BAB 3

1297 Words
Keesokan harinya Olaf kembali pergi ke restoran. Sedangkan Eleanor berangkat sedikit terlambat karena harus membersihkan flat house tempat mereka tinggal. Setelah selesai mencuci piring dan pakaian, Eleanor bergegas mandi untuk menghilangkan penat sebelum ke restoran. Semalam dirinya tidak bisa tidur nyenyak karena terus menahan niat untuk kembali membahas masalahnya dengan Olaf. Sehingga Eleanor berniat akan mengatakan apa yang ingin dikatakan. Walaupun sudah dipastikan jika jawaban Olaf pasti akan tetap sama. Eleanor pergi dengan mengenakan celana jeans dan blouse berwarna navy. Setelah merapikan penampilannya dengan polesan make up yang tipis serta menguncir rambut, Eleanor melenggang meninggalkan kamar. Dirinya bergegas menyusul sang suami. Ia pergi dengan berjalan kaki karena jarak restoran dengan flat house tidak jauh. Sampainya di restoran, Eleanor melihat Olaf sedang membersihkan meja-meja pengunjung serta dapur. Senyum Eleanor mengembang tipis diiringi desahan napasnya yang panjang. Lalu masuk ke dalam restoran. "Kau sudah datang, Sayang?" Olaf menyambut Eleanor dengan kedua tangan yang sibuk menata kursi. "Ya," jawab Eleanor menampakkan senyum tipisnya. "Bisakah kau buatkan kopi untukku?" pinta Olaf. "Ya, tentu." Eleanor pergi ke dapur untuk membuatkan kopi. Beberapa menit kemudian dirinya kembali dengan membawa secangkir kopi dan meletakkannya di atas meja tepat samping mereka. "Terima kasih, Sayang." Eleanor membalasnya dengan senyuman tipis. Matanya memperhatikan Olaf yang mengangkat cangkir kopi dan menyesapnya perlahan. "Olaf," panggil Eleanor saat Olaf sudah meletakkan kembali cangkir itu di atas meja. "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ucap Eleanor ketika perhatian sang suami tertuju padanya. "Katakan, Sayang." "Tentang … anak—" "Tolong jangan membahas itu lagi, Sayang. Aku tidak ingin kau membahas masalah itu sepagi ini," potong Olaf. Meskipun nada suaranya masih terdengar sedikit kesal, tetapi tatapan pria itu penuh ancaman. "Lalu sampai kapan kau akan mengabaikan masalah itu, Olaf?" tanya Eleanor putus asa. "Aku sudah pernah mengatakannya padamu, bukan? Aku tidak ingin kita mempunyai anak sebelum kehidupan kita terjamin. Aku tidak ingin kau hamil sampai saat itu tiba. Kenapa kau tidak pernah mengerti?!" "Sebenarnya apa tujuan mu menikahi ku?" "Apa maksudmu?" Kening Olaf berkerut ketika mendengar pertanyaan itu dari Eleanor. "Untuk apa kita menikah jika kau melarangku untuk hamil?! Kau membuat impian pernikahanku hancur." "Apa itu artinya kau menyesal menikah denganku?!" "Aku tidak pernah merasa menyesal jika kau berhenti melarangku untuk hamil." "Kita sudahi saja masalah ini," gumam Olaf hendak menghindar dari perdebatan itu. "Kau tidak bisa menghindar lagi. Kita selesaikan masalah ini." Eleanor mendesah kasar ketika Olaf justru pergi ke arah dapur. Dirinya langsung menyusul Olaf hingga mereka kini sudah ada di dapur. "Restoran kita akan tetap seperti ini, lalu apa kau akan terus memegang prinsip bodoh mu itu?!" Eleanor sudah kehabisan kesabarannya karena Olaf bersikap acuh dan berdiri membelakangi dirinya. "Hentikan, El," desis Olaf. "El?!" Eleanor terkejut mendengar Olaf memanggil namanya. Biasanya pria itu akan selalu memanggilnya dengan kata "Sayang". "Tiga tahun bukan waktu yang sebentar," gumam Eleanor sedih. Perlahan Olaf berbalik arah menghadap Eleanor yang menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Pria itu menghela napas pelan untuk mengatur emosinya. Lalu mendekat ke arah Eleanor, menarik sang istri ke dalam pelukannya. "Aku minta kau mengerti, Sayang …." Tetapi tidak ada jawaban dari Eleanor. Wanita itu hanya menenggelamkan wajahnya ke dalam pelukan Olaf untuk meredam tangis. Sedangkan dari arah lain seorang pria yang mengenakan setelan jas rapi itu menatap ke arah sepasang suami istri tersebut. Emosi menyelimuti otaknya melihat pria yang bersama wanita itu telah membuatnya menangis. Andai saja hubungan mereka bukan suami istri, dirinya pasti sudah berlari ke arah pria itu lalu memukul wajahnya. "Tuan," panggilan interupsi dari sang supir yang berdiri di samping dan mengharap ke arah pria itu mengalihkan perhatiannya. "Apa Anda ingin saya pesankan makanan di restoran ini?" "Tidak. Biar aku saja. Kau kembali saja ke dalam mobil," jawabnya seraya memberikan perintah. Perlahan langkah kakinya melewati pintu membuat Olaf segera melepas pelukannya dan menghadap ke arah depan. Shawn berhenti tepat di depan meja kasir sehingga kini posisinya berhadapan langsung dengan Olaf. Bola matanya melirik sekilas ke arah Eleanor yang menyembunyikan wajahnya dengan posisi membelakangi meja kasir. "Apa yang ingin Anda pesan, Tuan?" tanya Olaf dengan nada ramah. "Hamburger," jawab Shawn pelan. "Untuk minumnya?" "Air putih soda." Shawn memberikan selembar uang bergambar Ulysses S. Grant di bagian depan pada Olaf untuk membayar harga menu makanan yang dipesan. Tanpa menunggu lama, Olaf pun memberikan uang kembaliannya. "Baiklah, tunggu sebentar," ucap Olaf dan memberikan pesanan itu pada Eleanor. "Olaf!" Dalam sekejap perhatian Olaf teralihkan ketika mendengar suara wanita paruh baya dari arah pintu. Wanita itu tampak melambaikan tangan, memberikan isyarat padanya untuk menghampiri. "Sayang, aku pergi dulu. Bibi Sheena memanggil," ucap Olaf dan mengecup kepala Eleanor. Setelah mendapat anggukan kecil dari istrinya, Olaf bergegas meninggalkan tempatnya. Alih-alih sang suami yang pergi, Shawn justru langsung memusatkan perhatiannya pada Eleanor. Pria itu tampak berdiri diam menunggu Eleanor yang sedang menyiapkan pesanannya. Shawn termenung mengingat semua isi data informasi yang dia baca kemarin. Eleanor Hoover, seorang wanita berusia dua puluh lima tahun yang menikah di usia dua puluh dua tahun. Wanita itu meninggalkan cita-citanya untuk menjadi seorang jurnalis demi pria yang dinikahi. Ah, emosi Shawn kembali muncul mengingat kejadian yang dilihatnya beberapa menit lalu ketika Olaf seenaknya membuat wanita itu menangis. Kedua tangannya mengepal untuk menyalurkan emosi yang kini berusaha untuk ia kendalikan. "Ini pesanan Anda, Tuan," ucap Eleanor seraya memberikan nampan berisi pesanan Shawn. Shawn tidak langsung menerima nampan itu. Matanya menatap lekat pada wajah Eleanor yang muram. Menandakan jika wanita itu masih diselimuti kesedihan. "Terima kasih," gumam Shawn pelan seraya menerima nampan tersebut. Dalam sekejap Eleanor mengangkat tatapannya. Bola matanya terpaku pada sosok pria yang kini berdiri tepat di hadapannya. Bukankah pria itu adalah pria aneh yang mengajaknya berkenalan saat berada di Seattle kemarin? Apa yang sedang dilakukannya di sini? Kedua mata Eleanor membelalak tak percaya. Meskipun baru kali pertama berpapasan dengannya, ia masih sangat ingat wajah pria itu. Keterkejutannya membuat Eleanor mengabaikan senyuman pria itu yang berlalu dari hadapannya. Kini pria yang ia kenal bernama Shawn itu sudah duduk di kursi kosong menghadap ke arahnya. Eleanor berbalik arah. Dia kembali membelakangi meja kasir untuk menghindar dari tatapan Shawn. Sedangkan Shawn tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun di sela-sela aktivitas makannya. Hingga terkadang membuat tatapan mereka bertemu ketika Eleanor menoleh padanya. Lima belas menit berlalu. Eleanor menoleh ke belakang dan melihat Shawn sudah menghabiskan makanannya. Ketika pria itu melangkahkan kakinya menuju pintu restoran, Eleanor segera mengejarnya. "Tunggu!" teriak Eleanor membuat langkah kaki Shawn terhenti setelah melewati pintu. Eleanor berhenti tepat di depan Shawn. Kini mereka berdiri saling berhadapan. Eleanor menatap cemas ke arah Shawn ketika dirinya ingin menanyakan sesuatu. "Apa kau … mengikutiku?" tanya Eleanor ragu. Rasanya aneh jika pria itu tidak mengikutinya dan tiba-tiba mampir ke restoran miliknya yang sepi. Terlebih dirinya bertemu dengan Shawn saat masih berada di Seattle. Bukankah Seattle memiliki banyak restoran? "Tidak." Shawn menjawabnya dengan jujur. Ia memang tidak membuntuti wanita itu. Tetapi dirinya mencari informasi tentangnya. "Lalu bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?" "Karena aku melihatmu," jawab Shawn. Kening Eleanor sedikit berkerut. "Melihatku?" Ia bertanya karena merasa bingung. "Ya. Aku melihatmu di restoran ini saat aku hendak memesan makanan." "Apakah di Seattle tidak memiliki restoran hingga membuatmu repot-repot datang ke sini?" Shawn tersenyum menampakkan lesung pada kedua pipinya. "Apakah ini sikapmu pada seorang pelanggan di restoran mu?" Eleanor hendak membalas ucapan Shawn. Tetapi ia hanya dapat memberikan tatapan kesal padanya. "Ku peringatkan padamu. Jangan menganggap berlebihan perkenalan kita di Seattle. Aku memberitahu namaku padamu karena kau bertanya bukan berarti kau berpikir dapat menggodaku. Asal kau tahu saja, aku sudah mempunyai suami." "Aku tahu itu," jawab Shawn dan kembali menunjukkan senyumnya pada Eleanor. Tanpa berlama-lama, Shawn memilih masuk ke dalam mobil dan tidak memberikan kesempatan pada Eleanor untuk kembali mengatakan sesuatu. Ia hanya tidak ingin Eleanor berpikir lebih jauh tentangnya. Sehingga memilih pergi dari wanita itu adalah keputusan yang lebih baik untuk saat ini. Meskipun hatinya masih ingin tetap berada di samping wanita itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD