Sudah tiga hari Lidia murung tanpa Retta tahu penyebabnya, dia lebih sering mengurung diri dikamar. Bahkan tidak membuat sarapan atau makan malam.
Retta sering bertanya padanya, namun ibu hanya menggeleng lemah, diajak kerumah sakit pun tidak mau. Tubuhnya terlihat baik-baik saja tapi tidak untuk hatinya.
Seperti hari ini, Retta yang memasak sarapan dan meninggalkannya di meja kamar ibu. Lalu dia berangkat kerja bersama Alvin seperti biasanya.
Pulang kerja, Retta memutuskan membeli ayam bakar untuk makannya dan untuk ibu juga. Betapa kagetnya dia melihat Ayah sudah duduk diruang tamu, menonton televisi.
Padahal yang Retta tahu, ayahnya masih dinas untuk terakhir kalinya sebelum mengambil pensiun dan akan kembali tiga bulan lagi.
Ayah bernama Surya, sosok pria berperawakan tinggi besar. Warna kulitnya sawo matang khas tentara Indonesia aktif. Diusianya yang sudah setengah abad ini ayah masih terlihat segar bugar. Retta segera mencium punggung tangan ayah dan memeluknya. Entah Retta merasa tangan ayah bergetar ketika mengusap punggungnya.
"Kapan datang Yah? Kok enggak ngabarin?"
"Siang tadi, kamu udah makan?"
"Belum yah, ini Retta bawa ayam bakar. Kita makan bareng ya, tapi Retta mandi dulu." Ayah mengangguk dan Retta bergegas menaruh bungkusan ayamnya di dapur. Diapun sempat berpapasan dengan Ibu, namun wanita itu membuang muka dan terlihat mengusap air mata di pipinya.
Retta mengangkat bahu, tak mengerti yang dia yakini pasti ada sesuatu yang salah, pasti ada masalah yang besar, yang membuat ibu seperti ini. apakah tentang Elia? Atau tentang Ayah?
Retta pun memutuskan untuk segera mandi dan bergabung bersama keluarganya untuk mencari tahu penyebab ibunya murung seperti itu.
Setelah mandi Retta berjalan ke ruang makan, terlihat ibu dan Ayah sudah menunggu disana dengan piring yang telah terbuka lengkap dengan sajian ayam bakar yang tadi dibeli Retta.
"Ibu, makannya dikit banget? Ibu sakit."
"Makan dulu Ta, ada yang ayah mau omongin ke kamu." Ayah terlihat gusar namun dia menyembunyikannya dengan menyuap makanan. Sesaat Retta merasa merinding dan takut. Apakah mereka sudah tahu masalah yang Retta hadapi?
Padahal Retta selalu mencoba menutupinya dengan berbagai cara.
Setelah membereskan piring kotor, Retta menghampiri ibu dan Ayah di ruang tivi. Ayah duduk di sofa tunggal sementara ibu di sofa panjang, Retta pun duduk disamping ibu, di tengah-tengah antara mereka berdua.
"Tiga hari lalu, Ibu telepon ayah. Dia mendengar dan melihat semua yang terjadi ketika subuh-subuh. Ketika Theo datang dengan kondisi muka babak belur kerumah. Hal sebesar ini kenapa kamu sembunyikan sama Ayah. Jawab Retta! Apa kamu tidak percaya lagi pada orangtua kamu!" Ayah terlihat sekali menekan marahnya, tangannya mengepal kuat. Retta bersimpuh di depan lutut Ayah memegang tangannya sambil menangis.
"Ampun Yah, Retta gak bermaksud seperti itu. Retta Cuma gak mau ibu sama ayah keseret masalah ini. maafin Retta yah. Tapi semuanya sudah selesai kok."
"Selesai? yang bagaimana yang kamu bilang selesai? Tanpa tanggung jawab dari dia!!" tunjuk Ayah di muka Retta
"Yah!" ibu ikut bersimpuh disamping Retta memeluk bahu Retta yang kini bergerak naik turun karena terisak.
"Dia, Harus bertanggung jawab! Dia sudah merenggut kesucian kamu! Apa kamu yakin di rahim kamu tidak ada janin dia saat ini!"
"Retta gak mau nikah dengan pria kasar seperti dia pah."
"Kamu yang sudah melepaskan keperawanan kamu, hal yang seharusnya kamu jaga. Ayah akan kirim dia ke penjara! Ditambah dia sudah berani-beraninya memukuli kamu!"
"Yah, jangan! Retta gak mau masalah ini menjadi besar. sudah Yah tolong."
"Kamu tidak mau menikah dengan dia! Kamu tidak mau dia dipenjara! Tapi kamu mau melepaskan kesucian kamu! Siapa yang ngajarin kamu jadi seperti ini Retta! Jawab Ayah!!" bentak Ayah hampir meninggalkan Retta.
"Maafin Retta Ayah, Retta lalai, Retta khilaf."
"Maaf tidak bisa mengembalikan semuanya Retta. Kamu harus menikah!"
"Retta enggak mau nikah sama dia yah." Retta semakin terisak, ibu mencoba menarik bahu Retta agar berdiri tapi tubuh Retta tak jua mau bangkit.
"Kamu tidak mau menikah dengan dia tapi kenapa kamu mau berhubungan kotor seperti itu!" Retta berdiri dan memegang tangan Ayahnya yang ingin pergi dari sana.
Dia memang merasa pernah bodoh sekali bisa begitu saja melepaskan keperawanannya karena bujuk rayu Theo, dan dengan bodohnya pula menuruti segala ancaman Theo yang akan merusak reputasinya jika tidak mau melayaninya.
Cinta... ya awalnya memang karena cinta biadap itu! Tapi lama kelamaan hubungan mereka semakin tidak sehat. Theo yang sering menampar bahkan memukul Retta jika tidak menuruti kemauannya.
Theo yang selalu mengekang kebebasan Retta, bersikap sangat posesif. Hingga cinta Retta kemudian berubah menjadi benci. Dan cukup sudah enam tahun dia berhubungan dengan pria itu. Dia tak mau menggantungkan waktunya seumur hidup dengan menjadi istri dari pria yang suka melakukan kekerasan terhadapnya itu.
"Saya yang akan nikahin Retta padeh." Alvin yang entah sejak kapan sudah berdiri disitu nyelonong masuk dan berdiri di hadapan Surya.
"Saya tahu kamu dan Retta berteman sejak kecil, tapi tidak seharusnya kamu yang bertanggung jawab atas perbuatan laki-laki pengecut itu untuk Retta, Alvin!"
"Tidak padeh, Saya memang ingin menikah dengan Retta, menjadikan dia istri saya. Kalau perlu malam ini juga saya bawa orangtua saya untuk melamar Retta kesini."
Ayah terlihat berfikir sejenak, dia memandang Retta yang sudah menunduk sambil terisak, menggenggam tangannya yang bergetar. Dan pandangannya beralih pada Alvin. Terlihat pria itu sungguh-sungguh akan ucapannya. Mungkin memang dia harus memutuskan menyetujui hal ini. sebelum masalah semakin berlarut-larut. Toh Alvin juga sudah sangat mengenal Retta dan keluarganya, dan selama ini sikap maupun sifat Alvin terlihat baik.
"Bawa orangtua kamu kesini, kita bicarakan ini lebih lanjut." Ayah pergi ke kamar lalu menutup pintu dengan setengah membantingnya. Diikuti ibu yang sebelumnya mengusap punggung Retta pelan.
"Yah..." Retta berteriak frustasi tubuhnya luruh ke lantai. Alvin memapahnya untuk duduk di sofa.
Lelaki itu bahkan mengambilkan air minum untuk Retta, agar dia tenang. Retta masih sesenggukan tak menyangka semua akan jadi seperti ini. tak tahu betapa orangtuanya terluka karena hal ini. dan tak pernah berfikir kalau Alvin pun menjerumuskan dirinya sendiri di pusaran masalah ini.
"Ayah orang yang keras Vin, kenapa lo malah ikut-ikutan masuk ke masalah ini."
"Gue tahu, itu sebabnya tadi gue ngomong gitu kalo enggak, padeh akan bener-bener nyeret Theo ke kantor polisi, masalah makin runyam dan nama padeh dan nama lo bisa tercemar, seperti apa yang lo takutin selama ini."
"Tapi kenapa Vin? Disini elo yang jadi korban."
"Enggak kok. Lagian gue mau nikah sama lo."
"Ya kenapa? Apa alasannya."
"Ya pengen aja." Alvin menggaruk kepalanya pelan dan tersenyum miring, "Udah ah berenti nangisnya. Gue mau panggil orangtua gue kesini. Mereka pasti seneng lo jadi menantunya. Paling gue Cuma dijewer aja sedikit sama mamah karena lamaran dadakan." Alvin berusaha menghibur Retta dan berhasil, wanita itu sudah tersenyum dan menghentikan air matanya.
Yang perlu dia lakukan kini, meyakinkan orangtuanya kalau mereka akan melamar Retta saat ini juga.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun dua keluarga yang bertetangga itu masih terlihat berunding tentang pernikahan Retta dan Alvin yang akan dilaksanakan secepatnya.
Orangtua Alvin terlihat tidak keberatan, bahkan sebagai orang yang dekat dengan keluarga itu, Surya sudah menjelaskan duduk permasalahannya. Dan mengingat satu jam yang lalu Alvin memohon agar kedua orangtuanya merestui mereka dan ingin melamarkan Alvin pada Retta.
Mereka, orangtua Alvin merasa ada yang tidak beres dengan lamaran mendadak ini, namun Alvin kekeuh ingin menikah dengan Retta membuat mereka setuju saja dengan penjelasan dari orangtua Retta. Apalagi Retta sudah mereka anggap seperti anak sendiri, jadi mereka juga perlu menjaga dan melindungi. Termasuk dari Aib yang dia perbuat sendiri.
Surya dan Doni berhadapan di sofa tunggal, sementara kedua ibu mereka di sofa panjang. Alvin dan Retta sendiri menarik kursi kayu yang berasal dari ruang makan.
"Saya ingin pernikahan mereka dilaksanakan secepatnya." Ucap Surya memandangi sepasang calon pengantin yang sebenarnya lebih mirip terdakwa itu. Baik Alvin dan Retta tak banyak bicara dan berkomentar mereka seakan sudah pasrah akan di eksekusi seperti apapun.
"Saya setuju saja mas, lagipula mereka sudah dekat tak perlu pendekatan lagi kan?" Doni mengangkat kedua alisnya ketika bertatapan dengan Alvin. Retta tahu Alvin sangat dekat dengan Ayahnya, hal yang selalu membuatnya iri.
"Bagaimana dengan pendapat kalian berdua?" tanya Surya pada Lidia dan Mira.
"Saya sih setuju sama Mas, mba jika untuk meresmikan hubungan mereka dilakukan secepatnya. Tapi saya ingin tetap mengadakan resepsi, karena kami punya keluarga besar yang pasti akan bertanya-tanya jika tidak mengadakan resepsi pernikahan. Iya kan Pah." Mira terlihat meminta persetujuan suaminya.
"Iya betul mas, untuk surat-menyurat pernikahan biar saya yang urus, kita tinggal tentuin tanggalnya saja. Kebetulan saya punya kenalan petugas pernikahan." Cetus Doni.
"Hmm bagaimana kalau minggu depan?" Surya mengusap dagunya pelan. Retta melotot mendengar penuturan ayahnya. Bagaimana bisa menikah dalam waktu seminggu dari sekarang. Dia saja bahkan tidak tahu perasaan Alvin yang sesungguhnya padanya.
"Setuju," jawab mereka semua, kecuali Retta dengan serempak. Membuat Retta menatap horror satu persatu wajah yang ada disana.
Setelah membicarakan berbagai hal penting, orangtua Alvin pamit pulang, diantar oleh kedua orangtua Retta sampai depan rumah. Terlihat Doni dan Surya berpelukan. Pun dengan ibu mereka berdua. Sementara Alvin dan Retta masih terdiam di ruang tengah.
"Lo yakin gak apa-apa Vin nikahin gue, masa depan lo masih panjang." Retta memainkan kukunya dengan gusar, tiba-tiba saja dia ingin menangis, merasa kalau dia memang sudah menjerumuskan Alvin dalam pusara masalahnya.
Alvin menarik tangan Retta dan menautkan jemarinya.
"Gak ada lagi masa depan gue dan lo, mulai saat ini yang ada adalah masa depan kita. Ya kita berdua, kita yang akan jalanin kehidupan kita. Gue janji gue gak akan menyesal atas keputusan gue." Retta mengangkat wajahnya saling bertatapan dengan Alvin. Cukup lama hingga deheman dari Surya membuat mereka saling membuang muka.
"Alvin pulang dulu padeh," lelaki itu langsung berdiri dan terlihat kikuk mendapati tatapan tajam dari calon mertuanya. Surya menghampiri Alvin dan memeluknya erat.
"Terimakasih Alvin sudah bisa menerima putri padeh apa adanya. Jaga dia ya nak, jangan pernah sakitin dia apapun yang terjadi." Surya terlihat menarik nafas panjang dan menyusut airmata dengan jarinya, agar butiran itu tidak jatuh. Retta menghampiri ayahnya dan mengusap punggung ayah.
Surya melepaskan pelukan ke Alvin dan bergantian memeluk Retta.
"Maafin Ayah ya sayang, ayah tidak bisa menjaga kamu. Bagaimana ayah menjaga negara jika menjaga putri ayah saja ayah tidak mampu." Dan akhirnya yang ditahan pun keluar begitu saja. Surya bahkan membiarkan air mata itu keluar dari matanya. Sementara Retta semakin mengeratkan pelukan di tubuh ayahnya.
"Ayah gak salah, Retta yang salah. Retta yang bodoh. Maafin Retta yah..."
"Iya sayang, maaf ayah terlalu keras sama Retta selama ini." Retta mengangguk, terlihat Lidia yang mengusap air mata dari kejauhan memandang kedua ayah anak itu dengan lekat.
***