Part. 8

1352 Words
Sepeninggal Alvin, Retta pun tertidur namun di dalam mimpi Retta mengalami kejadian seperti sepuluh tahun silam, ketika dia kelas tiga SMP. (Flash back) Retta pulang sekolah dengan teman wanitanya karena mereka memang searah, dan Retta biasanya baru bertemu Alvin di depan halte bis depan kompleknya, entah kebetulan, entah Alvin memang menunggunya? Yang jelas ketika melihat Retta pria itu biasanya memasang wajah datar dan berjalan disamping Retta meskipun percakapan mereka didominasi dengan diam. Retta sedang menunggu bis di dekat gerbang sekolah ketika Gugun, pria yang siang tadi menyingkap roknya dan sekaligus meminta maaf padanya sedang berjalan bersama beberapa temannya. Melihat Retta, Gugun langsung menunduk seolah takut. Dia pun menjaga jarak dari Retta padahal mereka satu bis. Ketika bis berhenti tepat di depan mereka Gugun bahkan mempersilahkan Retta masuk duluan. Merasa curiga Retta pun menghampiri Gugun yang berdiri di bagian belakang bis. "Lo kenapa?" "Gak kenapa-kenapa." Jawab Gugun dengan senyum yang dipaksakan. "Jawab jujur Gun! Lo diancem sama Alvin ya buat minta maaf ke gue?" tanya Retta tepat pada sasaran. Gugun membuang pandangan ke arah lain. "Gak Cuma diancem Ta, tapi dipukul juga. Nih disini! Tapi gue ngaku emang gue salah udah iseng sama cewek dia." "Oh." Hanya itu jawaban Retta karena dia dan Gugun harus berdesakan dengan para penumpang yang baru saja masuk ke bis. Retta mencengkram tali tasnya kuat, sebuah rasa aneh menjalari hatinya, membuat senyumnya terkembang. Alvin ngelindungin gue. Bisik Retta dalam hati, dan ketika bis berhenti di halte depan komplek Retta terlihat Alvin dengan seragam SMPnya tengah berdiri memperhatikan bis itu. Gugun yang sempat melihat Alvin langsung berbalik badan tak ingin Alvin melihatnya satu bis dengan Retta. Retta turun dan tersenyum pada Alvin. Sorot mata Alvin menampakkan kelegaan yang luar biasa. Dan seperti biasanya mereka akan berjalan beriringan sampai rumah. "Tadi naik apa Vin? Kok selalu lo yang sampe duluan?" "Motor, dibonceng temen." "Ih belum punya SIM udah bawa motor. By the way, makasih ya." "Untuk?" Retta hampir saja membocorkan kalau dia sudah tahu dari Gugun, bahwa Alvin yang membuat Gugun meminta maaf padanya, kalau saja dia tidak ingat permohonan Gugun sesaat tadi yang memintanya untuk merahasiakan hal ini. "Kenapa senyum-senyum? Gak jelas!" Ucap Alvin ketika menengok ke arah Retta yang sempat terdiam, Retta hanya menggeleng dan mensejajari langkah Alvin lalu mulai berceloteh apa saja. Tentang kegiatan seharian ini yang tentu sebenarnya Alvin pun sudah tahu dan ikut mengalaminya toh mereka satu sekolah, satu kelas bahkan. "Suka."Desis Retta, wanita muda itu menggeleng dengan menepuk pipinya yang bersemu merah, membuat Alvin semakin mengernyit. "Suka apaan?" "Apaan sih Vin, emangnya siapa yang ngomong sama elo?" Retta berlari sambil memegangi pipinya yang memanas. Alvin hanya geleng-geleng tidak mengerti dengan Retta, tingkah wanita itu menjadi aneh sejak turun dari bis tadi. Tanpa sepengatahuannya, setelah masuk rumah, Retta menelungkupkan badan di kasur sambil kakinya menggoyang tak beraturan. Merasa malu, senang sekaligus. Bahkan Retta merasakan perutnya beregejolak. Dan dia tak dapat menyembunyikan bibirnya yang terus saja tersenyum. Karena dihatinya kini sudah dipastikan bertengger nama Alvin, wajah Alvin dan semua tentang Alvin. *** Subuh-subuh Retta dikejutkan oleh Alvin yang meneleponnya dan meminta Retta keluar. Retta pun keluar dari rumah dan mendapati Theo yang sudah duduk di depan rumahnya dengan beberapa bagian wajah yang lebam. Tidak parah tapi cukup sakit dirasa. Alvin menyedekapkan tangannya dan terus memperhatikan Theo, sambil menunduk Theo memegang tangan Retta memohon maaf atas apa yang dia lakukan, atas segala kesalahannya sama ini. "Maaf aku udah kasar sama kamu, maaf aku udah rebut kesucian kamu. Aku siap bertanggung jawab Ta. Apapun yang kamu inginkan akan aku kabulkan. Asal kamu mau maafin aku." Theo berlutut di lantai. Tangis Retta luruh, ditatapnya Alvin yang memasang wajah muak pada Theo. Wajahnya juga terlihat lebam. Alvin menyembunyikan tangannya dibalik saku. Tapi Retta bisa melihat bekas kemerahan yang muncul di tangan Alvin sebelum pria itu sempat memasukan tangannya. "Udahlah semua udah berlalu, sekarang gue Cuma mau lo pergi dari kehidupan gue selamanya. Dan jangan pernah lakuin itu ke perempuan manapun. Cukup gue yang jadi korban kekerasan elo!" Retta menarik tangannya yang tadi digenggam Theo dengan kasar. "Kamu gak laporin aku ke polisi Ta?" Theo seolah kaget dengar pernyataan Retta barusan. "Enggak! buat apa? Cukup lo pergi jauh dari gue dan jangan pernah munculin wajah lo lagi dihadapan gue. Mulai sekarang!" "Pergi Lo denger gak!!" Alvin hampir saja menendang Theo kalau saja Retta tidak buru-buru menarik tangannya. Theo pergi dengan setengah berlari dengan wajah yang agak ketakutan. Retta menarik tangan Alvin untuk duduk di kursi teras di sampingnya. Mengusap tangan Alvin yang memerah. "Cukup dua kali lo mukulin orang karena gue Vin, gue gak suka kekerasan, jangan lakuin itu lagi ya." Alvin mengernyit ingin protes pada Retta. "Kenapa? Lupa? Gue tahu dulu lo mukul Gugun pas SMP dan ini yang kedua kalinya. Please janji sama gue Vin untuk gak nyelesain masalah dengan kekerasan lagi." "Ya, itukan karena mereka duluan." Alvin berdecih sebal dan memalingkan wajah ke arah lain. Retta memegang pipi Alvin dan menangkupnya. "Iya gue tahu, untuk kali ini gue maafin tapi gue gak suka lo lakuin itu lagi ya, meskipun itu demi gue. Kita udah dewasa bukan anak-anak remaja lagi Vin. Kekerasan gak harus dibalas dengan kekerasan juga." Alvin mengangguk persis anak kecil yang dimarahi ibunya. Tanpa mereka tahu bahwa dibalik pintu Lidia menguping pembicaraan mereka dengan air mata yang mengalir turun tak dapat dibendungnya. Retta masih mengusap jemari Alvin yang kemerahan usapannya naik ke pipi Alvin dan melihat beberapa lebam disana akibat baku hantam dengan Theo tadi. "Awww. Jangan diteken sakit!" rungut Alvin karena Retta sepertinya menekan terlalu keras pada lebamnya. "Gue ambil kompresan dulu tunggu sini." "Iya bawel." Jawab Alvin sekenanya. *** Alvin membawa semangkuk bubur ayam dari rumahnya yang sengaja dibuat sendiri untuk Retta. Bubur ayam yang biasa dihidangkan oleh mamanya ketika dia sakit. Dipakaikan daun salam, rajangan Jahe dan dimasak dengan kaldu ayam sekaligus. "Budeh, Retta ada?" tanya Alvin pada Lidia, Ibu Retta yang sedang memasak di dapur. "Dikamar Vin, masuk aja. Lagi sakit sepertinya dia, dari tadi mukanya ditutupi selimut." Alvin mengangguk dengan tersenyum getir, pasti Retta sedang bersembunyi, dari lebam di wajahnya tak ingin ibunya mengetahui hal itu. Alvin mendorong pintu kamar Retta pelan. Terlihat Retta yang terbungkus selimut, Alvin pun menutup pintu kamar itu dan mengguncang bahu Retta perlahan. "Ta, buka dong. Gak ada siapa-siapa disini." Retta terlihat menggeliat dan menarik selimut hingga batas lehernya. Mengerjap menatap Avin yang sudah duduk di ranjangnya dengan semangkuk bubur ayam beraroma harum. "Makan ya, ini liat gue bikin bubur khusus buat lo." "Emang lo bisa masak?" "Enggak sih, ini baru pertama kali hehe cobain makanya." Retta bangkit dan duduk, sementara Alvin membantunya menaikkan bantal untuk Retta bersandar. Wajah Retta sudah lebih baik dari yang semalam dia lihat. Bekas lebam itu sudah memudar hanya matanya saja yang bengkak efek terlalu banyak menangis. "Suapin." "Nah kan kumat manjanya." Alvin menyipitkan matanya dan menarik hidung Retta membuat wanita itu mengaduh. "Nih Aaaaa," Alvin menyuapi Retta setelah meniup bubur yang masih mengepul itu. "Asin banget Vin, mau kawin ya?" Retta mengernyit merasakan bubur yang keasinan itu. "Ah masa," Alvin pun mencicipi bubur itu dan mengernyit, sepertinya terlalu banyak garam yang dia tuangkan ke bubur buatannya itu. "Gue bikinin lagi ya," Alvin hampir beranjak namun tangan Retta menahannya, membuat Alvin duduk kembali dengan pandangan bingung. "Gak apa-apa Vin, lagian mulut gue lagi gak bisa makan yang terlalu hambar, pahit gitu rasanya." "Serius gak apa-apa?" Retta pun mengangguk "Lagian meskipun asin rasanya lumayan enak, sering-sering aja masakin gue hehe," Kekeh Retta "Iya nanti kalau lo jadi istri gue." Jawab Alvin pelan, namun Retta bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Alvin menyuapi bubur itu lagi ke Retta hingga tandas semangkuk, diapun berjalan ke dapur untuk mengambil air minum. Sesampainya di dapur terlihat Lidia ingin memberikan Retta s**u, maka Alvin pun meminta izin agar dia saja yang memberikan Retta s**u putih itu. Sepeninggal Alvin, Lidia tersenyum sumringah sambil menatap punggung Alvin yang masuk ke dalam kamar Retta. Jauh di dalam lubuk hatinya dia menginginkan Alvin yang menjadi menantunya. Andai saja Tuhan berkehendak demikian. Namun senyumnya dengan cepat memudar. Wanita tua itu menekan dadanya yang tiba-tiba terasa sakit. Butiran halus airmata yang sedari tadi ditahannya luruh terjatuh, bersamaan dengan langkahnya yang gontai menuju kamar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD