Chapter 5 - The Blood

1126 Words
            Mereka langsung berlari ke arah rumah sementara hujan semakin deras turun. Begitu sampai di rumah, Steve yang tersengal-sengal setelah berlari cukup jauh pun mulai mengatur nafasnya dan menepuk punggung Mike di sebelahnya."Gila ! Rumahmu ini bisa membuatku lari marathon kalau terjadi apa-apa..." sengalnya. Mike hanya tertawa mendengarnya. Hujan semakin deras turun seperti kemarin malam. "Kupinjam kamar mandimu dulu, Mike. Aku bisa masuk angin dalam keadaan basah dan dingin begini." keluh Nic dan ia bergerak ke arah tangga lalu berhenti sebentar. "Steve, kupikir kita akan menginap di sini malam ini, kau lihat 'kan hujan lebat ini ? Kurasa akan seperti kemarin, hujan turun dari siang sampai malam.” kata Nic memandang Steve. "Hmm... yah kau benar, tidak ada salahnya kita menginap di sini. Aku juga masih penasaran dengan pintu tingkap itu." kata Steve menimpali. "Mike, kami pinjam bajumu ya ? Kukira ukuran kita sama." kata Steve kemudian menoleh memandang Mike. "Silahkan... Dengan senang hati kuizinkan kalian menginap di sini. Malah aku berharap kalian tinggal di sini kalau perlu ! Mengerikan tahu di sini sendirian." kata Mike dengan mata berbinar-binar. Steve tertawa mendengarnya dan Nic hanya tersenyum lebar. Ia kembali menaiki tangga menuju kamar Mike. Mike dan Steve mengikutinya. Mike mulai menyalakan perapian di sana.             "Wah, seperti di zaman dulu yah dengan adanya perapian seperti ini." canda Steve dan ia duduk di salah satu kursi berlengan. Mike hanya tersenyum dan berjalan ke arah dapur.             Ia mulai membuat air panas dan mengambil teh di salah satu kabinet. Mike telah mengisi beberapa kabinet itu dengan bahan makanan yang tidak mudah basi. Saat ia akan menyeduh teh ke setiap cangkir, tiba-tiba terdengar jeritan Nic dari dalam kamar Mike. Keduanya bergegas menuju ke kamar Mike.             Dengan hanya berbalut handuk, Nic gemetaran menunjuk bathup. Mike dan Steve langsung menoleh cepat ke arah bathup. Mereka menjerit tertahan melihat air yang mengalir di bathup berwarna merah darah. "A... Apa ini ?" gagap Mike dan ia masuk ke kamar mandi diikuti oleh Steve. “Tidak mungkin darah 'kan ?” Steve mendekati bathup itu. Perlahan diraupnya air di bathup dengan menggunakan tangannya dan diamatinya. “Oh my God.... I...Ini darah, Mike ! Darah sungguhan !” kata Steve terkejut. Mike ikut menyentuh air itu dan mengendusnya. Bau amis menusuk hidungnya. Mike mengangguk setuju dengan Steve. “Babe, apa yang terjadi tadi ?” tanya Steve memandang Nic dengan cemas. Nic gemetaran dan memegang erat handuknya serta ia mulai menangis pelan. “A... Aku tadi ha...hanya ingin membuka keran bathup itu, ta...tapi airnya tidak menyala... dan a...aku memutarnya lagi... tiba-tiba da...darah itu keluar dari keran !!!” kata Nic dengan histeris.          Steve langsung berjalan menghampirinya dan merangkul Nic untuk menenangkannya. Dituntunnya Nic keluar dari kamar mandi dan ia memberikan pakaian Mike yang bersih padanya. Mike masih memeriksa darah yang keluar dari keran. Tidak berapa lama, air yang mengalir berubah menjadi bening dan jernih kembali. Darah yang tergenang di bathup mulai memudar karena bercampur dengan air. “Steve ! Kemarilah !” panggil Mike tanpa mengalihkan pandangannya dari keran yang terus mengucur. Steve datang dengan tergopoh-gopoh. “Ada apa ?” tanyanya langsung. Mike menunjuk keran dan Steve menoleh padanya. “Eh ? Airnya ?” bingung  Steve. Tiba-tiba terlintas sebuah pikiran di benak Steve. “Mike ! Sepertinya ada sesuatu di saluran airmu ! Mungkin hewan mati ?” tebak Steve dan memandangnya serius. “Mungkin lebih tepatnya manusia ? Karena tidak mungkin hewan bisa mengeluarkan darah sebanyak ini.” simpul Mike dan Steve menatapnya ngeri. “Lebih baik kita pastikan besok. Aku rasa memang ada yang aneh dengan rumah ini.” lanjut Mike dan ia membuka penutup air bathup dan membiarkan genangan air mulai menyusut.             Steve berjalan keluar dari kamar mandi dan menemani Nic yang duduk meringkuk di ranjang dengan diselimuti selimut tebal. Nic masih menangis tersedu-sedu dan gemetar yang ia alami mulai berkurang. Steve menepuk pelan punggungnya dan berbisik menenangkannya.             Mike berjalan ke arah mereka dan duduk di tepi ranjang. Dia benar-benar merasa simpati terhadap Nic. “Aku minta maaf Nic... Aku sudah melibatkan kalian pada keanehan rumah ini.” kata Mike pelan. Nic hanya tersenyum lemah dan menggeleng. “Tidak, karena kami ingin membantumulah makanya kami ikut kemari...” jawab Nic pelan. Suaranya tercekat karena isak tangisnya tadi. “Kalau kalian takut, pulanglah. Aku tidak apa-apa sendirian di sini.” lanjut Mike memandang mereka berdua. “Kau bodoh Mike ! Justru setelah mengetahui bahwa ada yang tidak beres dengan rumah ini lah kami memutuskan tinggal di sini sementara waktu untuk membantumu memeriksanya !” jawab Steve cepat. Mike tersentuh mendengarnya. “Karena kita teman 'kan ? Mana mungkin aku bisa dikalahkan hanya dengan darah itu.” Nic berbicara lagi dengan senyum lebar. Mereka bertiga tertawa mendengarnya. “Terima kasih...” kata Mike tulus. Ia beranjak dari ranjang dan menepuk bahu Nic pelan dan meninggalkan mereka berdua di kamar itu.             Mike menutup pintu dengan pelan dan menghela nafas panjang di luar. Ia benar-benar menyesal telah melibatkan kedua sahabatnya dalam masalah rumah tuanya. Akhirnya ia bergerak ke kursi berlengannya dan mencari posisi yang enak untuk tidur. Dia tidak ingin menganggu Nic dan Steve. Mike merasa nyaman dengan duduk di depan perapian begitu. Ia hampir terlelap ketika kucing hitamnya melompat ke atas perutnya. “Oh kau, jangan mengagetiku begitu.” hela Mike. Dia mengelus bulu kucing itu. “Ah, aku belum memberimu nama ya ? Hmm... Midnight ? Karena aku bertemu denganmu di tengah malam 'kan ?” lanjut Mike dan Midnight hanya mengeong pelan. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dan Steve keluar dari kamar. “Kau tidak tidur di dalam ?” tanya Steve menghampirinya. “Kalian saja, aku di sini dengan Midnight.” jawab Mike. Steve mengernyit heran. “Mid... Dengan siapa ?” bingung Steve. Mike mengacungkan kucing hitamnya pada Steve dari balik kursinya. “Sejak kapan kau pelihara kucing, Mike ?” tanya Steve. “Kemarin malam aku mendapatinya di lantai 3 dan kupikir tidak ada salahnya kalau aku memeliharanya untuk menemaniku di sini.” jawab Mike tersenyum. Steve hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja dan berdecak. “Ckckck, lebih baik kau mencari manusia daripada hewan untuk menemanimu, bro.” canda Steve. Mike hanya tertawa mendengarnya. “Ayo, kita ke dalam saja. Di sini lumayan dingin, lagian perapianmu juga hampir padam. Tidak ada alasan menolak !” kata Steve mendelik tajam pada Mike karena ia sudah hampir membuka mulut untuk membantahnya. “Lho ? Kenapa begitu ?” tanya Mike bingung. “Kau sudah tahu kalau rumah ini aneh dan kami juga sudah mengetahuinya, jadi apa kau pikir kami akan membiarkanmu tidur sendirian di luar dengan seekor kucing ? Kita tidak tahu apa yang bakal terjadi, Mike. Dan kau pikir bagus tidur terpisah pada saat seperti ini ? Kami 'kan menemanimu. Jadi, apa gunanya kami kemari ? Dan kau yang bilang kau takut di rumah besar ini.” celoteh Steve.             Mike tidak bisa berkata apa-apa. Ia tersenyum kecil dan beranjak dari kursinya meninggalkan Midnight begitu saja. Steve menepuk pundaknya dan masuk ke kamar bersamanya. Mereka membagi tempat tidur untuk masing-masing dengan Nic yang telah terlelap di ranjang. Steve mengambil tempat di sofa panjang di samping lemari sedangkan Mike di lantai dengan beralaskan selimut tebal. Tidak berapa lama mereka telah terlelap dengan cepat akibat semua kelelahan yang ada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD