeluk dan menciumi pipi anak itu. Fabian hanya bisa memalingkan pandangan. Meskipun dia merasa sikap Iva sangat lebay, tetapi tetap saja hatinya mendenyutkan ketidak-tegaan. “Mama cepetan ya kerjanya,” ucap Abby. Iva hanya mengangguk. Dia tidak sanggup menjawab pertanyaan Abby. Iva bahkan tidak mau melihat wajah Fabian lantaran dia tidak ingin pria itu melihat wajah sedihnya. “Ayo, Sayang. Kita pulang.” Fabian mengambil alih Abby. Dia meraih tangan mungil Abby, lalu menuntunnya untuk pergi. “Bye, Mama!” kata Abby sambil melambaikan tangan. Iva hanya tersenyum dan membalas lambaian tangan Abby dengan kaku. Setetes air mata tanpa terasa jatuh ke pipinya. Pria itu telah mengambil separuh hidupnya, pikir Iva. Tanpa ucapan terima kasih dan menyisakan rasa perih, Fabian telah memisahkannya dari Abby. Iva mengembus napas. Aura kegelapan berputar-putar di atas kepala Iva. Jika Fabian bisa meninggalkannya sendirian dan telah berbuat hal tak senonoh kepada dirinya, jangan sebut namanya Iva jika dia tidak bisa membalas. Hanya dengan sekali tarikan napas, Iva berjalan cepat menyusul Fabian dan Abby sambil menyapu air mata dengan jemari. “Fabian!” Seruan Iva memenuhi lobi. Hampir seluruh pengunjung hotel yang tengah hilir mudik menoleh kepadanya, termasuk Fabian dan pengawalnya. Selain karena suara kencang Iva, rata-rata dari mereka melihat penampilan Iva yang terkesan seksi dengan hanya mengenakan rok mini berbahan denim dan atasan tanpa lengan bermodel crop. Langkah Iva menuju Fabian lebih mirip seperti model yang sedang beraksi di atas catwalk. Sementara itu, Fabian menyipitkan mata sambil memperhatikan Iva. Dia menunggu wanita itu dengan jantung berdebar kencang. Iva memang bukan tipenya, tapi pesona Iva tak bisa dipungkiri. Wajah tirus yang disempurnakan oleh hidung mancung dan mata bulat mirip mata boneka Barbie itu tidak mudah untuk dilupakan. “Ada ap—“ Pertanyaan Fabian terpotong oleh bungkaman bibir Iva. Tanpa diduga, Iva menciumnya. Wanita itu tidak memedulikan banyak pasang mata yang memandang. Dia mencium Fabian dengan intens ala french kiss. Selama beberapa saat, Fabian terenggut kaget. Namun, Fabian merasakan dirinya melayang saat lidah Iva menyelinap menyentuh lidahnya dan sedikit menari di dalam mulut. Sayang, Iva melepas ciuman di saat dirinya mulai menikmati. Ciuman yang berlangsung singkat itu menyerap kewarasan Fabian dalam waktu singkat. Oh, God! “What are you—“ “Bye, Honey!” Iva tidak memberi kesempatan pada Fabian untuk menyelesaikan kalimatnya. Dia melambaikan tangan dan tersenyum ceria pada Fabian, lalu berdadah ria pada Abby. “Bye, Abby sayang. I Love You.” “Bye, Mama! I love you too,” kata Abby sambil melambaikan tangan. Iva kemudian berbalik meninggalkan mereka. Dia senang sudah melakukannya. Bukan karena kagum, tapi karena yang lain. Mampus kamu, Fabian. Sebentar lagi ciuman kita akan viral di medsos. Seorang Fabian Arsyanendra berciuman mesra dengan mantan pelakor yang pernah dihujat emak-emak se-Indonesia. Mana yang lebih memalukan? Iva tersenyum kecut dalam langkahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD