Part. 7

1416 Words
"Kita mau kemana?" Tanya Retta ketika mobil mengantarkan mereka sampai tujuan. Theo lelaki berpostur tubuh tinggi besar, kulitnya agak hitam namun tidak legam. Matanya tajam dan wajahnya ditumbuhi bulu halus di sekitar rahangnya. Lelaki itu mengenakan kaos lengan panjang berwarna Navy dan celana Jeans abu-abu gelap. Berjalan cepat ke arah lobby hotel. "Hotel." Jawabnya singkat sambil tangannya membuang puntung rokok yang sempat dinyalakan tadi setelah turun dari mobil. Rokok yang baru dihisap sebentar itu diinjak oleh Theo untuk mematikan apinya karena dia terus berjalan cepat ke lobby yang sudah pasti dilarang merokok disana. "Tadi pagi kan bilangnya Cuma mau makan?" Retta berjalan pelan di belakang sesekali dia menoleh ke kanan dan ke kiri merasa khawatir. "Di hotel juga bisa pesan makanan kan?" Theo menarik tangan Retta agar lebih cepat. Tapi Retta menghempaskannya tak peduli pelototan mata Theo padanya. "Cepet!" geram Theo. Retta paling takut dengan tatapan mata Theo jadi dia terus mengikutinya sambil menunduk persis kerbau dicucuk hidungnya. Theo menarik tangan Retta lagi ketika masuk lift. Sampai di lantai lima belas, lift itu berhenti dan Retta merasakan sakit di pergelangan tangannya karena di cengkram oleh Theo. Air matanya sekuat tenaga ditahan. Dia harus tegar menghadapi Theo, tak ingin terintimidasi lagi. Theo baru melepaskan cengkramannya pada Retta sesaat setelah tubuh wanita itu terhempas di kasur. Lelaki itu membuang asal jaketnya dan dia juga menarik paksa kaus yang dikenakannya membuat Retta beringsut menjauh. Sampai kepala Retta terpentok pada sandaran tempat tidur. "Kamu mau ngapain?" "Gak usah sok suci Retta sayang, kita kan udah melakukan ini beberapa kali. Wajar kalau aku kangen sama kamu." Theo membelai rambut Retta dengan posisi membungkuk. Membuat Retta jijik. "Aku gak mau lagi jadi sasaran pelampiasan kamu!" Retta menatap Theo nyalang dengan mata yang memerah menahan marah dan tangis bersamaan. "Kamu gak bisa pergi dari aku, sebentar lagi juga kita akan menikah! Ingat itu Retta, selain aku belum tentu ada pria yang mau menikahi kamu! Apalagi keadaan kamu udah kayak gini." Theo tersenyum miring, senyumnya lebih mirip seperti seringaian. Membuat Retta semakin membeku akan kata-katanya. "Aku gak mau menikah sama laki-laki seperti kamu!!" Retta berdiri, dia harus segera pergi dari sini. Sebelum menjadi santapan pria jahannam macam Theo. Tapi Theo mencekal tangannya. "Trus siapa yang mau nikahin kamu? Si b*****g Alvin itu? Hahaha bahkan untuk ngungkapin perasaannya aja dia gak mampu kan?" Retta terkesiap mendengar ucapan Theo, bagaimana dia tahu tentang Alvin yang belakangan ini dekat dengannya. Seolah membaca pikiran Retta, Theo melanjutkan kata-katanya, "jangan kamu pikir aku b**o Ta! Selama kamu disini aku tahu kalau kamu dekat lagi kan sama dia? Sama kekasih tak sampai kamu itu! Kamu pikir setelah tahu kebenarannya dia akan tetap suka sama kamu! Bisa nerima kamu apa adanya! Kamu yang bekas orang! Bahkan mungkin setelah dia tahu, kamu gak akan ada harganya lagi di mata dia ta!" "b******k kamu Theo!" jerit Retta frustasi. *** Alvin menyudahi permainan drumnya di lagu ke empat. Sebelumnya dia meminta salah satu temannya untuk menggantikan posisi jadi pemain drum. Saat ini Alvin hanya terpekur di depan meja sambil memandangi handphone. Dia merasa terlalu kekanak-kanakan pagi tadi. Meninggalkan Retta begitu saja. Sudah satu jam mengirim pesan pada Retta, tapi tak nampak juga Retta membaca chat di whatsappnya. "Lama-lama bolong tuh hape diliatin mulu!" ledek Bimo, sambil menepuk bahu Alvin, mereka sedang istirahat sekarang, sampai tiga puluh menit kedepan dan akan bermain lagi nanti. "Telepon udah!" bujuk Aryo yang langsung duduk di hadapan Alvin. "Kenapa lagi Retta?" kali ini Daniel yang bertanya, dan ketiga sahabat Alvin itu kompak menatap Alvin lekat. Pasalnya sedari awal Alvin datang. Wajahnya sudah muram tak seperti belakangan ini. yang mereka tahu bahwa hubungan Alvin dan Retta semakin dekat, tapi entahlah. Alvin belum cerita masalah yang satu ini, dan mereka sangat mengenal Alvin. Lelaki itu hanya akan terbuka ketika merasa waktunya pas. Atau bebannya terlalu berat. "Gak perlu lah, dia lagi sama calon suaminya." Desah Alvin sambil meletakkan handphone itu di meja. Dia menyesap minumannya dan membuang pandangan ke arah luar. Dimana terdapat beberapa pasangan sedang memadu kasih. Membuatnya tersenyum sarkastik dan kembali melihat ketiga temannya yang masih menatapnya. "Lama-lama bolong muka gue, kalian liatin kayak gitu!" Dengus Alvin membuat ketiga sahabatnya tertawa dan merekapun mulai membicarakan hal lain, meskipun jauh di dalam hati Alvin merasa perasaan aneh pada Retta, rasa khawatir berlebihan tidak seperti biasanya. Dilihatnya lagi chat yang tadi sore dia kirim ke Retta. Me : Ta, udah pulang? Me : Maaf yang tadi pagi. Dan kedua pesan itu hanya centang dua, belum hijau. Ketiga teman Alvin kembali naik ke panggung bersama additional player pengganti Alvin. Karena alvin masih tidak dalam mood bagus untuk bermain drum malam ini. Ketika panggilan masuk ke handphonenya berbunyi, dari Retta. Dengan sigap Alvin mengangkatnya. "Hallo Ta," "Vin, bisa jemput gue?" suara Retta terdengar parau dan serak, tak perlu bertanya Alvin sudah tahu kalau wanita itu pasti sedang menangis sekarang. Alvin berdiri dan berlari keluar cafe dengan serampangan. Menabrak beberapa waitress maupun tamu cafe, Daniel yang diatas panggung pun sempat terhenyak dan terdiam diikuti beberapa teman lainnya yang menatap Alvin khawatir. Bimo meloncat menuruni panggung, berlari mengejar Alvin, namun dia kalah cepat, karena ketika keluar cafe terlihat Alvin sudah melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. *** Alvin mencengkram stang motornya hingga buku jarinya menonjol, rahangnya mengeras. Kalau saja Retta tidak melarangnya masuk hotel. Pasti Theo sudah habis babak belur olehnya. Bajingan itu dengan teganya menyakiti Retta seperti ini, tidak hanya hatinya tapi juga fisiknya. Membuat Alvin merasakan puluhan kali lipat lebih sakit. Beruntung Lidia sudah tidur, sehingga tak perlu melihat pipi anaknya menjadi kebiruan akibat bekas tamparan di wajahnya. Retta segera berbaring di kasur dan Alvin pun keluar mengambil batu es untuk kompres. Alvin masuk ke kamar Retta dengan membawa baskom berisi air dingin juga batu es, diambilnya handuk kecil dari lemari baju Retta. Depan pelan di tempelkannya di pipi Retta yang lebam. "Harusnya kita ke rumah sakit untuk visum, trus lapor polisi Ta, dia gak bisa didiemin aja." "Enggak Vin, gue gak mau." "Setelah apa yang udah dia lakuin ke loe? Loe masih sayang sama dia Ta?" Nada suara Alvin naik satu tingkat sehingga Retta perlu membekap mulutnya agar ibu tidak bangun. "Bukan gitu Vin. Kalau gue lapor polisi. Bapak gue bisa tahu masalahnya, semuanya bakalan lebih ribet. Lo tahu bapak disegani disini. Bagaimana kalau nanti semuanya tahu apa yang terjadi sama gue? Muka bapak pasti bakalan tercoreng Vin, gue pasti bikin malu bapak. Dan lo tau TKP nya dimana? Di hotel Vin. Saat olah TKP gue akan peragain semua yang terjadi tadi, semuanya Vin, termasuk saat dia, melakukan itu sama gue!" Retta terisak, dia membenamkan wajah di kedua tangannya. Alvin membuka tangan itu dan menarik tubuh Retta untuk dipeluknya. Alvin sangat tahu Retta mengalami kesakitan yang teramat sangat. Setelah Retta tenang dan tertidur. Alvin pun meninggalkan rumah Retta. Tujuan utamanya menemui Theo dia harus membalaskan setiap rasa sakit yang Retta terima. Alvin frustasi dan sangat kesal, berkali-kali dilampiaskan pukulannya pada tanki motor. Dia harus menahan kemarahannya. Dan dia sangat tidak suka. Alvin sebenarnya bukan tipe yang suka kekerasan tapi pengecualian jika itu menyangkut Retta. Karena sumpah demi apapun Alvin tidak rela Retta disakitin siapapun dimuka bumi ini. Dan sampai kapanpun Alvin akan membalasnya! Alvin terus memacu motornya dengan kecepatan penuh, hatinya dilingkupi amarah yang sangat berkecamuk. Dia harus mencari tahu tentang Theo apasaja mengenainya. Asal Alvin bisa segera menemukannya karena bertanya pada Retta pasti tak akan mendapatkan jawaban apapun. Terbayang kesakitan Retta selama beberapa tahun ini menjalani hubungan dibawah ancaman si b******k Theo membuat Alvin semakin beringas. Betapa Retta tak bisa lepas dari kungkungan Theo yang mungkin sudah mencuci otaknya dengan stigma bahwa tak akan ada pria baik yang akan menikahi dirinya jika sudah tidak suci lagi. Ya mungkin ada beberapa di dunia ini yang marah, kecewa, frustasi jika istri yang dinikahinya tak bisa menjaga kesuciannya. Tapi tak bisa dipukul rata juga, karena dari sekian banyak alasan. Ada pula wanita yang memang terjebak. Meskipun memang di dunia yang sudah b****k ini terkadang kesucian harganya sudah gratis. Dan tidak seharusnya wanita mengobral barang berharganya begitu saja. Jika dia ingin dihargai suaminya, maka hargai dulu tubuhnya. Itu yang selalu diucapkan Lidia sehingga Retta sangat takut jika Theo membocorkannya atau dia terlalu takut jika tak akan ada pria yang bisa menerima dirinya apa-adanya. Sesaat Alvin merasa betapa bodohnya Retta bisa terjebak dengan pria seperti itu, namun penyesalan memang selalu datang belakangan. Dibalik musibah ini Alvin berharap Retta semakin dewasa dan semakin terbuka fikirannya. Bahwa ada dirinya disini, dia yang selalu dengan tangan terbuka menerima Retta apa adanya, menunggu hingga mungkin seratus tahun lamanya untuk Retta. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD