Part. 1
Waktu masih menunjukkan pukul delapan pagi, ketika Retta menyiram tanaman di pekarangan rumahnya pagi ini. Wanita itu terlihat sangat nyaman mengenakan kaos kebesaran dan hot pants menyembul berwarna merah yang menutupi pahanya.
Sesekali dia menguap karena rasa kantuk yang tak jua mau hilang, mungkin seharusnya dia menyiram wajah dan tubuhnya, bukan tanaman hanya untuk menghilangkan rasa ngantuk.
Wajar saja, dia baru datang dari Surabaya pukul dua pagi, dan sekarang dia dipaksa ibunya untuk bangun dan membereskan koper beserta barang bawaan setelah hampir delapan tahun tinggal di Surabaya.
Retta memilih kuliah disana karena ingin menemani Nenek yang hidup hanya seorang diri, namun dua tahun lalu Neneknya meninggal dunia dan Retta masih tetap tinggal disana karena sudah mendapatkan kerja di salah satu bank.
Tidak hanya kuliah dan kerja, karena Retta juga mempunyai pacar disana namanya Theo, temannya semasa kuliah. Hingga kini usia pacaran mereka cukup lama sekitar enam tahun.
"Woy, siram juga tuh muka, banyak beleknya gitu!" teriak seseorang dari balik pagar. Retta memicingkan matanya memperhatikan sosok laki-laki yang kini duduk di motor CBR berwarna merahnya, cowok itu membuka helm dan menampilkan sosok wajahnya yang bisa dibilang tampan.
Rambutnya disisir rapih, hidungnya cukup mancung dan bibir yang terlihat seksi. Juga rahangnya yang tegas dan bersih, tak ditumbuhi bulu di sekitar wajahnya.
"Retno kapan dateng?" tanya pria yang masih duduk di motornya dengan memangku helm yang harusnya dikenakan ke kepala. Dialah Alvin, teman semasa kecil Retta yang sempat terlupakan karena kesibukan mereka masing-masing.
"Retno Retno!!" Sungut Retta, ya memang sedari dulu Alvin selalu memanggilnya Retno, plesetan dari kata Retta dan itu tak bisa dirubah.
"Hehehe ngambil cuti lo?"
"Gue minta mutasi ke Jakarta."
"Wow, bukannya lo mau kawin sama Theo? Ngapain mutasi kesini ntar balik lagi kesana!" Alvin memakai kembali helmnya, menyamarkan rasa getir ketika dia menyebut nama kekasih Retta.
"Suka suka gue dong, kenapa lo yang repot! Udah sana berangkat, nanti telat lo!"
"Bawel! Eh ntar malem ke cafe Simpang ya, gue ngeband disana." Ucap Alvin setelah mengedipkan matanya dan melajukan motornya tanpa mendengar ucapan Retta selanjutnya.
Retta masih ingat kalau Alvin memang suka bermain band dia memegang Drum sekarang setelah sebelumnya menjadi gitaris. Kalau tidak salah ketika baru lulus SMA dia mulai memainkan Drum.
Masih lekat dalam ingatan Retta ketika pertama kali Alvin membeli drum dan meletakkan di dalam kamarnya, dia bermain full dari pagi sampai tengah malam hingga beberapa tetangga mendatangi rumah orangtuanya untuk meminta Alvin menghentikan gebukan pada benda tersebut, karena mereka merasa tidurnya terganggu.
Alvin pun menurut namun pukul lima pagi dia memainkan kembali drum itu, membuat kedua orangtuanya terpaksa meminta maaf dengan membagi-bagikan sarapan gratis ke para tetangga.
Yah begitulah sosok Alvin jika sudah menyukai sesuatu dia akan terus memainkannya tidak perduli apapun konseksuensinya.
Alvin dan Retta sekolah di sekolah yang sama sejak TK hingga SMP, dan di SMP itu Alvin mulai suka alat musik bernama gitar dan bisa memainkannya. Namun ketika SMA mereka pisah sekolah karena Retta yang memilih sekolah di SMK sedangkan Alvin di SMA. Dan yang Retta tahu, sejak SMA Alvin mulai bersahabat dengan teman sebandnya mungkin sampai kini. Entahlah.
***
Retta memendarkan pandangan ke seluruh pengunjung cafe yang didominasi kalangan muda, cafe berkonsep natural itu terlihat sangat menarik.
Banyak di letakkan tanaman-tanaman kecil di beberapa sudut cafe bahkan di depan cafe menjulur tanaman rambat yang dihiasi berbagai bunga-bunga dan biasa dipakai untuk foto selfie karena disediakan bangku lengkap dengan papan tulisan yang lucu-lucu.
Meja dan bangkunya dibuat dari kayu, dengan lampu temaram yang tidak terlalu terang menambahkan kesan hangat.
Pandangan Retta menuju ke sebuah meja dimana terdapat Alvin dan teman-teman sebandnya yang dia kenal. Mereka masih sama seperti dahulu hanya guratan wajah kedewasaan saja yang nampak membedakannya.
Lamat-lamat Reta berjalan sambil memutar balik masa dimana dia sering main kerumah Alvin yang dijadikan base camp oleh teman-teman seband-nya.
Cowok tinggi kurus berkacamata itu bernama Daniel dia vocalist sekaligus gitaris, yang berambut agak plontos bernama Bimo, pemegang bass. Sedangkan yang badannya agak berisi bernama Aryo dia memegang Rhytm Gitar.
Retta sendiri kenal mereka sejak dahulu, namun tidak terlalu dekat, meskipun di akun sosial media mereka berteman.
Daniel menoleh ke arah Retta dan tersenyum sambil menepuk bahu Alvin yang duduk dengan posisi membelakangi Retta. Alvin ikut menoleh dalam diam memandangi Retta. Wanita itu terlihat fresh dengan rambut yang dikuncir ekor kuda, jeans belel dan sepatu ketsnya. Sementara tangan sebelahnya menenteng jaket parka berwarna hijau army.
"Retta kan? Apa kabar?" Daniel menyalami Retta diikuti teman band yang lain, yang langsung mengajak Retta duduk tepat disebelah Alvin yang diam tak berekpresi.
"Baik, kalian gimana? Udah punya berapa album?" pertanyaan Retta dijawab dengan malas oleh mereka, terlihat wajah mereka agak muram.
"Yah, dulu sih tujuan kita bermusik itu buat bikin album trus terkenal, tapi gak jadi. Perjuangannya berat haha jadi sekarang kita nikmatin aja bermusik di sela nyari duit." Jawaban Aryo membuat Retta mengangguk.
"Jadi kalian semua udah pada kerja sekarang?"
"Iya, gue kerja di tivi, nah dua kunyuk ini di hotel, klo Alvin sih elo udah tau dimana pasti." Ucap Bimo yang dihadiahi bogeman mentah di bahunya oleh Daniel karena menyebut dirinya kunyuk.
"Oiya tahun lalu lo nikah ya Yo? Sorry gue gak dateng," Retta tersenyum ke arah Aryo,
"Iya gak apa-apa, yang penting doa restunya sampe kok.. tuh istri gue disitu sama pacar-pacar mereka, nanti pas kita manggung lo sama mereka ya, yuk gue kenalin." Aryo menoleh ke arah Alvin yang langsung mengangguk dan Retta pun mengikuti Aryo ke meja dimana terdapat tiga wanita yang dirasa sepantar olehnya. Retta memang tidak menghadiri pesta pernikahan Aryo karena dia sedang ada audit di kantor cabangnya. Sehingga di meminta tolong Alvin untuk memberikan amplop atas namanya.
Yang dia tidak tahu adalah bahwa Alvin menuliskan namanya juga di amplop itu berdampingan layaknya pasangan.
Aryo mengenalkan seorang wanita berwajah manis dengan lesung pipi yang terlihat pas diwajahnya dia bernama Mona, istrinya. Kemudian dia berkenalan dengan Ayu tunangannya Daniel dan juga Lea, pacar Bimo.
Retta pun ikut duduk di meja itu dan langsung terlibat percakapan seru antar wanita yang percakapannya tidak jauh-jauh dari alat make up dan gosip selebriti. Tak lama Alvin CS melewati mereka untuk naik ke panggung kecil di cafe. Setelah sebelumnya Alvin sempat menarik kunciran Retta dan memakai di tangannya sebagai gelang.
"Iseng!!" rungut Retta sambil merapihkan rambutnya yang tergerai dengan jari. Ketiga wanita itu hanya tersenyum simpul melihat tingkah konyol Alvin pada Retta.
"Test... hai guys apa kabar?" suara Daniel membuat semua hadirin mengalihkan perhatian kepadanya. "Malam ini kami kedatangan teman yang spesial dari Surabaya, Retta.. this song special for you from Us and Alvin of course." Kekeh Daniel yang disambut dengan pukulan Drum kencang oleh Alvin, Daniel hanya menjulurkan lidah ke arah Alvin. "Seberapa pantas from Sheila on Seven."
Daniel pun menyanyikan lagu jaman old tersebut dengan nada yang di-remake, sehingga cukup berbeda dari nada aslinya. Kali ini mengalun lebih mellow. Retta dan ketiga teman barunya bertepuk tangan mengiringi aksi mereka. Tanpa dia tahu, dibalik drum itu Alvin terus saja mengulum senyum memperhatikannya dengan lekat. Seolah lagu yang dimainkannya memang untuk Retta. Seberapa pantaskah Retta ditunggu oleh dirinya? dan sampai kapan dia harus menunggunya?
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, pengunjung pun mulai meninggalkan cafe karena memang sudah waktunya tutup. Aryo pamit pulang lebih dulu disusul oleh Bimo dan Lea, sementara Daniel dan Ayu masih terlihat sibuk berbincang dengan pemilik cafe.
Alvin mengambil motor besarnya di parkiran dan membawanya ke hadapan Retta. Retta yang memang tidak membawa kendaraan pribadi setuju saja ketika Alvin mengajaknya pulang bareng. Retta menutup rapat jaketnya dan duduk di boncengan motor Alvin.
Sesaat Alvin menoleh dan mematikan mesin motornya.
"Tunggu bentar." Dia meninggalkan Retta yang kebingungan sudah duduk di boncengan, tidak ingin terjatuh konyol, diapun turun dari motor dan memilih bersandar. Alvin terlihat masuk ke dalam cafe dan keluar lagi dengan membawa helm. Lalu tanpa ba bi bu dia memakaikan helm itu ke Retta.
"Kita keliling Jakarta dulu sebentar. Mau kan?" Retta mengangguk. Motor pun dikendarai Alvin membelah jalan Jakarta.
Mereka berkeliling menikmati suasana malam, lampu yang berkerlap kerlip. Jalanan yang lengang karena kendaraan yang mulai sedikit.
Mereka melewati Monumen Nasional, simbol kota Jakarta. Bayangan Lampu di puncak Monas yang berwarna warni. Beberapa anak muda terlihat bergerombol nongkrong di beberapa tempat. Juga beberapa Mobil yang melaju dengan kecepatan penuh.
Wajah Retta mendongak nampak bulan purnama bersinar terang didampingi ribuan bintang yang berkerlap kerlip.
Sesaat Retta menarik nafas panjang, merasakan angin malam menerpa kulit wajahnya, dingin namun menenangkan. Seolah mengangkat sedikit beban dari bahunya.
Lagi, Retta menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Diapun melingkarkan tangan di pinggang Alvin yang memang semenjak motornya meninggalkan Cafe tidak berbicara sepatah katapun.
"Kenapa?" tanya Alvin ketika Retta menyandarkan dagunya di bahu.
"Ngantuk, gak apa-apa kan kayak gini?"
"Mau langsung pulang?" tanya Alvin sambil sedikit menoleh.
"Jangan, keliling lagi aja dulu."
"Nyaman gak? Klo enggak, gue buka helm?"
"Kayak gini aja gak apa-apa."
"Oke," jawab Alvin dan lagi-lagi mereka diam menikmati pemandangan ibu kota di malam hari. Kini mereka melewati mall besar. Dan berjalan melewati apartmen terkenal lalu ke Bunderan Hotel Indonesia.
Jakarta memang tak pernah tidur. Dimalam yang sudah selarut ini pun masih banyak orang yang berlalu lalang. Mencari rezeki atau sekedar mencari angin seperti Alvin dan Retta.
Setelah puas berkeliling dan karena dirasa waktu sudah terlalu malam, Alvin pun memutar motornya untuk pulang kerumah. Sepanjang perjalanan didominasi dalam diam. Hanya mata Alvin yang sesekali menangkap wajah Retta melalui kaca spion. Wanita itu nampak hanyut memperhatikan jalan.
Retta baru melepaskan pelukannya di pinggang Alvin ketika motor yang dikendarai Alvin berhenti tepat di depan rumah Retta. Dia turun dari motor dan menyerahkan helm ke Alvin.
"Bokap masih tugas?" tanya Alvin sambil menilik ke rumah Retta. Retta mengangguk, pekerjaan Ayahnya yang seorang tentara, membuatnya sering meninggalkan rumah. Tapi untuk tahun ini sepertinya Ayah akan lebih banyak menghabiskan waktu dirumah karena dia sudah mengajukan pensiun.
Selama ini Ibu tinggal bersama kakaknya yang sudah menikah dirumah mereka, kakak perempuan Retta yang bernama Elia, tapi tahun ini Elia sudah menempati rumah sendiri bersama suami dan anaknya yang masih berusia tiga tahun.
"Balikin kunciran gue," Retta menadahkan tangan tapi Alvin tak memperdulikan, dia justru menyalakan motornya dan melambai pada Retta.
"Buat gue!" ucapnya.
Membuat Retta mendengus sebal. Diapun mengumpulkan rambutnya dan meletakkan ke samping sambil melangkah pelan menuju ke dalam rumah.
Sepi. Mungkin ibunya sudah tidur. Diapun bergegas ke kamar, namun langkahnya terhenti ketika sosok wanita separuh baya dengan rambut yang sudah memutih sebagian, berjalan dari arah dapur.
"Pergi sama siapa nak? Dari tadi Theo nelepon. Handphone kenapa gak kamu bawa?" tanya ibunya memberondong.
"Kan tadi udah aku bilang mah, aku mau lihat Alvin ngeband. Handphonenya gak sengaja ketinggalan."
"Kamu lagi ada masalah sama Theo?" Retta menggigit bibir bawahnya dan menggeleng, lalu dia masuk ke dalam kamar.
Menutup pintunya dengan pelan dan bersandar di pintu. Hatinya sakit, sesuatu terasa menusuk di dalam sana. Dan butiran air mata itupun lolos dari mata indahnya.
Tubuh Retta luruh ke lantai. Dia menutupi mulutnya agar tidak bersuara, khawatir ibu akan berfikiran yang macam-macam. Cukup dia yang tahu, masalah yang dia hadapi saat ini.
***
To Be Continued