BAB 4

1075 Words
"Tetapi suamimu tidak cukup baik untukmu," gumam Shawn saat melirik keluar, menatap ke arah dinding kaca yang menyuguhkan pemandangan sosok wanita yang masih terpaku di sana. "Apakah Anda ingin pergi sekarang, Tuan?" tanya Jordan. "Ya," jawab Shawn singkat. Perlahan mobil tersebut melaju meninggalkan jalanan itu. Jordan mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang menuju gedung perusahaan PeG Group. Shawn mengalihkan perhatiannya. Dia merogoh kantong celana untuk mengeluarkan sesuatu. Dalam sekejap pandangan Shawn tertuju pada layar ponsel. Ibu jari menari di atasnya, mengetik sebuah pesan lalu mengirimkannya pada seseorang. Sedangkan Eleanor kini duduk di salah satu kursi restoran. Kepalanya menunduk dengan pikiran yang tidak berujung di dalam otaknya. Wanita itu kembali memikirkan tentang sang suami. Akan sampai kapan Olaf bertingkah seperti ini? Pertanyaan itu terus saja terbayang di dalam kepala Eleanor. Hingga perlahan sorot matanya mengabsen sekeliling ruangan yang tampak sepi. Mengapa Olaf mencemaskan tentang kehidupan mereka selanjutnya setelah memiliki anak? Mengapa pria itu tidak bisa berpikir jika semuanya akan baik-baik saja sama seperti sebelum memiliki anak meski dalam kondisi seperti saat ini? Beberapa menit berlalu. Eleanor belum menyadari kedatangan seorang pria yang ada dalam lamunannya. Sampai akhirnya jarak pria itu semakin dekat hingga membuat senyumnya semakin jelas terlihat. "Apa yang mengganggu pikiranmu, Sayang?" Eleanor membuyarkan lamunan saat mendapat kecupan singkat dari Olaf. Pria itu melewatinya lalu duduk di kursi depan Eleanor. Olaf tersenyum lebar seraya mengelus wajah Eleanor dengan lembut. "Tadi Bibi Sheena mengatakan kalau ia akan membantu kita mengambil uang asuransinya dengan cepat. Ia memiliki kenalan di Seattle. Bersiap-siaplah, kau akan pergi bersama Bibi Sheena. Biar aku saja yang menjaga restoran ini," ucap Olaf lalu bangkit. Dia mengecup kening Eleanor sebelum meninggalkan wanita itu di tempat tanpa menunggu jawaban dari istrinya tersebut. Eleanor menghela napas pelan. Jujur saja ia masih merasa kesal karena Olaf bertingkah seolah tidak terjadi sesuatu di antara mereka. Ia pun bangkit dengan lesu lalu mengikuti permintaan Olaf untuk bersiap-siap. Satu jam kemudian Bibi Sheena datang dengan menggunakan mobil. Melihat kedatangan Bibi Sheena, Olaf pun langsung menggandeng Eleanor keluar dari kafe. "Kita berangkat sekarang?" tanya Bibi Sheena. "Ya," jawab Olaf semangat. "Baiklah. Ayo," ajak Bibi Sheena. Eleanor dan Bibi Sheena masuk ke dalam mobil. Eleanor duduk di kursi samping pengemudi. Sedangkan Bibi Sheena duduk di kursi pengemudi. Perlahan mobil tersebut melaju disusul oleh mobil lain jauh di belakang mereka. Bibi Sheena melirik ke arah Eleanor. Wanita itu hanya duduk diam sembari menyandarkan punggung dengan pandangan tertuju ke arah luar kaca jendela mobil. "Apa ada masalah, El?" tanya Bibi Sheena melihat raut wajah Eleanor yang sedang memikirkan sesuatu. Eleanor justru menarik napas yang terasa berat. Ia menundukkan tatapannya sekilas lalu melirik ke arah Bibi Sheena dengan senyum masam. Sedangkan tas jinjing yang sejak tadi talinya masih menggantung pada pundak, dilepaskannya dan diletakkannya di atas paha seraya memeluknya. "Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Olaf, Bibi," keluh Eleanor. "Apa kalian bertengkar?" "Olaf masih melarangku untuk hamil. Padahal kami sudah lama menikah. Yang ada di dalam pikirannya hanyalah bagaimana agar hidupnya terjamin. Dia cemas kalau kami memiliki anak dan kehidupan kami masih seperti ini, anak kami akan bernasib buruk." "Olaf memikirkan itu pasti demi kebahagiaan kalian." Eleanor mendesah pelan dan kembali memalingkan wajahnya ke arah kaca jendela mobil. Dirinya merasa tidak senang dengan respon Bibi Sheena yang seolah membela Olaf. *** Setelah menempuh perjalanan lebih dari satu jam, akhirnya mobil yang dikendarai Bibi Sheena tiba di depan gedung asuransi di Seattle. Eleanor dan Bibi Sheena masuk ke dalam gedung. Mereka menemui salah satu kenalan Bibi Sheena untuk membantunya memproses asuransi milik mendiang ayahnya Eleanor. Benar saja yang dikatakan Olaf. Bibi Sheena memang bisa membantu. Kenyataannya hanya menunggu sampai dua jam, uang asuransi milik mendiang ayahnya sudah dapat dicairkan. Itupun dikarenakan banyak antrian. Mungkin jika dirinya antrian nomor depan, hanya membutuhkan waktu lima sampai sepuluh menit. "Bibi," panggil Eleanor saat mereka keluar dari gedung asuransi. "Ya." "Aku ingin mengunjungi makam ayahku sebentar saja," pinta Eleanor. "Baiklah. Aku akan mengantarmu ke sana," ucap Bibi Sheena. "Biar aku saja yang menyetir mobilnya," ujar Eleanor menawarkan diri. "Okay," jawab Bibi Sheena sembari tersenyum membuat Eleanor membalas senyumnya. Akhirnya mereka bertukar tempat. Eleanor masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi pengemudi sedangkan Bibi Sheena memutari kap mobil untuk duduk di kursi penumpang tepat di samping Eleanor. Setelah menutup pintu mobil, Eleanor kembali melepas tasnya lalu mulai menyalakan mesin mobil. Perlahan mobil berwarna putih itu melaju meninggalkan halaman gedung asuransi berlantai tiga tersebut. Eleanor melajukan mobilnya menuju tanah pemakaman di kota Seattle, tempat mendiang ayahnya dikebumikan. "El," panggil Bibi Sheena membuat Eleanor menoleh ke arahnya. "Menurutku, jika restoran kalian masih tetap saja tidak menguntungkan. Lebih baik kalian buka usaha lain dengan modal uang asuransi itu. Sudah lebih dari setengah tahun tapi masih belum ada perkembangan. Atau … kau bisa membuka usaha kafe, bar dan lainnya." "Aku sudah memikirkan hal itu, Bibi. Tapi Olaf tidak menyetujuinya. Aku tidak tahu kenapa dia masih saja percaya dengan peramal sialan yang sudah meracuni otaknya," balas Eleanor tanpa sadar sudah berbicara sesuatu yang dilarang Olaf. "Peramal? Kapan kalian pergi ke peramal?" Kening Bibi Sheena mengernyit bingung karena baru pertama kali mendengar tentang peramal tersebut setelah sekian lama mengenal Olaf dan Eleanor. "Bibi, bagaimana kalau nanti kita mampir dulu ke kafe?" ajak Eleanor mencoba mengalihkan pembicaraan. "Ya, baiklah," jawab Bibi Sheena. "Sekaligus kau bisa memikirkan saran dariku dan cobalah bujuk Olaf," sambung Bibi Sheena seolah melupakan topik pembicaraan mereka sebelumnya. "Ya." Eleanor mengedikkan bahu, "Meskipun aku yakin itu hal yang tidak mungkin. Bibi, kau tahu bukan Olaf itu sangat keras kepala dan terkadang menyebalkan." Bibi Sheena terkekeh pelan lalu mengangguk kecil seolah menyetujui ucapan Eleanor. "Itu memang benar. Itu sebabnya aku memintamu untuk membujuknya. Oh ya, apa kau sudah tahu tips membujuk orang keras kepala seperti Olaf?" Eleanor memalingkan wajahnya, menoleh ke arah Bibi Sheena. Keningnya sedikit berkerut diiringi gelengan kepala yang singkat. "Tidak. Memangnya apa, Bibi?" tanya Eleanor merasa penasaran ketika melihat senyum nakal wanita paruh baya dengan postur tubuh berisi tersebut. "Bujuk dia tepat setelah kalian melakukan hubungan intim. Di saat itulah hati yang lebih menguasai orang-orang yang memiliki tingkat keras kepala seperti Olaf. Dan hasilnya … delapan puluh persen lebih baik dibanding saat yang lain." Eleanor langsung tertawa mendengar jawaban dari Bibi Sheena untuk menutupi wajahnya yang tiba-tiba memerah. "Apa Bibi yakin dengan itu?" tanyanya masih sedikit tidak percaya. Apakah jawaban dari Bibi Sheena juga berlaku saat dirinya ingin membujuk Olaf untuk berhenti menyuruhnya meminum obat kontrasepsi agar bisa hamil? "Kau bisa mencobanya, sweety," jawab Bibi Sheena masih dengan senyum nakal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD