8. Terhimpit Ragu

1596 Words
Terperangkap sepi dan terbuai sedih adalah paket komplit yang dirasakan Iva setelah kembali ke apartemennya. Kehilangan Abby, Iva seperti kehilangan sebelah paru-parunya. Dia masih bisa hidup dan bernapas, tapi tidak optimal. Iva tidak pernah merasakan kesepian yang begitu mencekam seperti sekarang. Bayangan Abby terus menari-nari di pelupuk mata dan dengan lancang menyeruakkan memori susah hati. Iva tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Abby yang menunggunya untuk datang. Abby pasti menangis. Apa yang akan dilakukan Fabian kalau Abby menangis? Apakah jiwa kebapak-annya bisa membujuk dan menenangkan Abby? Oh, ya, Tuhan! Iva menangkup wajah. Fabian tidak akan membujuk atau mendengarkan Abby menangis. Dia mungkin akan pergi bersenang-senang dan berbagi peluh dengan teman kencannya setelah berhasil membawa pulang Abby. Dia pasti mempekerjakan seorang nanny untuk merawat Abby, pikir Iva. Teet! Teet! Dering ponsel membuat Iva tersentak. Dia meraih ponselnya dari atas meja, lalu melihat ke layar alat komunikasi tanpa kabel itu. Unknown number. Enggan tapi penasaran, akhirnya Iva mengangkat panggilan telepon tersebut. “Halo.” “Iva.” Iva mengembus napas. Otaknya kembali keruh mendengar suara Fabian yang memanggil namanya dari ujung telepon. Cowok tidak waras ini lagi. “Iya. Ada apa? Kangen?” tanya Iva asal dan dengan nada ketus. “Kamu harus bertanggung jawab atas apa yang kamu lakukan di lobi hotel kemarin.” “Heh, cowok sinting! Aku hanya mengaktualisasikan apa yang kamu katakan pada Mas Ray. Apa itu salah? Kamu sendiri yang bilang kalau kita pacaran. Jangan playing victim. Enggak lucu!” “Mengakutualisasikan, hah? Oke ....” Suara Fabian terdengar tidak kaget, justru terkesan sedang mencermati. “Bagaimana dengan Abby? Apa dia—” “Dia baik-baik saja,” potong Fabian, “kamu tidak perlu mengkhawatirkannya. Justru kamu sendiri yang harus mengkhawatirkan dirimu atas apa yang sudah kamu perbuat.” “Dasar cowok gila! Seharusnya kamu berterima kasih ....” Tuuut ... tuuut .... Sialan! Iva mengumpat pada dirinya sendiri saat menyadari Fabian telah memutus sambungan telepon. “Seenak jidatnya saja aku yang harus tanggung jawab. Dia yang lebih dulu memulai perang ini,” gerutu Iva sambil meremas-remas tangannya sendiri. Iva meraih tas selempang hitam yang talinya tersampir ke sandaran kursi, lalu memasukkan ponsel ke dalam tas tersebut. Terbunuh sepi sendirian, Iva akhirnya memilih untuk pergi ke kafe berharap menemukan sedikit hiburan. Tidak hanya itu, Iva juga ingin melihat perkembangan kafe setelah dua hari dia tinggalkan. “Abby enggak ikut, Mbak?” Sambutan Rieke kembali mengorek rasa sakit yang sedang bergelimang di dalam diri Iva. Iva tidak ingin menjawab, tetapi dia merasa Rieke atau siapa pun tidak perlu mengetahui apa yang terjadi pada perasaannya. Perasaannya adalah miliknya dan siapa pun tidak berhak menilai rasa sedihnya. Intinya, Iva terlalu gengsi mengakui dia sedang bersedih. Maka dari itu, sebisanya Iva menutupi hal tersebut. “Abby pulang ke rumah bapaknya,” jawab Iva dengan nada standar, biasa saja. Dari seberang meja bar Rieke mengerutkan dahi. “Bapaknya? Jadi, orang tua Abby sudah ketemu, Mbak?” “Siapa mereka, Mbak? Kok, bisa sih membuang anak sembarangan, padahal anaknya cantik banget. Pinter lagi,” sambar Susan sambil meletakkan dua gelas jus ke atas baki. Raut wajahnya terlihat kepo maksimal. “Fabian Arsyanendra,” sahut Iva sebelum menyesap jus stroberi favoritnya. “Fabian Arsyanendra yang pengusaha itu, Mbak?” tanya Rieke dengan nada setengah terkejut. “Kamu tahu dia, Ke?” Sekarang Iva yang terkejut. Stafnya saja tahu siapa Fabian Arsyanendra, sedangkan dia tidak. Payah. “Ya, tahulah, Mbak. Dia kan sering muncul di TV. Beberapa tahun lalu dia kan pernah viral karena menyewa satu gedung hotel bintang lima di Bali untuk menginap para tamu undangan di pesta pernikahannya. Bukan hanya itu, dia juga sengaja menyewa satu pesawat komersial untuk memboyong para tamu dari Jakarta dan memberi tiket pesawat gratis untuk tamu dari luar Jakarta. Beruntung banget yang jadi istrinya,” jelas Rieke. Ups! Iva nyaris tersedak mendengar penjelasan Rieke. Sepertinya pernikahan Fabian dan mantan istrinya begitu meriah dan mengesankan. Namun, kenapa mereka bisa bercerai sekarang? Pertanyaan itu menyelinap ke benak Iva secara tiba-tiba. “Tapi kok aneh ya, Mbak, kenapa dia bisa menelantarkan anaknya di depan kafe ini?” lanjut Rieke. “Ya, bisa, Ke. Banyak kemungkinan. Entahlah, Mbak juga enggak ngerti. Mungkin mantan istrinya kali yang sengaja melakukan itu. Bisa juga ada orang jahat yang sengaja ingin membuat Fabian menderita. I don't know,” jawab Iva. “Jadi, gosip perceraian Fabian dengan istrinya itu benar, ya, Mbak?” tanya Rieke lagi. “Enggak tahu juga, tapi Fabian bilangnya mantan istri. Itu artinya Fabian sudah bercerai dengan istrinya, ‘kan?” Rieke mengangguk-anggukkan kepala. Dia lalu melihat Susan yang masih menjadi pendengar setia. “San, tamunya nunggu minuman tuh.” Susan mengangkat bahu, kaget. “Eh, iya.” Beberapa saat setelah Susan meninggalkan mereka, Rieke kembali bicara dengan nada pelan dan penuh rasa bersalah. “Kemarin ada Fabian datang ke sini, Mbak. Dia nanya-nanya soal Mbak. Saya kira bukan dia yang berurusan sama Mbak sampai Mbak nginep di hotel. Maaf, Mbak. Saya enggak tahu.” “Pantas saja dia tahu Mbak dan Abby ada di hotel.” “Apa, Mbak?!” tanya Rieke dengan nada terkejut. “Dia tahu Mbak nginep di hotel?” Iva mengangguk mengiakan. “Sekali lagi saya minta maaf, Mbak, tetapi saya berani sumpah saya enggak bilang Mbak dan Abby menginap di hotel. Dia cuma nanya-nanya soal keseharian Mbak dan saya jawab apa adanya. Sumpah, itu doang, Mbak.” Rieke tampak ketakutan dan nada bicaranya terdengar sedikit bergetar. Meskipun sedikit kecewa kepada Rieke, tetapi Iva tidak bisa menumpahkan kekecewaan gadis itu. Fabian bisa saja menyelidiki sambungan telepon dari dan ke kafe ini dengan mudah. Orang-orang seperti Fabian punya banyak koneksi. “Enggak apa-apa, Ke. Sudahlah. Kamu enggak usah ngomongin dia lagi.” Iva berusaha menutup obrolan, tetapi Rieke justru memancing lebih dalam. “Mbak enggak pacaran sama dia, ‘kan? Masalahnya ....” Rieke tidak melanjutkan ucapannya dan malah terdiam sambil menatap Iva dengan tatapan sedikit takut dan cemas. Iva mengangkat kedua alisnya. Rasa penasaran menyambanginya melihat reaksi Rieke. “Masalahnya apa, Ke?” Rieke mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukkan pada Iva video saat Iva mencium Fabian di lobi hotel melalui akun pribadi media sosialnya. Iva menelan ludah, tapi ia merasa puas akhirnya video itu tersebar luas dan viral. Tahu rasa kamu, Fabian! Makan tuh malu! Pacaran sama mantan “ani-ani”. Mengabaikan harga dirinya yang terlanjur rusak dan berantakan setelah memadu kasih dengan pria beristri beberapa bulan lalu, Iva justru mensyukuri kalau dia dan Fabian dianggap sepasang kekasih. Tujuannya ya cuma satu, membuat Fabian malu karena berpacaran dengan mantan pelakor yang pernah viral. “Oh, itu. Mbak enggak pacaran sama dia kok. By the way, kamu percaya kalau Mbak pacaran sama si Fabian itu?” “Ya, kalau melihat video ini sih ....” Rieke menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil memandang Iva. “Iya. Saya percaya, Mbak.” Iva mengembus napas lalu tersenyum. “Bagus kalau kamu percaya.” Rieke menarik sebelah ujung bibirnya sambil mengernyitkan alis. Dia merasa Iva sangat aneh. Iva mengaku tidak pacaran dengan Fabian, tapi Iva malah memujinya lantaran memercayai kalau Iva dan Fabian tengah berpacaran. Aneh. “Ekspresi kamu jelek banget, Ke. Biasa aja kali.” Iva turun dari kursinya. “Saya enggak marah. Kalau ada yang nanya saya dan Fabian pacaran, bilang saja iya. Oke?” Rieke melongo. Matanya tidak lepas dari Iva sampai wanita itu menaiki anak tangga menuju ke ruang kerjanya di lantai atas. Dia lalu menepuk jidatnya. Haduh! **** Seminggu berlalu dan Fabian masih terus berusaha keras membuat Abby mengerti kalau wanita yang dipanggilnya “mama” tidak akan pernah menemuinya lagi. Berbagai cara telah dia coba supaya anak itu bisa melupakan Iva. Namun, Abby sepertinya masih terus mengingat Iva. Siang itu Fabian sengaja pulang dari kantor dan meninggalkan pekerjaannya lebih cepat setelah mendapat panggilan telepon dari ART seniornya, Bu Nur. “Suhu badannya makin tinggi, Pak. Non Libby juga enggak mau makan. Suster Ning sudah berusaha terus membujuknya, tetapi si Non tetap enggak mau makan.” Bu Nur menjelaskan sebelum Fabian masuk ke kamar Abby. Fabian mengembus napas. Ketegangan dan kekhawatiran tampak jelas berkilat di matanya. “Ya, sudah. Hubungi Sheila sekarang, Bu. Minta dia segera datang.” Bu Nur mengangguk patuh. “Baik, Pak.” Fabian kemudian masuk ke kamar Abby dengan perasaan tidak karuan. Sedih sudah menjadi bagian rasa terbesar yang dimilikinya. Kamar anak bernuansa merah muda yang cerah berbanding terbalik dengan wajah muram Abby yang terbaring lemas di atas tempat tidur. Fabian meletakkan tas kerjanya di sofa kecil berwarna merah muda di samping tempat tidur, lalu duduk di tepi ranjang. Dia menempelkan punggung tangannya ke dahi Abby. Gadis kecilnya demam dan dia tahu apa penyebabnya. “Papa,” panggil Abby dengan suara sedikit serak. Fabian berusaha menyembunyikan ekspresi sedihnya dengan tersenyum. “Iya, Sayang.” “Mama mana?” tanya Abby untuk kesekian ratus kalinya. Anak itu tidak berhenti bertanya tentang mama sejak dia kembali ke rumah. “Mama masih kerja. Sambil nunggu Mama, Abby makan ya?” Raut wajah Abby kembali muram. Matanya mulai berkaca-kaca. “Abby mau makan cama Mama.” “Kalau Abby mau makan, Mama pasti akan datang,” bujuk Fabian. “Abby mau Mama. Mama! Mama!” Abby menangis bombay. Suara tangisnya memenuhi seisi kamar hingga Suster Ning, pengasuhnya, harus menggendong dan menenangkan Abby. Fabian tertegun melihat Abby yang cukup histeris. Selama beberapa menit Fabian hanya diam dan tidak bisa berbuat apa-apa hingga akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari kamar Abby. Fabian tidak sanggup mendengar tangisan Abby. Selain itu, hatinya merasa tersayat-sayat melihat kondisi Abby yang melemah. Sebagai seorang ayah, Fabian merasa hatinya tercabik-cabik melihat Abby justru menangisi wanita yang bukan ibunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD