1. Salah Kaprah
Daiva Bratadhikara membuka mata perlahan. Denyut nyeri di kepala dengan cepat mengembalikan pemikiran rasional wanita berusia 25 tahun itu. Beberapa jam pingsan dalam posisi duduk dengan tangan dan tubuh terikat ke punggung kursi membuat otot-otot tubuhnya terasa nyeri dan kaku. Iva, panggilan Daiva, berusaha sekuat tenaga mengangkat wajah. Dia mengerjap beberapa kali sampai iris cokelatnya terbiasa dengan cahaya yang menerangi.
Pandangannya tidak menemukan furnitur lain di sekeliling ruangan serba putih itu selain kursi yang dia duduki. Iva terdiam. Dia mencoba menggali kembali ingatan beberapa jam yang lalu sebelum dia berada di sana.
Seperti biasanya, setelah seluruh karyawan kafenya pulang, Iva baru memutuskan untuk pulang. Butiran-butiran hujan sudah berjatuhan membasahi bumi ketika Iva nekat pulang ke apartemennya menggunakan sepeda motor matic. Hanya satu keinginannya malam itu, berbaring di atas kasur empuk sambil memeluk guling. Sayangnya, Iva justru terperangkap dalam penyekapan di ruangan kosong seluas empat kali empat meter.
Derit pintu yang dibuka membuyarkan lamunan Iva. Mata wanita itu melebar melihat pria berkepala plontos yang berjalan masuk. Iva masih mengenali pria itu. Dia adalah salah satu pria yang menculiknya di halaman parkir kafe yang sudah sepi.
"Bosku akan segera menemuimu. Jadilah anak baik dan jangan banyak tingkah," pesan si botak membuat Iva berang.
"Apa maksudmu? Kamu menculikku untuk dijual? Hei, pelaku trafficking itu ancaman hukumannya berat—"
"Diam kamu!" potong si botak, "si bos datang."
Iva menunduk sambil memejam. Sangatlah manusiawi jika saat ini Iva merasa sangat ketakutan. Dia tidak tahu apa yang sedang direncanakan para penculik. Dia pun tidak tahu orang seperti apa yang akan menemuinya. Tak ayal lagi, derap langkah beberapa pasang sepatu yang terdengar kian mendekat membuat d**a Iva semakin terasa sesak. Namun, Iva berusaha keras untuk tetap kuat dan melawan rasa takutnya.
"Pekerjaan kalian lumayan juga." Suara berat seorang pria memacu jantung Iva untuk berdenyut dua kali lebih kencang.
Iva masih belum berani membuka mata. Dari suara yang menyapa telinganya, Iva memprediksikan sendiri seperti apa penampilan si pemilik suara tersebut. Dia yakin bahwa penampilan pria itu tidak jauh dari penampilan g***n-g***n nakal yang sering nongkrong di kafe miliknya.
"Kalian tunggu di luar," perintah pria itu.
"Baik, Pak." Suara si botak yang terdengar sangat patuh kepada pria itu menambah keyakinan Iva bahwa bos si botak bukanlah pria muda bertampang dewa.
Sekali lagi Iva dibuat gentar setelah langkah si botak dan rekannya terdengar semakin menjauh dan akhirnya menghilang. Degup jantungnya berdentam hebat dan nyaris menulikan telinganya sendiri, begitupun dengan tubuhnya yang gemetaran seakan sedang menderita frostbite lantaran atmosfer di ruangan itu tiba-tiba berubah menjadi sedingin Dataran Tinggi Antartika Timur. Perintah bos si botak tadi membuat ketakutan Iva semakin menggunung. Apa yang akan dilakukannya?
Otak Iva berputar mencari solusi. Dia akan menendang pangkal paha pria itu sekuat tenaga jika pria itu mencoba melakukan tindakan tak terpuji kepadanya. Dengan tekad kuat, akhirnya Iva memberanikan diri mengangkat wajah dan membuka mata.
Ke mana dia? Mata Iva membelalak. Dia tidak percaya saat pandangannya tak menemukan seorang pun di hadapannya. Dia menoleh ke sebelah kiri dan hanya mendapati lukisan abstrak dalam bingkai berwarna emas yang melekat di dinding. Namun, Iva menemukan pemandangan lain yang mematri tatapannya ketika ia menoleh ke sebelah kanan.
Tampak seorang pria sedang berdiri menghadap ke jendela besar yang terbuka lebar. Tubuh pria itu tinggi dan atletis dengan bahu lebar di balik jas abu-abu yang dikenakannya. Rambut cokelatnya berkilauan tertimpa sinar matahari. Tunggu. Apa mungkin pria itu .... Iva tidak menyelesaikan hipotesisnya. Iris cokelatnya tiba-tiba saja terperangkap sepasang mata hijau yang menatapnya dengan tajam. Pria itu sudah berbalik tanpa Iva sadari. Meski tanpa senyuman, wajah yang memiliki garis rahang kuat dan tulang pipi yang tinggi itu tampak memesona. Iva belum pernah melihat wajah nyaris sempurna bak gambaran dewa-dewa Olympus sebelumnya.
Saking terpesonanya Iva terdiam cukup lama saat pria itu berjalan mendekat. Perasaan takut yang sempat menyelimuti perlahan-lahan menguap entah ke mana. Iva bahkan melupakan bahwa dirinya sedang berada dalam sebuah drama penyanderaan. Selama sedetik, tepat sebelum pria itu berhenti di hadapannya, napas Iva terhenti dan gambaran singa jantan yang siap menerkam melintas di benaknya.
"S-siapa kamu?" Suara Iva terdengar sedikit bergetar terdorong oleh rasa takut sekaligus penasaran.
Fabian Arsyanendra nyaris tak menyadari tatapan tajamnya pada Iva perlahan-lahan melunak. Mata bulat dan bibir merah muda Iva mampu menghipnotis pria itu dalam hitungan detik. Namun, rasa kecewa dan sakit hati kembali menyeruak dengan cepat dan mengembalikan sisi arogannya. Iris sehijau hutan tropisnya kembali menggelap dan rahangnya mengeras disertai ekspresi jengkel.
"Kamu pura-pura bodoh atau i***t?" Fabian melontarkan sindiran pedas. "Di mana anakku?"
Kedua tangan Fabian yang terkubur di saku celana, raut wajah angkuh, dan cara pria itu bertanya dengan jelas memperlihatkan dominasinya di sana. Saat itulah Iva menyesali kekagumannya pada Fabian. Iva akhirnya menyimpulkan kalau pria itu adalah dalang penculikan terhadap dirinya. Dia yang memerintahkan si botak menculik dan menawannya di sana. Menyebalkan.
Iva menggeleng. Dia kemudian menurunkan pandangannya ke lantai sambil berpikir keras kenapa pria itu mencari anaknya. Siapa anaknya? Oh, tidak! Jerit Iva dalam hati ketika menyadari suatu hal.
"Aku bertanya kepadamu, Daiva Bratadhikara." Nada bicara Fabian terdengar mengintimidasi.
Dari mana dia tahu namaku? Iva tetap menunduk meskipun jantungnya nyaris meledak karena terkejut. Gertakan pria yang tidak dikenalnya itu tidak akan mengubah keputusannya untuk tetap bungkam. Iva kesal karena diperlakukan seperti penjahat yang sedang diinterogasi.
Tidak sabar dan merasa diabaikan, Fabian mencengkeram rahang Iva dan mengangkat wajah wanita itu hingga pandangan mereka sejajar. Mata Fabian memancarkan kilat amarah yang meledak-ledak yang siap menenggelamkan Iva ke dalam kobaran amarah dan rasa takut.
"Aku bertanya padamu, di mana anakku?" tanya Fabian sekali lagi dengan nada geram.
"Bisakah kamu bertanya dengan cara yang lebih sopan?" tantang Iva berlagak berani, padahal rasa takut mulai menyelimuti dirinya lagi dan lagi.
Fabian mengangkat sebelah ujung bibirnya tersenyum sinis. "Apakah orang sepertimu bisa diajak bersopan santun?"
"Orang sepertiku?" Iva menyipitkan mata, lalu menatap Fabian penuh selidik. "Apa maksudmu dengan orang sepertiku? Kamu pikir aku penculik anak-anak? Asal kamu tahu, ya, aku lebih suka menculik bapak-bapak daripada menculik anak-anak."
Fabian melepaskan cengkeramannya dari rahang Iva dengan tekanan penuh, membuat wajah wanita itu terlempar ke samping. "Jangan banyak bicara! Kamu hanya perlu menjawab pertanyaanku."
"Bertanya itu ada etikanya." Iva meradang. "Kamu tidak bertanya tapi mengancam. Apa yang kamu lakukan padaku, jelas tidak mencerminkan kalau kamu dan orang-orangmu adalah orang yang punya sopan satun."
Fabian mendesah kesal. Nyaris tidak pernah ada seorang pun yang menunjukkan reaksi menantang seperti Iva kepada dirinya, terutama seorang wanita. Iva begitu berani meskipun dia sedang berada dalam posisi tertekan.
"Kamu cukup berani berbicara seperti itu padaku." Fabian tersenyum mencemooh.
Iva membalas dengan respons yang sama. Dia tersenyum sinis dan berpura-pura tidak terpengaruh oleh intimidasi yang dilayangkan Fabian. "Aku tidak punya alasan untuk tidak berani. Semua ancaman dan perlakuan gilamu padaku sama sekali tidak membuatku takut. Kamu tahu siapa aku?"
Fabian mengangkat sebelah alis tebalnya. Tatapan merendahkan pria berusia 33 tahun itu mengunci tatapan Iva yang mulai meredup karena takut. "Tentu saja aku tahu siapa kamu, Daiva Bratadhikara. Kamu anak ke-2 pemilik Gracious Grow. Adik satu-satunya dari Raymond Bratadhikara. Kamu seorang model yang banting stir jadi pengelola kafe setelah bermasalah dengan kakak dan kakak iparmu."
"Bagus kalau kamu tahu. Aku percaya kalau sampai pagi aku tidak kembali ke apartemen, kakakku akan menggelar pasukan untuk mencariku. Dan kamu tahu apa yang akan terjadi kalau sudah begitu? Dia tidak akan membiarkan siapa pun lolos, termasuk kamu." Iva masih berpura-pura tidak terprovokasi ancaman Fabian, padahal dia ketakutan setengah mati.
"Aku takut sekali mendengar ancamanmu," sindir Fabian. Pria itu kemudian menyuarakan tawa mengejek. Dan sedetik kemudian, wajah Fabian kembali bertransformasi seperti semula. Dingin dan tanpa ekspresi. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan dan mendekatkan wajahnya ke wajah Iva. Ujung hidungnya hampir beradu dengan ujung hidung Iva. "Katakan di mana anakku?"
Iva mengernyit. Alih-alih bisa menendang Fabian seperti rencananya, kedua kaki Iva justru mendadak terasa lemas dan tidak mau diajak bekerja sama. Tubuh Iva membeku. Dia menyumpahi dirinya sendiri dalam hati karena tidak bisa mengendalikan reaksi ekstrem fisik dan psikologisnya.
"Aku tidak tahu di mana anakmu. Lagi pula, kenapa kamu bertanya soal anakmu kepadaku? Kenapa kamu tidak menanyakan anakmu ke ibunya?" Iva memberanikan diri menjawab.
Fabian menarik wajahnya menjauh dari Iva. Pria itu kemudian berdiri, lalu berbalik memunggungi Iva dan berkacak pinggang. Selama beberapa saat keheningan memenuhi ruangan tersebut.
"Anakmu punya ibu, 'kan?" Iva menguji reaksi Fabian karena dinilai terlalu lambat. Dia tidak ingin menyaksikan diamnya Fabian lebih lama lagi. Iva ingin masalahnya dengan pria asing itu lekas kelar. "Anakmu tidak lahir sendiri ke dunia ini, 'kan?" lanjut Iva sambil mengamati gerak-gerik Fabian.
"Aku akan menghabisi si p*****r itu kalau aku menemukannya," desis Fabian.
Ooops! Mata Iva melebar dan tubuhnya menengang seketika seperti baru saja tersengat aliran listrik. Kebencian yang didesiskan Fabian membuat Iva kembali diselimuti ketakutan luar biasa. Dan ketika Fabian berbalik kembali lalu menatapnya, saat itu juga jantung Iva seakan berhenti berdetak.
"Katakan di mana anakku dan kamu akan kulepaskan," tutur Fabian.
Iva menelan ludah. Di bawah tekanan dan rasa lelah yang berlebihan, Iva berada dalam dilema. Jika dia masih menjadi Iva yang dulu, dia mungkin akan dengan mudah mengatakan di mana anak Fabian berada, tetapi Iva yang sekarang berbeda. Iva tahu untuk menjadi orang baik itu tidak mudah dan dia berusaha keras untuk menjadi seperti itu.
"Kamu bisa melakukan apa saja kepadaku, tapi jawabanku akan tetap sama. Aku tidak tahu," jawab Iva tegas.
Fabian memperlihatkan seringai iblisnya sambil menatap geram kepada Iva. "Kalau begitu, kamu tidak akan pulang sampai anakku ditemukan."
"Kamu mencari mati dengan menahanku di sini," sambar Iva ketus.
"Siapa yang bilang aku akan menahanmu di sini? Kamu akan berada di rumahku menggantikan posisi si p*****r itu sampai anakku ditemukan."
Apa?!!! Mata Iva melebar secara otomatis, begitupun dengan detak jantungnya yang mulai mengentak-entak hingga Iva nekat memberontak.