Chapter 11 - Exploring The House II

1132 Words
          Mereka terdiam lama sementara hanya terdengar suara barang-barang yang dikeluarkan dari ransel. Malam itu rasanya dingin sekali hingga Mike harus melipatgandakan kayu di perapian. “Jadi, bagaimana dengan kalung itu ?” tanya Nic memecah kesunyian. Mike menepuk keningnya. “Astaga, aku baru ingat hal itu jika kau tidak memberitahuku, Nic.” katanya dan ia kembali ke kamar.           Dibongkarnya laci meja tidurnya dan ditemukannya kalung itu. Terasa hangat di tangannya. Mike hanya memandang kalung itu dengan heran. Tiba-tiba ada perasaan aneh menyelimutinya. Mata Mike tidak bisa lepas dari liontin kalung itu. Rasanya batu berwarna biru gelap itu menyedot pikirannya. Samar-samar di telinganya terdengar nyanyian kecil yang bernada sedih.          “You will see in the deep sea... a lonely girl cried along... cried along...”  nyanyian itu bergema di kepala Mike. Ia terasa seperti dihipnotis mendengar nyanyian itu. Pikirannya mulai kosong seakan ada yang menariknya ke dalam nyanyian itu. “Mike ! Sedang apa kau ? Lama sekali.” panggil Steve tiba-tiba. Mike tersentak dan nyanyian itu menghilang dari pikirannya. Digenggamnya kalung itu dan dibawanya keluar dari kamar. “Kukira kau tertidur. Ngapain sih ?” tanya Nic menatapnya mencurigai. “Tidak, aku hanya mencari dimana aku meletakkannya.” alasan Mike. Ia meletakkan kalung itu di meja makan. Steve duduk langsung dan menatap liontinnya. “Sepertinya ini sudah kuno sekali, memangnya masih ada kalung model begini ?” celetuk Steve. Ia mengamatinya dari dekat dan tidak berani menyentuhnya. “Kau tidak mau memegangnya ?” tanya Mike heran. Steve menggeleng. “Tidak ah, mana tahu ada kutukannya.” katanya meringis. Mike memandangnya dengan tak percaya. “Astaga, mana mungkin ada ! Aku 'kan sudah memegangnya dari tadi, Steve ! Kalau ada kutukannya, mungkin dari tadi aku sudah berubah menjadi babi !” bantah Mike sambil mendengus. “Tetap saja aku tidak mau, lebih baik tidak ambil resiko.” jawab Steve sambil melipat tangannya di d**a. Mike menunjukkan wajah menyerah. Nic mengambil kalung itu dan mengamatinya. “Babe ! Jangan ikut-ikutan !” sergah Steve dan memelototinya. Nic hanya acuh tak acuh saja dengan peringatan Steve. Ia mengarahkan liontin itu ke arah cahaya dan terus mengamatinya. “Batunya indah...” kata Nic pelan. “Memang, tapi ada yang aneh di batu ini juga kurasa.” Mike ikut-ikutan menatap liontin itu. “Lihat, seperti ada lingkaran di tengahnya bukan ? Warnanya juga lebih gelap daripada warna batunya.” lanjut Mike. “Pantulan cahaya ?” tebak Steve. Mike menggeleng. “Sepertinya bukan, ada benda di dalamnya. Tapi bagaimana membuka liontin ini ? Aku tidak melihat penutupnya.” timpal Nic dan ia membalik-balikkan kalung itu. “Sudahlah, itu hanya kalung biasa. Lebih baik kita kembali ke kamar. Ini sudah larut. Besok pagi 'kan kita harus menelusuri tempat ini lagi.” Steve beranjak dari kursinya dan dengan menguap, ia berjalan ke kamar. Keduanya setuju dan Nic menyerahkan kalung itu pada Mike yang meletakkannya kembali di meja tidurnya. Ia masih merasa mengantuk karena tidurnya yang terganggu tadi.             Menit demi menit berlalu, hanya terdengar desisan dan dengkuran mereka bertiga dan percikan sisa api di perapian. Midnight kembali bergelung di karpet dan ikut mendengkur bersama mereka. Tidak ada yang menyadari bahwa pintu kamar mandi di sebelah dapur membuka perlahan. Kemudian, terdengar deritan terakhir dari pintu kayu kamar mandi itu yang membuka penuh.           Steve tersadar seketika. Dia menoleh melihat ke arah Mike dan Nic. Mereka tertidur pulas di tempat  masing-masing. Steve menoleh ke arah pintu kamar dan bimbang. Ia akhirnya memutuskan untuk memeriksa keluar. Pelan-pelan, ia melewati kasur Nic dan membuka pintu kamar. Dipandangnya sekeliling ruangan itu. Tidak ada siapa-siapa. Steve melangkahkan kakinya keluar dan melihat bahwa pintu kamar mandi terbuka.          Pasti salah satu diantara mereka berdua lupa menutupnya, pikir Steve. Ia berjalan ke arah pintu kamar mandi dan menarik daun pintunya hingga menutup kembali. Steve menguap lagi, dengan menyeret kakinya, ia kembali ke kamar dan tertidur pulas.                                                                                       ***            Esok paginya, lagi-lagi Mike menemukan dirinya berada di bathup kamar mandinya. Dengan mengeluh, ia berteriak memanggil Steve. Tak lama kemudian, datanglah Steve dengan terburu-buru. “Kau lihat 'kan ? Entah bagaimana aku pindah lagi dari lantai ke bathup untuk yang ketiga kalinya.” katanya kesal. Steve hanya memandangnya. “Kau yakin ? Atau kau tidur berjalan ?” tanya Steve meragukannya. Mike hanya menghela nafas panjang. “Oh please Steve, kau sama saja dengan Nic. Dia juga bertanya begitu. Coba kau pikir, apa mungkin aku mau pindah tidur dari balik selimut yang hangat ke ubin dingin begini semalaman ???” kata Mike geram. Steve hanya diam saja. “Dari dulu aku tidak pernah tidur berjalan ! Memangnya kau tidak tahu kalau tidur berjalan itu bawaan dari kecil ? Yang benar saja !” lanjut Mike dan ia berdiri dari tempat itu, keluar dari kamar mandi dan melewati Steve.             Mereka kembali berunding di meja makan untuk memutuskan bagian mana lagi yang harus mereka jelajahi. Sepuluh menit lamanya mereka berdebat. Steve mengotot untuk memeriksa daerah di sekitar pondok air kemarin. Nic ingin memeriksa bagian dalam rumah terlebih dahulu sebelum keluar. Sedangkan Mike ingin memeriksa bagian kolam. Akhirnya, mereka sepakat untuk memeriksa dari arah gerbang depan sampai ke dalam rumah. “Uh-oh, ini akan memakan waktu lama sepertinya~” siul Steve sambil menenteng ransel kecil dan ikut ke dalam mobil. Ia sudah menatap halaman luas di sekitar rumah.             Ketiganya mulai menyisiri bagian gerbang. Tidak ditemukan apapun yang mencurigakan. Perlahan mereka memajukan mobil dan berhenti di dekat kolam. Mereka turun dan menjelajahi sekitar kolam. Membongkar-bongkar semak belukar dan menengadah melihat ke atas pohon-pohon. “Apa kita perlu menguras air kolam ini ?” tanya Mike. Nic dan Steve langsung mengeluh keras. “Oh no, Mike. Sepertinya ide itu lain kali saja. Soalnya menguras air itu memakan waktu lama. Tunggu kita selesai menjelajahi halaman dan rumah itu.” saran Steve. “Kita tinggalkan kolam ini untuk bagian yang terakhir saja, oke ?” sambung Nic. Mike mengangguk pasrah dan mereka kembali ke mobil.             Setiap sepuluh meter sekali, mereka akan berhenti dan menjelajahi seluruh tempat. Hari mulai terik dan mereka yang telah mempersiapkan makan siang, duduk di bawah salah satu pohon Akasia untuk istirahat. Satu jam kemudian, mereka kembali menjelajah dan hasilnya nihil. Dengan kelelahan dan baju kotor mereka kembali ke rumah saat matahari mulai tenggelam. “Oh aku tidak percaya ini... Kita menghabiskan satu hari penuh hanya untuk menjelajahi halaman rumah ini ! Gila !Tempat ini terlalu luas...” celetuk Nic dan ia langsung menjatuhkan diri di salah satu kursi berlengan.  Mike tanpa berkata apa-apa langsung menegak air sebanyak-banyaknya hingga Steve memandangnya takjub. “Aku benar-benar dehidrasi di luar sana, bro.” katanya kemudian dan ia mengelap  air yang jatuh di sekitar bibirnya. Steve hanya menggeleng dengan tertawa.           Setelah melepas lelah selama dua jam lebih, mereka berdiam diri di depan perapian. Tidak tahu apa yang harus dilakukan karena tidak ada televisi di sana atau apapun. “Kau sudah memeriksa semua bagian rumah ini, Mike ?” tanya Steve memecah keheningan. “Hanya secara garis besar saja, tidak mendetail seperti membongkar-bongkar barang.” jawab Mike bersandar malas. “Kamar di sebelah ?” kata Nic tiba-tiba. Mike menggeleng saja. “Belum, isinya semua perabotan berwarna hitam.” jelas Mike dan ia mulai merenung. “Sepertinya seram, tapi karena kita bertiga bagaimana kalau kita periksa saja ? 'kan kita sedang tidak ada kerjaan.” usul Nic. Keduanya mengangguk setuju dan mereka beranjak dari kursi ke kamar di sebelah kamar mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD