Chapter 6 - The Secret Room

1092 Words
            Keesokan paginya, Mike merasa ada yang memukul-mukul pipinya. Kepalanya terasa sangat berat dan ia mulai mendengar ada yang memanggilnya. “Mike ! Hey Mike ! Bangun !” panggil Nic sambil memukul pipinya. Mike memicingkan matanya dan berusaha untuk sadar sepenuhnya. Ia menoleh kepada Nic yang memandangnya dengan heran. “Ada apa sih ?” tanyanya dengan serak. Mike mulai menggosok matanya. “Justru aku yang mau bertanya padamu. Kenapa kau tidur di sini, Mike ?” kata Nic sambil berkacak pinggang dan mencondongkan tubuhnya ke depan. “Apa maksudmu ?” bingung Mike.             Namun sebelum Nic menjawab pertanyaannya, Mike sadar dan kembali meraba tempat yang ditidurinya. Ia kembali tidur di bathup kamar mandi ! Dengan cepat ia bangun dan menoleh ke sekelilingnya. “Apa kau punya kebiasaan tidur berjalan ?” tanya Nic dengan penasaran. Mike berbalik dan memandangnya. “Tidak, justru ini sangat aneh ! Kemarin juga aku ingat kalau aku tidur di ranjang, tapi begitu bangun aku ada di kamar mandi. Kenapa ini terjadi lagi ?” gumam Mike kebingungan. Nic mulai memperhatikannya dan ada seraut ekspresi ngeri menghiasi wajahnya. “Uh-oh, jangan bilang kalau ada sesuatu di sini...” lanjut Nic memutarkan bola matanya. Ia keluar dan menyusul Steve di dapur. Mike langsung mencuci mukanya agar ia cepat sadar. Dengan kebingungan, Mike mengikuti Nic ke arah meja makan dan duduk dengan menguap.             “Benarkah itu, Mike ?” tanya Steve langsung sambil menyodorkan tiga gelas kopi ke setiap orang. “Apa ?” heran Mike sambil menengadah menatapnya. “Kau pindah tidur ke kamar mandi sejak pindah kemari ?” jelas Steve dan ia mengoper sandwich ke meja makan. Mike hanya mengangguk cuek dan mengambil sepotong sandwich lalu mengunyahnya. “Kau selalu membuat masakan yang enak.” puji Mike dengan mulut penuh. Steve tersenyum bangga. “Itulah untungnya kalau kau punya pacar seorang koki~” senandung Nic dan ia mulai menyeruput kopinya. “Kau mencoba memanasiku ?” canda Mike. Nic hanya terkekeh mendengarnya.             Selesai sarapan, mereka kembali bersiap-siap untuk kembali ke tempat pintu tingkap kemarin. Kali ini mereka memilih berjalan kaki saja, mumpung udara masih sangat sejuk karena pepohonan di sekitar situ. Begitu sampai di tempat itu, mereka membagi tugas. Nic berdiri di depan batu panel putih itu sedangkan Mike dan Steve di tempat pintu tingkap. Begitu Nic menekan panel itu, bunyi ‘klik’ kembali terdengar dan ia langsung berlari ke arah mereka. Mike dan Steve menarik pintu tingkap bersama-sama dan kembali menemui ruang gelap di dasarnya. “Aku turun duluan deh.” kata Mike dan ia menyalakan senternya lalu pelan-pelan menjejakkan kakinya di salah satu anak tangga menuju ke bawah. “Kami akan menyusulmu, bro.” kata Steve dan ia mempersiapkan senternya.             Pelan-pelan Mike terus turun ke bawah dan begitu Mike sudah tidak kelihatan, Steve  menyusulnya dan ikut turun juga bersama Nic. Anak tangga itu terasa panjang sekali bagi Mike seakan tidak ada ujungnya. Tangannya sudah berkeringat memegang anak tangga di atasnya setiap kali ia turun. “Sepertinya masih jauh ke bawah !” teriak Mike  dan suaranya bergaung. Nic dan Steve hanya menyahutnya sekilas saja. Mereka terus turun dan hingga akhirnya Mike menyentuh lantai dasarnya. “Aku sudah sampai di bawah.” ia memberitahu pada kedua temannya. Ada helaan nafas lega dari salah satu di antara mereka berdua.             Begitu ketiganya telah menginjakkan lantai dasar, mereka segera merongoh ransel yang dibawa Mike dan menyalakan sebuah lampu minyak kecil. Saat ruangan itu telah berpenerangan remang-remang, mereka otomatis mematikan lampu senternya dan menyimpannya kembali ke dalam ransel. “Sepertinya kita berada di drainase ?” tebak Steve sambil memandang sekeliling mereka yang dipenuhi oleh lantai beton dan sebuah selokan yang cukup besar dengan air menguning kotor. Keduanya mengangguk setuju. “Sepertinya kita perlu memeriksa drainase ini.” kata Mike dan ia berjalan menyusuri jalan di depannya. “Untuk apa Mike ? Kau juga lihat 'kan kalau ini hanya saluran drainase ?” keluh Nic. “Justru ada yang aneh dengan drainase ini. Kalau ini cuma saluran drainase biasa, tidak mungkin mereka sampai menyembunyikannya dengan panel batu itu.” jawab Steve dan mengikuti Mike. Nic pun mengerti dan ikut mengikuti mereka.             Perjalanan mereka sangat jauh. Entah sudah berapa lama mereka berjalan lurus dan sudah terlalu jauh dari pintu masuk tadi. Karena kelelahan berjalan, mereka berhenti sebentar untuk beristirahat di dekat dinding berornamen. “Oh, ini benar-benar gila... Jauh sekali kita berjalan ! Ada apa sih dengan drainase ini hingga perlu disembunyikan ??” keluh Nic lagi dan ia menyandarkan tubuhnya ke dinding di belakangnya. Tiba-tiba, BRAAAK ! dinding itu terdorong ke dalam dan Nic yang kaget langsung berbalik. Mike dan Steve tersentak dan menoleh ke arah Nic. Perlahan-lahan, pintu bergeser pelan dan mereka diam membisu menyaksikan sebuah ruangan membuka di depan mereka. “Pintu rahasia lagi ???” keluh Steve sambil menatap pintu di depannya. Dan lagi-lagi dinding berornamen itu yang menjadi panelnya. “Kurasa kau harus menekan semua dinding di rumahmu nanti, Mike. Banyak sekali pintu rahasia di sini.” kata Nic melipat tangannya di d**a. Pintu rahasia kedua ini tidak membuat mereka terkejut untuk yang kedua kalinya. “Aku malah heran untuk apa orangtuaku membuat banyak ruang rahasia begini.” timpal Mike dan ia mengamati pintu panel itu. “Mungkin mereka menyimpan harta untukmu ?” tebak Steve tertawa. Mike hanya melempar botol kosong ke arahnya yang langsung dielakkan oleh Steve. “Kalau harta, lebih baik mereka beritahu saja aku daripada harus disembunyikan begini. Bisa saja aku tidak mengecek drainase ini.” jawab Mike ketus.             Ia memberi tanda kepada mereka untuk masuk ke dalam. Dengan waspada, mereka berjalan memasuki pintu itu.             GRAAAKK!!             Dengan satu gerakan cepat, pintu itu langsung menutup kembali. Ketiganya menoleh dengan kaget dan memegang pintu batu itu. Steve menggedor-gedornya. “Sial ! Kita terperangkap di sini ! Apa ini jebakan ???” umpatnya. Nic hanya berdiam terpaku memandang pintu itu. Mike tidak berkata apa-apa. “Lebih baik kita periksa di dalam, siapa tahu ada cara untuk membuka pintu ini.” kata Mike datar. Ia langsung berjalan kembali dan mengarahkan lampunya ke sekeliling ruangan. Mike menemukan sebuah obor di dinding batu. Segera dinyalakannya dan ruangan langsung mendadak terang.             Nic hendak menjerit begitu melihat apa yang ada di hadapannya. Di sepanjang dinding begitu banyak bercak-bercak darah dan ada beberapa mayat yang telah berubah menjadi tengkorak. Bau busuk langsung menusuk hidung mereka. Yang mereka masuki ternyata bukanlah sebuah ruangan melainkan sebuah lorong panjang. Nic mulai gemetaran melihatnya sedangkan Steve yang kaget langsung merangkulnya. “Apa-apaan ini ?” gumam Mike tegang.             Dengan menutup hidungnya, Mike mengambil obor yang ada di dinding dan menyusuri sepanjang lorong. Tidak terpikir lagi olehnya ketakutan yang melanda melainkan ia sangat penasaran apa yang telah disembunyikan oleh orangtuanya hingga begitu banyak darah dan mayat di drainase rumahnya. “Mike ? Haruskah kita terus...?” tanya Steve cemas. Mike terus berjalan dan memandangi sekelilingnya. “Harus !” jawab Mike tak sabar. Ia harus menunggu dua orang itu mengikutinya sebagai pertanggungjawaban telah melibatkan mereka. Steve tak bertanya apa pun lagi dan membawa Nic berjalan ke arah Mike.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD