Iva bergegas lari ke arah Raymond yang sudah berada di ambang pintu. Bu Nur tampak terkejut dengan kehadiran orang asing di rumah tersebut, tetapi yang bisa ia lakukan hanya diam dan melongo.
“Ayo, kita pergi!” ajak Raymond.
“Iya.”
Iva mengikuti langkah Raymond. Tanpa Iva sadari, ternyata di luar kamar tersebut beberapa anak buah Raymond telah menunggu. Iva melihat ke sekelilingnya dan tidak melihat satu pun anak buah Fabian. Iva memosisikan dirinya berada di samping Raymond. Bersama-sama dengan kakaknya, Iva berjalan menuruni anak tangga. Sementara itu, anak buah Raymond mengikuti langkah mereka di belakang.
“Mas kok bisa tahu aku di sini?” Iva bertanya dengan nada heran.
“Karyawan kamu yang kamu titipi anak itu bilang kamu tidak datang menjemput. Dan saat dia ke apartemen kamu, kamu tidak ada. Dicari ke kafe, dia hanya menemukan motor miliknya yang kamu pinjem.”
“Rieke menghubungi Mas?”
“Iya.”
“Di mana Rieke dan Abby sekarang, Mas?”
“Mereka ada di kafe.”
Syukurlah. Iva mengembus napas lega. Kalau Rieke membawa Abby ke kafe, kemungkinan besar Abby akan aman. Di sana banyak orang, apalagi pada jam makan siang. Iva percaya Fabian maupun anak buahnya tidak akan mengambil risiko digebukin orang se-RT lantaran berusaha mengambil paksa Abby.
“By the way, dari mana Mas tahu—“
“Cuma orang bego yang melakukan aksi penculikan tepat di titik fokus kamera CCTV,” pangkas Raymond, “lagi pula, kenapa sih sampai kamu bisa berurusan dengan Fabian?”
“Mas tahu Fabian?”
“Siapa sih yang enggak tahu dia?”
“Aku.”
Raymond menghentikan langkahnya, lalu menatap Iva heran. Ke mana saja adik kesayangannya ini sampai tidak tahu pengusaha yang masuk ke dalam ranking 10 besar pengusaha muda tersukses di Indonesia?
“Main kamu kurang jauh dan pulangnya kurang malam, Va,” sindir Raymond.
Iva cemberut. “Mas kok gitu sih? Si Fabian-nya aja kali yang kurang populer.”
“Kamu yang kudet.” Raymond mengayuh langkah lagi dan Iva mengikutinya.
Iva mengerucutkan bibirnya lagi. Namun, Iva penasaran dengan anak buah Fabian yang tidak kelihatan batang hidungnya sampai mereka tiba di lantai bawah. “Antek-antek si Fabian pada ke mana nih, Mas?”
“Mereka lagi diajak ngobrol sama Eros di pojokan sana.” Raymond menunjuk ke sudut ruang keluarga yang lumayan luas di bawah sana.
Mata Iva melebar dan bibirnya terbuka membentuk huruf “O”. Itu sih bukan sedang diajak ngobrol.
Iva melihat Eros, sahabat Raymond sekaligus pria pertama yang menjadi pusat semesta Iva, sedang mengikat tangan kedua penjaga keamanan rumah tersebut di kursi kayu. Eros menoleh ke arah Iva. Pria tampan berwajah oriental itu lalu menanyakan kabar Iva. “Are you okay?”
“I’m OK.”
“Good.” Eros kemudian menutup mulut kedua anak buah Fabian dengan lakban hitam. “Done.”
“Thank you, Bro,” tutur Raymond.
“Anytime.”
Raymond kemudian melangkah mendekati kedua penjaga keamanan itu. “Bilang sama bos kalian, jangan pernah mengganggu adikku atau urusannya bisa lebih dari ini.”
Kedua penjaga itu hanya mengangguk dan memperhatikan rombongan Iva dan kakaknya sampai mereka keluar dan tidak terlihat lagi.
***
Raymond menarik kursi makan berkaki stainless lalu duduk di sana. Di hadapannya, Iva duduk di sofa panjang sambil menggenggam tangannya sendiri. Atmosfer di ruangan yang terbagi menjadi ruang tamu dan ruang makan mini tersebut mulai terasa panas. Iva merasakan sebentar lagi murka kakaknya akan meledak dan memenuhi seisi ruang di unit apartemennya. Semampunya Iva menghirup udara sehingga paru-parunya terisi penuh. Dia melakukannya berkali-kali sampai sesi interogasi Raymond dimulai.
“Ada masalah apa antara kamu dan Fabian?”
Iva menggeleng. “Aku tidak tahu.”
Raymond mengembus napas. Desah kesal kemudian lolos dari bibirnya. “Iva, adikku yang menyebalkan. Tolong, jangan berbohong kepadaku.”
“Mas Raymond, kakakku yang hobinya ngamuk. Aku tidak berbohong.”
“Kalau kamu tidak punya masalah dengan Fabian, dia tidak mungkin menculik dan menyekapmu.”
“Mungkin dia nge-fans sama aku, Mas.”
Raymond menatap gemas. Seandainya Iva masih kecil, dia pasti sudah menjitak kepala Iva. “Mana ada cowok nge-fans sama cewek barbar dan manipulatif kayak kamu. Bilang sama aku, kamu dan Fabian ada masalah apa? Kamu tidak sedang mengulang ketololan yang sama, ‘kan?”
Iva mengangkat sebelah ujung bibirnya. Kesal. Track record perjalanan cintanya memang sempat tercoreng karena dia pernah menjadi selingkuhan pria beristri. Dia melakukan hal itu lantaran kecewa oleh penolakan Eros. Bagaimanapun, Iva menyesali hal itu sekarang.
“Enggak usah nyebut-nyebut barbar dan manipulatif deh, Mas. Aku kan sedang dalam proses hijrah. Jangan mengingatkanku untuk jadi tokoh antagonis lagi,” protes Iva dengan nada kesal.
“Hijrah tuh enggak kayak gini,” sangkal Raymond.
Iva berdecak. “Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hijrah itu artinya perubahan baik itu sikap, tingkah laku, dan sebagainya ke arah yang lebih baik. Iva enggak salah kan pengen jadi lebih baik?”
“Terserah kamu. Aku bersyukur kamu pengen jadi orang baik. Tapi ingat, salah satu ciri orang baik itu jujur.”
“Oke. Iva akan bilang pada Mas Ray apa yang telah terjadi.”
Iva menceritakan kepada Raymond semua yang dialaminya semalam dan alasan Fabian menculiknya. Namun, reaksi Raymond tampak biasa saja. Pria itu sepertinya sudah menduga kalau anak yang ditemukan dan sekarang dirawat Iva adalah anaknya Fabian Arsyanendra.
“Kamu tidak menculiknya, ‘kan?” selidik Raymond.
Iva mendelik. Dia tidak terima dengan tuduhan Raymond. “Mas, saksi anak itu ditelantarkan tidak hanya Rieke. Ada Aldy dan juga Susan. Lagi pula, untuk apa aku menculiknya? Apa untungnya buatku? Kenal si Fabian sinting itu juga nggak.”
“Terus, apa rencana kamu selanjutnya?”
“Aku tidak akan menyerahkan Abby kepada Fabian. Aku akan menunggu ibunya kembali. Hidup Abby dalam bahaya, Mas. Aku tidak mau ambil risiko.”
Teeet! Teeet! Bunyi bel menginterupsi diskusi Iva dan Raymond. Iva segera membuka pintu. Wajah Eros yang terpapar netranya memicu jantung Iva berdenyut lebih kencang. Senyuman yang terkembang dari bibir pria itu pun mampu mencairkan ketegangan dalam sekejap. Adem.
“Mama!”
Iva terkesiap, lalu menurunkan pandangannya. “Abby!”
Iva memeluk Abby lalu membawa gadis kecil itu ke dalam gendongannya. “Mama kangen banget sama Abby. Abby sudah makan belum?”
“Sudah, sama Tante Lieke,” Abby membalas dengan suara bening dan sedikit cadel.
“Banyak makannya?”
Abby mengangguk. “Iya.”
“Pinter banget anak Mama.” Iva mengecup pipi chubby Abby.
“Ehem!” Eros berdeham. “Kalau sudah ada si kesayangan, jadi lupa ada tamu.”
Iva tersenyum malu-malu. “Makasih, Bang, sudah menjemput Abby. Mari masuk, Bang.”
Eros menyusul langkah Iva masuk ke ruang tamu. Pria itu kemudian mengadukan tinjunya dengan tinju Raymond sebagai salam perjumpaan. Setelahnya, dia duduk di sofa di samping Iva dan Abby.
“Thanks sudah bantu gue dan Iva, Bro,” kata Raymond.
“Jangan sungkan. Kalau gue bisa bantu, gue pasti bantu.”
“Terima kasih ya, Bang,” imbuh Iva, “jangan kapok bantuin Iva meskipun dulu Iva sudah jahat sama Abang.”
“Sudahlah, Va. Jangan diingat-ingat. Yang penting sekarang, kamu mau berubah.”
Iva mengangguk. Rona malu dan juga sesal mewarnai wajahnya. Eros masih mau membantunya meskipun dia pernah melakukan hal yang sangat tidak terpuji kepada Eros. Entah hati Eros terbuat dari apa, yang jelas bukan buatan pabrik, tetapi pria itu masih saja mau menolongnya. Namun, hal itu pun tak lepas dari peran Raymond. Seandainya persahabatan Raymond dan Eros yang pernah pecah belah tidak tersambung kembali, mungkin Eros tidak akan mau melakukannya. Apa pun itu, Iva berterima kasih kepada Eros.
“Kalau begitu, Mas dan Eros pulang dulu. Doni dan Azid akan jaga di sini malam ini.” Raymond bangkit dari duduknya.
“Mas, kayaknya nggak perlu deh mereka jaga di sini. Di bawah kan ada satpam.” Iva menolak anjuran Raymond karena dia tidak mau risi dengan kehadiran orang asing di apartemennya.
“Oke. Tapi, kalau ada apa-apa cepat hubungi Mas. Sekali lagi Mas ingatkan, kamu sedang bermain-main dengan orang yang salah.” Raymond menegaskan.
“Fabian Arsyanendra terkenal ambisius dalam segala hal. Hati-hati berurusan dengannya,” imbuh Eros. Pria itu kemudian berdiri dan berjalan ke samping Raymond.
Iva mengangguk. “Iya. Aku akan segera menghubungi Mas Ray dan Abang kalau ada apa-apa.”
“Oke. Aku pulang.” Raymond memandangi Abby beberapa saat, lalu kembali memandangi Iva.
“Aku akan bertanggung jawab dengan keputusanku, Mas. Ik beloof jou.” Iva mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf “V” dan berjanji dalam bahasa Belanda. “Salam buat Mbak Nala.”
Raymond mengangguk mengiakan.
“Bye, Abby. Om pulang dulu, ya!” Eros melambaikan tangan pada Abby. Setidaknya, sikap Eros lebih lembut daripada Raymond dalam hal menangani anak-anak, padahal Raymond sedang menanti kelahiran anak pertamanya.
Abby pun membalas lambaian tangan Eros. “Babay, Om!”
Iva bisa bernapas lega setelah Raymond dan Eros meninggalkannya bersama Abby. Dia kemudian memeluk Abby. Tidak terlalu erat, tapi tidak longgar. Dia menyesuaikan lingkaran tangannya di tubuh Abby agar tidak membuat Abby sesak napas. “Mama pikir Mama akan kehilangan kamu.”
Beberapa saat kemudian Iva melepas pelukannya, lalu memandangi wajah mungil Abby. Matanya menatap ke dalam mata bening dan bulat Abby. Gelombang perasaan yang tidak bisa didefinisikan terus menerus menghantam sisi angkuhnya. Kini, Iva sadar rasa sayang yang sudah terangkai dengan sempurnalah yang membuatnya tidak mau melepaskan Abby, bahkan untuk ayah kandung anak itu. Egois. Namun, Iva merasa Abby akan lebih baik bersamanya ketimbang bersama ayahnya yang pemarah dan menyebalkan.
“Mama, pengen nenen,” ucap Abby.
“Abby ngantuk ya?” Iva tahu betul kebiasaan Abby. Jam-jam setelah makan siang dan bermain sebentar, Abby akan meminta s**u dan tidur siang. “Sebentar, Mama bikin dulu.”
Iva meninggalkan Abby di sofa untuk membuat s**u. Sayangnya, saat Iva kembali dengan sippy cup berisi s**u rasa vanila favorit Abby, Abby sudah terlelap. Gadis kecil itu meringkuk di sofa. Senyum Iva menghiasi wajah cantiknya. Iva meletakkan sippy cup di atas meja, lalu menggendong dan membawa Abby ke kamarnya. Selama ini, Iva tidak membiarkan Abby tidur di kamar terpisah walaupun di apartemennya ada dua kamar.
Teeet! Teeet!
Bunyi bel memaksa Iva bergegas untuk keluar dari kamar. Iva merasa kesal karena Raymond pasti mengirim anak buahnya untuk mengawasi dan menjaga, padahal Iva sudah melarang. Kakaknya itu kadang-kadang over protektif.
“Ada apa sih ....” Kalimat Iva sontak menghilang tertelan kejut yang membentang di depan matanya. Fabian.