6. Aksi Mengejutkan

2083 Words
Iva mengernyit. “Apa yang kamu lakukan?” “Menjawab tantanganmu.” Tawa Iva pecah seketika. Bukannya merasa takut atau marah dengan tindakan Fabian, Iva justru mentertawakan pria itu. “Pak Duda “sange”?” tanya Iva sambil cengengesan. Brengsek! Ejekan Iva membuat tanduk iblis Fabian muncul. Kemarahan akibat dari rasa malu yang tertahan tergambar jelas di wajah pria itu. Iva pandai menjatuhkan mental seseorang, pikir Fabian. “Aku punya banyak teman wanita yang jauh lebih cantik dan terhormat untuk mengatasi hasrat biologisku. Model abal-abal kayak kamu, tidak ada dalam daftarku,” tangkis Fabian. “Model abal-abal?” Iva mencebik. “Bapak kayaknya harus lebih banyak Googling deh. By the way, aku memang lebih suka disebut pengusaha kuliner ketimbang model. Ya, jelas saja pengusaha tidak ada dalam daftar teman kencan Pak Duda.” Iva mengangkat sebelah alisnya sambil tersenyum mengejek. Sejak memutuskan membuka usaha kafe, Iva yang pernah menggeluti dunia modeling memang berusaha keras berkonsentrasi pada bisnisnya. Wanita itu tidak lagi bergabung dengan manajemen model yang menaungi kiprahnya berlenggak-lenggok di atas catwalk dan di depan kamera selama ini. “Jangan banyak bicara kamu! Aku akan membawa Libby pulang sekarang.” Fabian menurunkan tangannya dari pundak Iva lalu bergerak menjauh. Dia berjalan menuju pintu. Namun, Iva berhasil mencegahnya membuka pintu tersebut. Wanita itu menarik tangan Fabian dan menatapnya tajam. “Kamu jangan egois. Biarkan Abby tidur. Apa kamu tidak melihat reaksinya saat melihatmu tadi?” “Dia anakku. Dia seharusnya tidur di rumahku, bukan di rumah orang asing. Tidak mengapa dia menangis histeris. Sehari-dua hari juga dia bakal lupa sama kamu.” Fabian berusaha menerobos masuk, tetapi sekali lagi Iva menghalangi. “Aku tidak yakin Abby bisa melupakanku secepat itu. Asal kamu tahu, aku tidak akan membiarkan kamu membawanya pulang kecuali kamu bisa membuktikan kalau kamu ayah yang baik.” “Kalau begitu, aku akan melaporkanmu telah menculik anakku ke polisi sekarang juga.” Fabian mengeluarkan ponselnya dan menghubungi polisi. Ancaman Fabian membuat Iva ketar-ketir. Dia siap berurusan dengan siapa saja, tapi dia tidak mau kehilangan Abby sekarang. Jika polisi datang, mau tidak mau dia akan berurusan dengan mereka dan dia akan segera kehilangan Abby. “Aku akan mengantarkannya ke rumahmu besok pagi.” Akhirnya Iva mengalah, tetapi bukan untuk kalah. Iva punya cara sendiri untuk menahan agar Abby tetap bersamanya. Fabian mengembus napas. Skeptisisme jelas-jelas terpancar dari tatapannya. Namun, dia berusaha untuk tidak membuat gaduh. “Oke. Aku tunggu sampai besok pagi.” “Setuju.” Fabian kemudian meninggalkan Iva. Selama beberapa saat Iva hanya diam berusaha memutar otak mencari cara agar dia dan Abby lolos dari Fabian. Oh, no!!! Iva baru saja mengingat sesuatu. Seluruh pemikiran akan upaya meloloskan diri harus ditunda dulu. Ada hal yang lebih penting dari itu. Iva setengah berlari mengejar Fabian. Namun, kejutan lain menyapa Iva saat Iva membuka pintu. “What the ....” Iva tidak bisa melanjutkan sumpah serapah saking terkejutnya. Fabian ternyata tidak datang sendirian. Ada sekitar empat orang termasuk si botak yang semalam menculik Iva yang mengawal pria itu. Keempat anak buah Fabian tersebut ternyata berjaga di luar sedari tadi. Namun, Iva tidak merasa cemas apalagi takut. Wanita itu nekat bertanya dengan teriakan. “Fabian, bagaimana dengan polisi itu?!” Fabian yang sedang berjalan menuju lift menghentikan langkahnya. Tanpa menoleh, dia menjawab dengan suara dan nada tak kalah tinggi dari Iva. “Bersiaplah besok pagi!” Iva menggeram lalu berdesis, “b******k!” Secepat kilat Iva menutup dan mengunci pintu lantaran khawatir Fabian akan kembali lagi. Iva mondar-mandir di depan pintu memikirkan cara agar dia dan Abby bisa menghindar dari Fabian. Sempat tercetus untuk menghubungi Raymond dan meminta bantuannya, tapi Iva merasa tidak enak kepada kakaknya itu. Dia sendiri yang menolak pengawalan yang ditawarkan Raymond. Dia akan meminta bantuan Raymond kalau dia sudah benar-benar kepepet, pikirnya. *** “Mbak yakin mau menginap di hotel malam ini?” Ada nada kaget yang terdengar dari suara Rieke ketika Iva menghubunginya melalui telepon “Staycation, Ke. Mbak dan Abby butuh suasana baru,” dalih Iva sambil membuka travel bag-nya. “Bukan karena masalah semalam kan, Mbak?” “Ya, karena masalah itu juga sih.” Iva tidak bisa berbohong kepada Rieke. Staf kepercayaannya itu telah banyak membantu menyimpan keluh kesahnya dan belum pernah bocor sejauh ini. “Ngomong-ngomong, Susan, Aldy, dan staf lainnya jangan sampai tahu ya. Mas Ray juga. Cukup kamu saja yang tahu.” “Beres, Mbak.” “Sorry, ya, Mbak jadi ngerepotin kamu. Mbak minta kamu ambil alih dulu tugas Mbak untuk sementara.” “Siap, Mbak. Selamat menikmati staycation-nya, Mbak.” Karena ancaman Fabian, Iva memutuskan untuk menghindar. Dia membawa Abby menginap di sebuah hotel berbintang lima agar privasinya lebih terjaga. Dari sofa putih yang terletak di seberang pesawat televisi, sesekali Iva memperhatikan Abby yang sedang menyusun lego di atas tempat tidur. Hanya orang tua bodoh yang menyia-nyiakan anak secantik dan sepintar itu, geramnya di dalam hati. Pertanyaan besar pun kemudian bersarang di kepalanya. Apa yang akan dilakukan Fabian pada Abby hingga orang yang menitipkan Abby memberi peringatan bahwa hidup anak itu berada dalam bahaya? “Mama, kita mau bobo di cini?” pertanyaan Abby membuyarkan lamunan Iva. Iva mengangguk, lalu bangkit dari duduknya dan menghampiri Abby. Dia naik ke atas tempat tidur dan duduk di samping Abby. “Iya, Sayang. Kita akan bobo di sini malam ini.” Iva membelai lembut kepala Abby, kemudian memperhatikan mainan gadis kecil itu. “Abby sedang buat apa?” “Buat lumah.” Abby memberikan gabungan potongan lego berbentuk rumah sederhana kepada Iva. “Lumahnya buat Mama.” Iva menerima lego dari Abby kemudian memeluknya. “Terima kasih, Sayang.” “Abby cayang cama Mama.” Pernyataan rasa sayang Abby membuat Iva terharu. “Mama juga sayang sama Abby. Sayang banget.” Iva tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Bayangan polisi menjemput dan menangkapnya sebagai penculik Abby sungguh mengerikan. Bagaimanapun, hal itu akan memisahkannya dari Abby dan mungkin dia tidak bisa lagi melindungi anak itu dari Fabian. Mungkin terdengar t***l Iva sampai sebegitunya ingin memisahkan anak dari ayah kandungnya. Namun, hasrat untuk memproteksi terbentuk begitu saja dari dalam dirinya. Sampai pagi menjelang dan siang menantang Iva masih tidak berani keluar dari hotel. Dia masih sibuk mencari cara agar tidak lagi diganggu Fabian. Ide gila sempat terlintas di kepalanya untuk membawa Abby ke rumah orang tuanya di Harleem, Belanda. Yang jadi pertanyaan, apakah Fabian tidak akan mengejarnya sampai ke sana? Ya, Tuhan! Iva melonjak dari tempat duduknya. Saking sibuknya merencanakan pelarian, dia nyaris melupakan jadwal makan siang Abby. Meskipun Abby belum meminta makan, tetapi Iva selalu menjadwalkan dengan teratur. Iva kemudian memesan makan siang untuk dirinya dan juga Abby melalui layanan kamar. Sesudah itu, Iva kembali menemani Abby menonton serial anak di salah satu saluran TV khusus anak-anak. Hanya berselang beberapa menit, bel di suite-nya kembali menginterupsi dan memaksa Iva bangkit dari tempat duduk. Ting tong! Iva berjalan menuju pintu sambil berpikir betapa cepatnya pelayanan hotel itu. “Baru berapa menit, sudah datang. Cepet banget.” Tanpa memeriksa door viewer, Iva langsung membuka pintu dan ... Godverdomme! “Hai,” sapa Fabian sambil menyunggingkan senyuman puas. Sialan! Ke mana pun Iva pergi, pria itu selalu bisa menemukannya. Tidak aneh sih mengingat reputasi dan posisi Fabian di dunia bisnis. Iva mendesah kesal. “Kamu berusaha lari?” lanjut Fabian. “Terserah kamu mau ngomong apa.” Iva merespons dengan dingin. Fabian menyelonong masuk dan menemukan Abby sedang menonton TV. Dia ingin menyapa, tapi reaksi Abby semalam membuatnya mengurungkan niat. Fabian menunggu sampai Iva berada bersamanya di sana. “Abby, Sayang. Tunggu sebentar lagi, ya. Mamam siangnya belum datang,” tutur Iva sambil menghampirinya. Abby menoleh dan respons kagetnya terlukis jelas di wajah anak itu saat melihat Fabian bersama Iva. Iva kemudian duduk di samping Abby sambil membelai rambut cokelat ikal anak itu. “Abby, Om itu papa Abby. Abby jangan takut.” “Papa?” Abby masih bingung. Iva membasahi bibirnya sebelum menjelaskan soal Fabian lagi. Ada keengganan, tapi Iva tidak bisa mengingkari fakta kalau Fabian memang ayahnya Abby. “Iya, Sayang. Om papanya Abby.” Fabian mendekat dengan hati-hati. Dia berdiri di depan meja lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. Air muka arogannya bertransformasi menjadi sangat manis. Dengan sendirinya, aura ketampanan terpancar dari senyum dan tatapan tulus pria itu kepada Abby. Sebagai pemerhati sementara, Iva pun tidak bisa menyangkalnya. Dia merasa Fabian memang tulus. Sikapnya tidak mengindikasikan kalau pria itu akan atau bisa menyakiti Abby. “Libby masih ingat Papa, ‘kan?” tanya Fabian. Abby tampak kebingungan. Gadis kecil itu menoleh ke arah Iva dan Iva dengan bijak mengangguk mengiakan. Dia kemudian menoleh kembali ke arah Fabian. “Papa,” ucap Abby. “Iya, Sayang. Ini Papa. Papanya Libby.” Abby hanya bengong mendengar pengakuan Fabian. Sebenarnya, dia bingung. “Abby,” celetuk Iva supaya Fabian meralat nama Abby. Fabian melirik pada Iva. “Namanya Libby.” “Panggilannya Abby.” Tidak mau kalah, Iva menekankan panggilannya untuk Abby. “Oke.” Fabian kemudian mengulangi bujukannya pada Abby. “Abby, ini Papa. Nanti Abby pulang bersama Papa, ya?” “Cama Mama juga?” tanya Abby. “Mama harus kerja. Abby pulang sama Papa dulu, nanti Mama menyusul,” jelas Fabian pura-pura. “Abby mau cama Mama.” Abby mulai ketakutan. Dia mendekap Iva erat. Reaksi Abby memicu Fabian dan Iva untuk saling memandang. Sorot mata mereka seakan melemparkan tanya, ‘harus bagaimana?’. “Iya. Nanti Mama ikut Abby.” Iva mengambil inisiatif untuk tidak memperburuk ketakutan Abby. Tindakan Iva sebaliknya tidak didukung oleh Fabian. Pria itu melayangkan tatapan peringatannya pada Iva. Namun, Iva tidak peduli. Iva berpura-pura tidak menyadarinya. “Bisa kita bicara?” Fabian memberi isyarat pada Iva untuk menjauh dari Abby. Iva mengangguk setuju. Dia kemudian berbisik pada Abby, “Sebentar ya. Mama bicara dulu dengan papa kamu.” Fabian tidak sabar menunggu Iva yang berjalan ogah-ogahan. Ia menarik tangan Iva lalu membawanya ke tepi pintu menuju balkon. “Apa-apaan kamu? Aku hanya akan membawa anakku pulang, bukan kamu,” tutur Fabian dengan geram. “Kamu pikir aku mau ikut ke rumahmu? Aku hanya ingin melindungi Abby,” bantah Iva tak kalah geram. “Melindungi Libby dari apa dan siapa? Dari aku?!” Fabian mengangkat sebelah ujung bibirnya tersenyum sinis. “Come on, Girl! Aku ini ayahnya. Mana mungkin aku akan menyakiti putri kandung sendiri?” Iva menyilangkan tangan di atas perutnya. “Kenyataannya, banyak ayah kandung yang tega menyakiti anaknya sendiri, bahkan sampai membunuhnya.” “Kamu berpikir terlalu jauh,” tepis Fabian, “aku tetap akan membawa Libby pulang dan tanpa kamu.” “Kalau begitu kamu berurusan denganku. Tidak hanya denganku, tapi dengan—“ “Kakakmu tidak akan menanggapi aduanmu lagi kalau itu yang ingin kamu katakan,” potong Fabian. Iva mengernyit. Pria ini bisa membaca apa yang ingin dikatakannya, tapi dia salah kalau menyebutkan Raymond tidak akan menanggapi, pikir Iva. “Kakakmu tidak akan menanggapi keluhan dari pasangan yang sedang di mabuk asmara,” lanjut Fabian. Iva kembali mengernyitkan dahi. Ucapan Fabian tidak masuk akal, kecuali dia ... Iva mengembus napas lalu menatap tajam Fabian. Pria satu ini benar-benar menggemaskan, membuat Iva kepengen merobek-robek mulutnya. “Apa yang sudah kamu katakan pada Mas Ray?”tanya Iva dengan berapi-api. “Aku dan kamu sebenarnya pacaran. Maka dari itu, aku menitipkan anakku padamu. Semalam aku banyak bicara dengan Raymond tentang kita.” Fabian menaikan satu alisnya lalu tersenyum mencemooh. “s**t!” umpatan lolos dari mulut Iva sebagai ekspresi keterkejutannya. “Dan, Mas Ray percaya?” “Tentu saja dia percaya. Dengan adanya bukti yang kuat, tidak mungkin dia tidak percaya,” tutur Fabian dengan percaya diri. “Bukti apa?” Fabian mengambil ponselnya daru saku jas lalu memperlihatkan pada Iva sebuah video yang membuat Iva nyaris pingsan. “b******k! Kapan video ini direkam?” kemurkaan Iva mendadak memuncak. Dia memelototi Fabian dan kedua tangannya sudah gereget ingin mengacak-acak wajah tampan pria itu. “Kamu tidak perlu tahu,” tandas Fabian, “dan jangan pernah menantang untuk menciumku lagi karena aku sudah merasakan rasa bibir dan seluruh tubuhmu.” Iva mendorong kuat-kuat d**a Fabian. “Sialan kamu! Kamu sudah melakukan s****l harassment padaku. Aku bisa mengadukanmu ke polisi. Biar kamu ditangkep dan dipenjara.” Fabian tertawa. “Apa mereka akan percaya? Kamu lihat di video itu, kita saling menikmati, bukan?” Iva diam menahan amarah yang meluap-luap. Bagaimana mungkin dia bisa tidur dengan Fabian sedangkan mereka baru bertemu Kemarin? Seandainya benar Iva tidur dengan Fabian kemarin malam tanpa Iva sadari, Iva seharusnya merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya saat dia bangun kemarin pagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD