Satu jam berlalu. Eleanor sudah tiba di Olympia. Ketika menyusuri jalan trotoar menuju kedai restoran miliknya bersama Olaf, Eleanor dihentikan oleh sepasang ayah dan putrinya. Mereka terlihat gembira ketika tengah bercanda gurau, menumbuhkan perasaan iri di dalam hati Eleanor.
Ia menarik napasnya dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Ada dua masalah yang kini mengganggu pikirannya setelah melihat pemandangan kebahagiaan yang tampak begitu sederhana.
Satu hal membuatnya merindukan kebersamaan yang dilaluinya bersama mendiang sang ayah ketika masih kecil. Lalu hal lain membuatnya ingat pada Olaf. Ya, suaminya itu belum menginginkan seorang anak dari dirinya. Olaf mengatakan jika dirinya ingin mempunyai seorang anak jika kehidupan mereka sudah membaik serta kedai restoran kecil miliknya berubah menjadi besar. Olaf selalu saja memberikan dua alasan itu sebagai niatnya menunda mempunyai seorang anak.
Eleanor mempercepat langkahnya. Ia ingin cepat sampai di restoran dan bertemu Olaf. Meskipun masalah buah hati sering kali menjadi topik pembicaraan yang berujung perdebatan, Eleanor seolah tidak mudah menyerah. Wanita itu selalu mencuri waktu untuk membahas masalah ini.
"Sayang." Olaf memanggil seraya melambaikan tangan ketika melihatnya sudah sampai di restoran.
Langkah Eleanor terhenti ketika melewati pintu masuk. Dia tersenyum tipis tanpa membalas lambaian Olaf. Bola matanya mengabsen ruangan restoran yang tampak sepi tanpa pengunjung.
Akan sampai kapan restorannya sepi seperti ini? Sudah setengah tahun tetapi restoran mereka belum mendapatkan pelanggan setia. Setiap harinya berganti seolah mereka datang hanya ingin mampir. Satu hari pun tidak lebih sampai sepuluh pelanggan.
"Kenapa dengan wajahmu? Kau terlihat murung?" tanya Olaf saat menyadari air muka istrinya. "Apa pihak asuransi mengatakan sesuatu?" sambungnya karena tidak mendapat jawaban dari sang istri.
"Tidak. Mereka hanya mengatakan kalau asuransinya dapat di ambil hari Rabu nanti," jawab Eleanor.
"Lalu kenapa kau terlihat sedih? Hari Rabu lusa, kau tidak perlu sedih, Sayang."
Eleanor kembali diam. Matanya menatap lekat pada suaminya.
"Olaf," panggil Eleanor tiba-tiba. Nadanya mengisyaratkan jika dirinya ingin mengatakan sesuatu. Tetapi niat Eleanor terkubur dalam-dalam saat melihat Olaf mengangkat kedua alisnya, sebuah bahasa isyarat jika pria itu menantikan ucapannya.
"Ada apa, Sayang? Kau terlihat cemas," tanya Olaf karena Eleanor menahan dirinya untuk melanjutkan ucapan.
"Tidak. Aku …. " Apa kali ini hasilnya akan tetap sama jika Eleanor mengatakannya sekarang? "Aku … kehujanan." Pada akhirnya kalimat itu yang terlontar dari bibirnya.
"Astaga, maafkan aku Sayang. Aku tidak menyadarinya. Ayo, masuklah ke dalam. Kau harus mengganti pakaian supaya tidak terkena flu."
Olaf merangkul Eleanor untuk menariknya berjalan bersama. Mereka berdua pun masuk ke dalam ruangan yang menjadi tempat pribadi. Sebuah tempat yang bisa dikatakan rumah kedua bagi mereka.
***
Shawn tiba di kantor tepat sepuluh pagi. Sedangkan Sofia sudah berdiri di depan pintu masuk menunggu kedatangannya sejak tadi. Kedatangannya di sambut hormat oleh beberapa pegawai kantor. Shawn pergi menuju lift dengan Sofia yang mengikutinya di belakang.
Tibanya di depan lift, jemari Sofia langsung menekan tombol membuat pintunya terbuka. Keduanya pun segera masuk ke dalam lift sampai kemudian pintu itu kembali menutup.
"Apa kau sudah melakukan apa yang ku perintah?"
Pertanyaan Shawn memecah keheningan yang menyelimuti mereka. Sofia langsung tersenyum tanpa menampakkan keraguannya jika pekerjaannya kali ini tidak membuat Shawn merasa puas. Meskipun Sofia yakin telah mengumpulkan semua orang yang memiliki nama Eleanor mulai dari anak-anak hingga wanita lanjut usia.
"Sudah, Tuan," jawab Sofia. "Saya sudah meletakkan filenya di atas meja kerja Anda."
Shawn tersenyum membayangkan wajah Eleanor. Dirinya sudah tidak sabar ingin segera sampai di ruangannya.
Saat pintu lift berhasil mengantar Shawn menuju lantai ruangan kerjanya, Shawn bergegas melangkah keluar dari lift. Dirinya mengambil langkah lebar membuat Sandra mengejarnya.
Tibanya di dalam ruangan, Shawn menyambar tempat duduknya sedangkan Sofia berdiri di depan meja kerja untuk menunggu Shawn memeriksa tumpukan file berisi orang-orang bernama Eleanor.
Pria itu tampak memperhatikan setiap wajah di dalam file itu dengan seksama. Bahkan dirinya tidak melirik ke arah lain atau kopi kesukaannya yang sudah siap di atas meja. Shawn lebih senang mencari data Eleanor yang sesuai dengan Eleanor yang dikenal.
Satu jam berlalu. Sofia pun sudah kembali ke meja kerjanya sendiri. Hanya tertinggal Shawn bersama berkas-berkas yang berserakan di atas lantai.
"Sial! Data yang ku minta tidak ada," desah Shawn dengan penuh kekesalan.
Shawn menekan tombol interkom dan menyuruh Sofia masuk ke ruangannya. Setelah mengatakan perintahnya, Shawn segera menjauhkan tangannya dari telepon interkom dan menunggu Sofia masuk.
"Apa kau sudah yakin kalau tidak meninggalkan satu orang pun?" tanya Shawn saat Sofia sudah berdiri di hadapannya.
Sofia memperhatikan lantai di sekitar meja Shawn. Semuanya tampak berantakan. Berkas-berkas yang ia kumpulkan berserakan di atas lantai.
"Saya mengumpulkan datang sesuai yang ada, Tuan."
Shawn mendesah kasar. Ia sangat ingin tahu tentang sosok wanita yang ditemuinya beberapa jam yang lalu. Apakah mungkin wanita itu berbohong ketika menyebutkan namanya? Lalu dari mana ia dapat menemukan informasi tentangnya?
Shawn tiba-tiba diam untuk memikirkan cara agar sekretarisnya dapat mencari informasi mengenai Eleanor. Sampai akhirnya Shawn mendapatkan jalan keluar membuatnya tersenyum tiba-tiba.
"Periksa kamera cctv di 4th Ave. Tepat di lampu merah dari arah timur. Sekitar pukul sembilan pagi tadi ada seorang wanita yang mengenakan mantel cokelat, celana panjang warna hitam. Rambutnya lurus berwarna cokelat kemerahan. Kau harus mendapatkan informasi tentang wanita itu dan secepatnya memberikan data Eleanor padaku."
"Baik, Tuan," jawab Sofia. Lalu bergegas keluar dari ruangan Shawn.
Setelah memberikan perintah dengan petunjuk yang mendetail, Shawn merasa yakin akan mendapatkan informasi yang diinginkan. Kini dirinya dapat duduk dengan santai menikmati secangkir kopi sembari menunggu hasil yang akan diberikan Sofia nanti.
Dua jam berlalu tetapi Sofia belum juga memberikan hasilnya. Shawn mulai merasa cemas jika sekretarisnya itu tidak dapat menjalankan tugas yang diberikan olehnya.
Kini Shawn berdiri membelakangi meja kerja yang berada di sisi kanannya. Posisi pria itu tengah menghadap ke arah dinding kaca yang menampakkan keindahan kota metropolitan tersebut. Dari tempatnya berada, Shawn dapat melihat bianglala raksasa di taman bermain miliknya yang berada sekitar sepuluh kilometer dari kantor tempatnya berpijak saat ini.
Shawn memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Keinginannya untuk bertemu kembali dengan wanita itu membuat ia merasa tidak nyaman. Seperti ada sesuatu dari dalam dirinya yang tiba-tiba muncul yaitu hasrat untuk memiliki Eleanor-nya.
Ketika mendapat ketukan pintu, Shawn tiba-tiba memutar arah tubuhnya menghadap pintu. Perlahan pintunya terbuka, menampakkan sosok wanita yang sudah ditunggunya sejak beberapa jam lalu. Seolah merasa tidak sabar menunggu wanita itu menghampiri ke arahnya, Shawn segera memotong langkah Sofia hingga mereka berdua berhenti bersamaan di samping sofa.
"Ini informasi yang Anda inginkan," ucap Sofia seraya memberikan beberapa lembar kertas yang sudah digabung menjadi satu dengan paper clip.
Shawn langsung mengambil alih berkas tersebut. Hatinya menjadi lega. Rasa cemas akan tidak bertemu kembali dengan wanita idamannya menguap. Senyumnya mengembang dalam sekejap saat melihat foto wanita yang ia cari.
"Ternyata beliau tinggal di Olympia, Tuan," jelas Sofia ketika melihat Shawn tidak langsung memeriksa berkas itu. Bosnya hanya memandang lekat ke arah foto berukuran 2R tersebut.
"Kau boleh kembali ke ruangan mu," perintah Shawn dan mengabaikan penjelasan Sofia.
"Baik, Tuan," jawab Sofia dan hendak meninggalkan ruangan.
Tetapi langkahnya dicegah oleh perintah Shawn untuk membersihkan berkas-berkas tak berguna yang berserakan di lantai. Sedangkan Shawn beralih duduk di sofa dan mulai membaca seluruh isi di dalam berkas tersebut.