Chapter 10 - The Bathroom

1120 Words
             Jam telah menunjukkan pukul 5 sore. Mike masih belum terbangun juga hingga akhirnya ia merasakan ada angin yang menerpa punggungnya. Dengan enggan, ia memicingkan matanya yang masih sangat mengantuk dan berbalik. Dilihatnya pintu kamarnya yang terbuka karena tak sempat ditutupnya tadi. Angin, pikirnya. Dan dengan malas ia bergerak untuk beranjak dari ranjang ke arah pintu.             Sebelum ia turun dari kasur, DEG ! sekelebat bayangan putih melintas. Mike terkesiap melihatnya. Dalam sekejap saja, ia langsung sadar dari kantuknya. Ditatapnya terus ruang tengah dari pintu kamarnya. Tidak ada yang melintas. Mike pun mulai berpikir bahwa ia hanya berhalusinasi.             Ia menarik nafas lega dan beranjak untuk tidur lagi hingga tiba-tiba lewatlah lagi sekelebat bayangan putih. Mike menoleh cepat ke arah pintu kamarnya dan ia tidak sempat melihat siapa yang melintas tadi. Pelan-pelan ia beranjak dari ranjang dan bergerak ke arah pintu. Jantungnya berdegup kencang dan keringat mulai bermunculan di keningnya. Diraihnya daun pintu kamar dan ia menjulurkan kepalanya keluar. Tidak ada siapa-siapa. Perlahan Mike berjalan keluar dari kamarnya dan mengamati ruang tengah dan dapur. Ia hanya melihat Midnight mendengkur di karpet.             Ia kembali ke kamarnya dan meraih ponselnya. Ditekannya nomor ponsel Nic. Terdengar nada sambung tapi tidak ada yang mengangkat. Digantinya dengan nomor ponsel Steve, terdengar nada sambung panjang hingga Mike hampir menutup ponselnya, Steve tiba-tiba menjawab. “Halo, Mike ?” kata Steve dari seberang. Mike menghela nafas lega. “Syukurlah kau mengangkat ponselmu. Aku menelepon Nic tapi dia tidak menjawabnya, jam berapa kalian akan kemari ?” tanya Mike sambil berkacak pinggang. “Hahahaa kau sudah ketakutan tanpa kami ? Tenang saja, kami pasti ke sana kok. Nic sedang di rumahnya untuk berkemas. Kami baru dari kampus untuk mengurus surat izin sementara. Aku sebentar lagi akan menjemputnya.” kata Steve panjang lebar. Mike tidak berkata apa-apa. “Ada apa ? Terjadi sesuatu ?” heran Steve setelah tak ada suara dari Mike. “Umm... kurasa begitu, tadi sepertinya aku melihat sekelebat bayangan putih melintas di depan kamarku.” ceritanya. Steve mulai serius mendengarkan. “Kau tidak bercanda 'kan ?” tanya Steve pucat. Ia mulai membayangkan seperti apa yang diceritakan Mike. “Mana mungkin aku bercanda ! Tadinya kupikir aku hanya berhalusinasi, tapi bayangan itu lewat lagi. Saat kuperiksa tidak ada siapa-siapa...” lanjut Mike. Ia mulai merasakan ketakutan saat sendirian begitu. “Ok. Aku akan jemput Nic sekarang. Tunggu kami, kurasa dua puluh menit lagi kami sampai.” kata Steve singkat. Ia langsung mematikan ponselnya setelah mendengar jawaban Mike.             Mike meletakkan ponselnya lagi di atas meja tidurnya. Tapi, akhirnya diurungkannya niatnya dan memasukkan ponselnya ke saku celananya. Ada baiknya kalau aku berjaga-jaga, pikir Mike.            Diraihnya jaket dan dikenakannya. Midnight terbangun saat Mike berjalan ke kursi berlengannya. Ia lompat ke pangkuan Mike dan bergelung di sana. Mike hanya menunggu dalam diam dan terus memandangi jam tangannya setiap saat. Dua puluh menit rasanya seperti satu malam.           Mike hampir tertidur selama menunggu hingga ia mendengar bunyi air di kamar mandi sebelah dapur dan senandung pelan. Mike tersentak dan memandang ke sana secara tiba-tiba hingga Midnight terlompat dari pangkuannya dan mendesis. Mike memasang kupingnya lebih tajam untuk mendengarkan. Bunyi tetes-tetes air di lantai dan senandung itu masih menggema. Karena penasaran, Mike berjalan mendekati pintu kamar mandi dan memegang daun pintunya. Senandung yang bergema tadi langsung berhenti.           Mike membuka pintu kamar mandi perlahan dan jantungnya hampir melompat keluar. Seorang wanita berambut hitam panjang dan berbaju putih seperti yang ia lihat di dalam bak pondok tadi membelakanginya dengan tetesan air menetes dari pakaiannya. Mike terdiam dan tak sanggup bergerak. Wanita itu perlahan-lahan membalikkan wajahnya. Sebelum Mike sempat melihat wajahnya kembali, kakinya telah bergerak lebih cepat daripada otaknya.          Mike berbalik dan langsung menuruni tangga. Ia meraih kunci mobil di meja dan membuka pintu depan dengan kuat hingga membanting dinding. Mike masuk ke dalam mobil dan dengan gemetar memasukkan kunci mobilnya. Berkali-kali ia kesulitan memasukkan kunci mobilnya karena Mike sibuk menoleh ke arah pintu depan rumahnya untuk memastikan bahwa wanita itu tidak mengejarnya. Setelah berhasil, dengan tergesa-gesa Mike mengendarai mobilnya ke gerbang utama dengan kecepatan yang mengagetkan. Begitu sampai di gerbang, ia berhenti dan menarik nafas dalam-dalam. Mike terengah-engah bukan karena berlari tadi, tapi ketakutan yang sedang melandanya. Diperiksanya keadaan di belakang mobilnya melalui spion mobilnya. Tidak ada siapa-siapa.             Mike terkesiap lagi ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Diraihnya ponsel itu dari sakunya dan melihat nomor Steve di ponselnya. Mike langsung menjawab ponselnya tanpa basa-basi. “Kau dimana ??? Aku menunggumu dari tadi.” kata Steve langsung. Mike menoleh memandang gerbang. Ia tidak melihat Steve dan Nic di depan gerbang. “Di depan gerbang, kau dimana ? Aku tidak melihatmu.” tanya Mike meneliti sekeliling gerbang sambil keluar dari mobilnya. “Ah ya, maaf aku lupa memberitahumu tadi. Aku di depan blok rumahmu, tidak ada taksi di sini dan jaraknya lumayan jauh ke rumahmu. Jemput kami ya.” kata Steve sambil terkekeh. Mike mengeluh pelan tapi ia tidak jadi memprotes karena ia membutuhkan mereka. “Baiklah, baiklah. Aku ke sana sekarang.” jawab Mike dan ia kembali ke mobilnya setelah membuka gerbang.             Mike menyusuri jalan-jalan di blok rumahnya. Lagi-lagi ia tidak melihat ada penduduk di sekitar sana. Ia terus mengemudi dengan kecepatan normal sambil melihat ke sekelilingnya untuk mencari warga sekitar. Tetap tidak ditemukannya hingga ia sampai ke depan blok. Steve dan Nic berdiri di samping boks telepon umum dengan membawa satu ransel masing-masing.             Mike menjemput mereka dan membawa mereka kembali ke rumahnya. Ia menceritakan apa yang terjadi secara detail kepada mereka berdua. Tidak ada interupsi dari Nic dan Steve, mereka mendengarkan dengan seksama. “Sepertinya memang ada yang menghantuimu, Mike.” kata Steve akhirnya. Mike menoleh padanya saat turun dari mobil. “Kenapa begitu ? Bukannya kalian juga melihatnya saat di drainase ?” tanya Mike heran. “Iya sih, tapi setidaknya kami hanya melihatnya satu kali saja. Berbeda denganmu 'kan ? Sepertinya berdasarkan ceritamu, kau sudah diganggunya lebih dari empat kali.” jawab Steve dan membantu Nic membawa ranselnya. “Tujuh kali tepatnya.” ralat Mike dan ia masuk kembali ke rumah. Steve meminta penjelasan padanya.            “Aku tidak cerita pada kalian saat hari pertama aku pindah kemari 'kan ? Pertama, aku merasa ada yang mengintaiku dari lantai tiga saat aku kemari, lebih tepatnya ada orang yang berdiri di jendela lantai tiga.” kata Mike dan ia berhenti sebentar karena ekspresi wajah mereka berdua mulai ngeri. “Kau yakin ?” tanya Nic memelototinya. Mike mengangguk.            “Tentu saja, aku melihatnya dengan jelas. Bayangan hitam yang berdiri di depan jendela. Kedua, saat Nic membantuku membersihkan kamar tidur, aku memintanya mengambil sapu dan setelah ia pergi, vas bunga dekat dapur terjatuh sendiri padahal tidak ada yang menyenggolnya.” lanjut Mike memandang mereka tajam. “Yang ketiga, Nic menyalahkan aku karena menutup pintu kamar saat bersih-bersih. Padahal, saat aku sedang melihat vas bunga yang jatuh itu, tiba-tiba pintu kamar itu menutup sendiri dengan keras. Tidak ada angin pastinya karena jendela kamar rusak.” akhir Mike berbalik menghadap mereka di depan perapian. “Sepertinya memang ada sesuatu yang tidak bisa kami lihat tapi bisa mengganggumu.” siul Steve dan ia mengambil segelas air di dapur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD