“Di mana Libby?” Fabian berusaha menerobos masuk, tapi Iva menghalangi dengan merentangkan satu tangannya ke kosen pintu.
“Bertamu itu pakai etika,” tutur Iva dengan suara pelan tetapi tegas. “Aku yakin kamu orang berpendidikan dan tahu aturan.”
Fabian menatap tajam Iva. Sorot matanya memancarkan rasa gemas sekaligus marah kepada perempuan itu. Namun, Iva tidak sedikit pun terprovokasi. Iva tetap berdiri dan berusaha memperlihatkan ketangguhannya.
“Ngapain kamu ngeliatin aku begitu? Naksir?” cetus Iva tanpa memikirkan risiko Fabian bisa saja semakin murka.
Fabian tidak mengubah ekspresinya. Dia tetap menatap Iva dengan kesal dan beberapa saat kemudian kalimat pedasnya terlontar ke luar. “Hanya laki-laki bodoh yang naksir perempuan toxic sepertimu.”
“Toxic, hah?!” Iva tersenyum sinis. “Kamu itu ganteng, sayangnya kamu bego. Ngopi dulu sana sebelum kamu menyebut orang “toxic”.”
“Aku tidak punya waktu untuk berdebat. Minggir,” desis Fabian sambil menurunkan tangan Iva dengan kasar dari kosen pintu, lalu menyelonong masuk.
“Auw!” Sambil mengaduh merasakan punggung tangannya yang sakit akibat terbentur kosen, Iva mengejar Fabian dengan langkah cepat. Dan ketika tangannya bisa meraih dan meremas tangan kemeja biru Fabian, Iva memaksa pria itu untuk berbalik menghadapnya. “Abby sedang tidur. Jangan berisik!”
“Namanya Libby bukan Abby.”
“Bodo amat! Bagiku, dia Abby.”
Dahi Fabian mengernyit. Sorot matanya masih tetap sama seperti sebelumnya. Dia berusaha keras menahan rasa kesalnya terhadap perempuan bernama Iva ini. “Jangan sembarangan mengubah nama putriku!”
“Putri yang kamu telantarkan di depan kafeku?” Iva mengangkat sebelah alis mengekspresikan sindiran.
“Kamu tidak tahu apa-apa tentang aku dan hidupku. Jangan menghakimiku.”
“Kamu juga tidak tahu apa-apa tentang aku. So, jangan pernah menyebutku “toxic”. Paham?!”
“Aku bisa saja melaporkanmu ke polisi atas tuduhan penculikan putriku.”
“Aku juga bisa melaporkanmu ke polisi atas tuduhan penelantaran anak dan memperlakukannya dengan tidak baik hingga membahayakan jiwanya.”
Dahi Fabian kembali mengernyit. “Apa maksudmu?”
“Di surat yang ditinggalkan istrimu, di sana ditulis kalau hidup Abby berada dalam bahaya.”
“Jadi kamu mengenal si p*****r itu? Kalian bekerja sama untuk memisahkan aku dari anak kandungku?” Fabian mengangkat sebelah ujung bibirnya tersenyum sinis. “Sudah kuduga.”
“Heh, cowok sinting! Jangan menyebutnya p*****r. Dia itu ibu dari anakmu. Hormatilah dia sebagai orang yang melahirkan anakmu.”
“Jadi benar kamu mengenalnya? atau—“
“Aku bahkan tidak tahu siapa dia,” potong Iva dengan nada geram. “Kalau aku membelanya, itu karena aku perempuan. Aku tidak suka jika ada laki-laki yang membicarakan buruk pasangannya.”
“Pintar berkelit juga.” Fabian tersenyum pahit sekali lagi. “Perlu kamu ingat, dia bukan istriku lagi. Dia itu mantan istriku.”
“Aku tidak peduli statusnya apa. Yang jelas, dia sudah memperingatkanku dalam suratnya. Dan aku, aku tidak akan membiarkanmu membahayakan jiwa putrimu.”
Fabian menepis kasar tangan Iva dari kemejanya, lalu berbalik dan berjalan lebih jauh ke dalam. Pandangannya menemukan dua pintu kayu berwarna cokelat di tengah-tengah ruang tamu. Otaknya mendadak bekerja keras untuk memutuskan pintu mana yang akan dia tuju. Hanya beberapa detik berselang, dia melangkah menuju pintu di samping meja mini bar. Prediksinya tidak salah. Kamar itu kamar Iva.
Panik menyengat Iva seketika. Iva mengambil langkah seribu untuk menghalangi Fabian masuk ke kamarnya. Dia menarik tangan Fabian. “Heh, cowok gila! Jangan sembarangan masuk ke kamar orang!”
Lagi-lagi, Fabian menepis tangan Iva. Pria itu tidak peduli dengan usaha Iva untuk menghalanginya. Dia memutar kenop dan membuka pintu. Hanya sesaat setelah celah pintu terbuka semakin lebar, pemandangan yang terpapar iris hijaunya secepat kilat mengirimkan sensasi “plong” dan bahagia ke dalam diri.
“Libby ....” Kebahagiaan terpancar dari mata Fabian. Raut wajahnya berseri-seri melihat sang putri tertidur nyenyak. “Libby!”
“Jangan berisik!” Iva menekankan peringatannya sambil memelototi Fabian. “Dia sedang tidur.”
“Dia putriku dan aku harus membawanya pulang.”
“Tidak. Kamu tidak boleh membawanya.”
Iva memegangi tangan kiri Fabian dan berusaha menghentikan langkah pria itu. Namun, Fabian tak menggubris lagi upaya Iva. Dia terus melangkah meskipun Iva menahan dan memegang erat tangannya. Saking kuatnya tekad Fabian, dia tidak merasakan Iva sebagai beban yang menggelayuti tangannya. Bahkan, Iva ikut terseret mengikuti langkah Fabian menuju ranjang.
“Lepaskan tanganku!” Fabian mengibaskan tangan kirinya, tapi Iva tetap memegangi.
“Kamu pikir aku akan membiarkanmu mengganggu Abby? Jangan harap!”
Tepat di samping ranjang, Fabian menghentikan langkahnya. Pria itu mendesah kesal, lalu dengan sengaja menekankan tangan kirinya ke pundak Iva dengan tenaga penuh. Tersengat rasa terkejut, tubuh Iva kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh terjengkang ke atas kasur. Namun, sebelumnya Iva menarik lengan kemeja Fabian sekuat tenaga hingga Fabian pun ikut jatuh dan mendarat tepat di atas tubuhnya. Beruntung, mereka berdua jatuh beberapa sentimeter dari Abby sehingga tidak menindih anak itu. Meskipun begitu, Iva tetap saja menjerit karena panik.
“Auw!” Iva merasakan tubuhnya terhimpit dan tidak bisa bergerak. Napasnya pun mendadak sesak. Selama beberapa saat ia berusaha keras mengumpulkan tenaga dengan menarik napas dalam-dalam.
Fabian sendiri tidak menyangka bisa ikut terjatuh. Parahnya lagi, dia jatuh menindih tubuh Iva. Wanita ini benar-benar membuatnya kesal dan marah. Namun, gelombang emosi yang membakar kesabaran tersebut perlahan menguap ketika dia mengangkat wajahnya dari samping wajah Iva. Bibir merah muda alami Iva yang merekah begitu menantang dan membuat Fabian merinding ngeri. Perasaan aneh tiba-tiba saja mengalir hingga ke seleruh tubuh dan mendenyutkan rasa “ingin”.
Sialan! Fabian menyumpahi dirinya sendiri yang nyaris tak terkendali.
“Hei, cowok sinting! Minggir kamu!” Seruan Iva sesaat kemudian mengembalikan Fabian ke bumi dan secara otomatis langsung menatap tajam Iva.
“Kamu yang bikin aku jatuh.”
“Kamu yang mendorongku. Minggir!” Iva berusaha mendorong pundak Fabian, tapi Fabian tak bergeming. “Dasar gila. Minggir!”
Fabian sebenarnya tidak benar-benar menindih tubuh Iva karena dia menahan berat tubuh bagian atasnya dengan siku di kedua sisi lengan Iva.
“Bicara yang sopan, baru aku akan turun dari ....” Fabian menurunkan pandangan ke d**a Iva yang sedikit terekspos. “Atas ini,” lanjutnya.
Iva menarik napas dalam-dalam sekali lagi. Oksigen yang sebetulnya bisa dia hirup dengan mudah, saat ini menjadi lebih sulit. Iris hijau Fabian yang menembus matanya tak pelak lagi menyekat aliran napas wanita itu.
“Mama!” Entah kapan Abby bangun, tetapi anak itu sudah duduk. Wajahnya tampak ketakutan dan pipinya sudah basah oleh air mata. Abby menangis.
Jeritan Abby berhasil menguapkan tensi ketegangan Iva dan Fabian sekaligus menciptakan kepanikan baru. Fabian turun dari tubuh Iva dan kemudian berjalan dengan lututnya di atas ranjang mendekati Abby.
“Libby, Sayang. Ini Papa,” tutur Fabian.
Abby melihat Fabian dan tampak ketakutan. Anak kecil itu kembali menangis sambil memanggil Iva. “Mama! Mama!”
Iva segera beranjak mendekat pada Abby di sisi lain, kemudian memeluknya. Tindakan Iva sempat hendak dicegah Fabian, tetapi wanita itu menepis tangan Fabian.
“Abby ketakutan. Diamlah,” ucap Iva memperingatkan.
“Aku—“
“Sst!” Iva menempelkan telunjuknya ke bibir dan tidak membiarkan Fabian untuk protes.
Fabian mengembus napas. Sejumput rasa jengkel terpancar dari mata dan air mukanya. Dia beringsut ke tepi ranjang menunggu Iva menenangkan Abby.
“Abby, jangan menangis. Kita bobo lagi, yuk!” bujuk Iva sambil menyapu air mata dari pipi tembam gadis kecil itu. Ia kemudian mengelus-elus kepalanya dengan lembut.
“Enggak mau. Abby takut sama Om itu.” Abby menunjuk Fabian dengan satu tangan sementara tangan lainnya memegang erat kaus Iva. Anak itu memandangi Fabian seolah-olah Fabian adalah monster yang menakutkan.
Racun apa yang diberikan wanita ini sampai anakku sendiri tidak mengenaliku? Dari tepi ranjang, Fabian mengarahkan tatapan menuduhnya pada Iva. Ia tidak menduga putri kecilnya bisa melupakannya dengan cepat.
Walaupun tidak begitu mengerti arti tatapan Fabian, tapi Iva tahu pria itu tidak senang dengan kenyataan yang menyambutnya. Bahwa anaknya menganggapnya menakutkan, itu menyakitkan. Namun, hal tersebut membuktikan bahwa apa yang tertulis di dalam surat itu adalah benar. Fabian berbahaya untuk Abby, pikir Iva.
“Abby, dengarkan Mama.” Iva membingkai wajah mungil Abby sembari menatapnya hangat. “Abby jangan takut sama Om itu. Om enggak nakal kok.”
“Tadi Om itu nakal cama Mama,” tutur Abby.
Oh, no! Iva akhirnya tahu alasan Abby histeris saat bangun tadi. Rupanya Abby menganggap Fabian sedang menyakitinya. Dia menoleh ke arah Fabian, begitupun dengan Fabian. Mereka saling memandang, terkejut, oleh ucapan polos Abby. Ini harus segera diluruskan.
“Abby, Sayang. Tadi Om sama Mama sedang bercanda. Om tidak nakal. Om baik kok. Iya, kan, Om?” Iva menoleh lagi ke arah Fabian lalu melebarkan matanya memberi isyarat agar pria itu mengiakan.
Fabian menerima sinyal peringatan Iva dengan baik. Dia tersenyum pada Abby. “Iya. Tadi, Om sedang bercanda dengan Mama.”
“Tuh, dengarkan apa kata Om. Om sedang bercanda sama Mama tadi. Sekarang, Abby tidur lagi ya. Besok kan kita mau jalan-jalan ke mall. Kita mau beli mainan yang banyak buat Abby.” Iva membaringkan Abby dan menyelimutinya.
“Abby mau Mama bacakan cerita?” tanya Iva.
“Iya, tapi Abby mau minum cucu dulu.”
“Oke.” Iva melihat ke arah Fabian yang masih menjadi pemerhati dari tepi ranjang. “Tolong, ambilkan susunya di meja ruang tamu.”
Fabian mengernyitkan dahi. “Apa? Kamu memerintahku—“
“Iya.” Iva memotong reaksi terkejut Fabian. “Tolong ambilkan. Gelasnya warna merah muda.”
Dengan perasaan jengkel menjejali kepala, Fabian bangkit dan keluar dari kamar tersebut. Kalau bukan demi putrinya, dia tidak akan pernah sudi diperintah. Apalagi, oleh seorang wanita seperti Iva yang notabene punya reputasi sama dengan mantan istrinya. Wanita nakal. Niatnya datang ke apartemen Iva untuk membawa putrinya pulang harus terhalang situasi dan kondisi.
Di ruang tamu, Fabian menemukan gelas dengan penutup berwarna merah muda. Pria itu langsung menyambarnya dan kembali ke kamar Iva. Dia memberikannya dengan kesal.
“Setelah dia tidur, kita bicara. Aku tunggu kamu di luar.” Tidak menunggu persetujuan Iva, Fabian beranjak ke luar.
Fabian bersandar di sisi luar dinding kamar, sekitar lima belas sentimeter dari pintu. Dia bersedekap, menekuk satu lututnya, lalu ... bosan. Pria itu kemudian mencoba mempertahankan kesabaran dengan duduk di sofa ruang tamu. Hasilnya, hanya beberapa menit saja dia mampu bertahan. Berusaha membuka ponsel dan mencari apa yang bisa dia kerjakan dengan alat komunikasi canggih itu, tetap tak berhasil. Kegundahan, marah, dan rasa terkhianati telah bergulung menjadi kumparan emosi yang membakar dirinya. Tidak sabar, Fabian kembali membuka pintu.
Sialan! Fabian tersengat kaget. Pria itu bergeming di tengah pintu yang terbuka. Pemandangan yang selama ini hanya ada di dalam angannya, sekarang terbentang nyata di depan mata. Perasaan haru menusuk-nusuk mata hingga Fabian merasakan matanya perih dan berkabut. Kenapa harus perempuan gila ini yang melakukannya?
Tidak ingin larut dalam suasana yang melankolis, Fabian kembali menutup pintu pelan-pelan. Kali ini dia bertahan berdiri di samping pintu sampai Iva keluar sekitar setengah jam kemudian.
“Oh, my God!” Iva nyaris melompat karena kaget melihat Fabian berdiri seperti patung lilin. Hanya diam dan menatap dalam. “What are you doing there?”
“I’m waiting for you, moron!”
Iva meninju pelan lengan Fabian. “Berani sekali kamu memanggilku bodoh. Kamu yang bego!”
Fabian mendengkus. Dia harus mengakhiri rasa yang tengah bergolak di dadanya. Tidak boleh ada keraguan, apalagi kekaguman. Tidak.
Serta merta Fabian menarik tangan Iva. Dia mendorong Iva dengan kasar ke dinding dan menempatkan kedua tangannya di samping lengan Iva, mengurung wanita itu. Tatapan kerasnya berusaha memenjarakan Iva dalam aksinya.
“Kamu racuni apa Libby sampai dia tidak mengenaliku? Dan kamu, lancang sekali kamu meminta Libby memanggilmu “mama”. Dia punya mama. Kamu itu hanya orang asing.” Fabian menukas dengan geram.
“Kamu seharusnya berterima kasih kepadaku karena aku sudah merawat dan peduli kepadanya. You know, ada beberapa hal yang tidak bisa dilupakan seorang anak meskipun usianya baru 3 atau 4 tahun. Dia tidak akan lupa pada orang yang sering mengajaknya bermain dan melayani pertanyaannya dengan hangat. Apakah kamu sering melakukannya? Oh, iya. Soal panggilan “mama”, sepertinya Abby jatuh cinta padaku pada pandangan pertama. Aku tidak pernah mengajarinya untuk memanggilku apa, kata “mama” tercetus sendiri dari mulut Abby saat aku baru pertama kali menemukannya.” Iva menarik sebelah ujung bibirnya sedikit mengejek Fabian.
“Tahu apa kamu soal anak-anak?”
“Justru karena aku tidak tahu, makanya aku banyak membaca, belajar, dan berusaha mempraktikannya.”
Fabian mengulum senyum sinis. Tatapan sekeras tebing karangnya berusaha memblokade aura cerah Iva yang berusaha menarik dirinya. Namun, kenyataan berkata lain. Tanpa dia sadari, dia hanya membatasi pesona Iva tanpa berusaha menghindar. Alhasil, Fabian terpaku di depan Iva. Jaraknya yang hanya sekitar dua puluh sentimeter dari Iva, membuat momen tersebut menjadi kaku.
“Tolong jaga jarak!” pinta Iva sambil menekan d**a bidang Fabian dengan kedua tangan.
Fabian mengerjap. “Jaga jarak?”
“Iya. Aku paling tidak suka dipandangi dari jarak dekat, kecuali kamu mau aku cium.” Iva menantang dengan tegas.
What?! “Dasar cewek enggak waras.”
“Makanya jauh-jauh sana!” bentak Iva, “ruangan ini tuh luas! Bisa kan kita ngobrol sambil duduk?”
“Aku lebih suka seperti ini.” Tidak menjauh, Fabian justru semakin mempersempit jaraknya dengan Iva. Satu tangannya sudah berada di samping wajah Iva, sedangkan tangan lainnya di pundak wanita itu.