(Flashback End)
Retta dan Alvin duduk di ayunan yang terbuat dari besi itu berdampingan. Mereka saling diam, Retta lebih banyak memandang langit malam ini yang bertabur bintang. Ya langit penuh bintang selalu mampu membuat hatinya tenang dan damai.
Alvin menoleh ke arah Retta yang masih mendongak, sorot mata Alvin menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. Sepulang dari Surabaya Retta memang terlihat murung. Padahal Retta yang Alvin kenal saat ini merupakan pribadi yang ceria, sering berceloteh dan hobi ngambek.
Tapi tidak dengan Retta yang sekarang, yang lebih banyak diam dengan sorot mata yang sendu.
Alvin sadar ada yang tidak beres dengan hubungan Retta dan Theo, tapi dia tak mau ikut campur tanpa ada permintaan khusus atau kejadian khusus. Karena dia tak ingin perbuatannya justru memperkeruh hubungan mereka berdua dan membuat Retta merugi.
"Vin," Retta menoleh ke arah Alvin yang lekat menatapnya. Alvin segera membuang pandangan ke arah depan. Membuat Retta tersenyum manis, pria itu selalu saja seperti itu sejak dahulu. Retta sering memergoki Alvin memandangnya tapi ketika Retta melihatnya, Alvin selalu saja mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Kenapa?" Alvin menghilangkan geroginya dengan mengayun tubuhnya pelan.
"Pernah gak sekali aja lo suka gue dulu?"
Alvin membeku di tempat tak berani menatap Retta. Ya hal yang sering dia sesali. Dia selalu merasa canggung di saat-saat seperti ini. Terkadang dia berfikir waktu akan mengubah segalanya, kedewasaan pasti bisa membuatnya menghilangkan sifat ini. Tapi itu tidak berlaku ketika dia berhadapan dengan Retta. Karena jantungnya dengan kurang ajarnya selalu berdetak lebih kencang saat bersama Retta.
Ditambah pertanyaan dia barusan? Tak jelaskah perhatiannya selama ini untuk Retta sehingga wanita itu menanyainya?
"Menurut lo, cowok yang ciuman pertamanya diambil itu gak ada perasaan apa-apa gitu? Dasar oneng!" sergah Alvin, dia menatap tajam mata Retta yang langsung salah tingkah. Retta menggaruk dagunya pelan ditatap seperti itu oleh Alvin.
"Oh dikira enggak, emang lo belum bisa lupain kejadian itu?" Alvin membuang pandangan ke arah lain. Membuat Retta merutuki dirinya sendiri dengan memukul kepalanya pelan.
"Never Mind Retno. Pulang yuk udah malem. Besok gue harus cek ke lokasi jembatan." Alvin berdiri lebih dulu dengan menjulurkan tangannya untuk digenggam Retta.
Sesaat Retta ragu tapi melihat ketulusan di mata Alvin membuat dia menautkan jemarinya pula pada jemari Alvin, mengisi celah kosong disana.
"Besok bukannya libur?" Retta berjalan bersisian di samping Alvin dengan tangan yang masih berpegangan. Dahulu kala seseorang pernah bercerita kenapa Tuhan memberikan celah pada setiap jari manusia? Dan jawabannya adalah agar ada jemari lain yang bisa mengisi celah itu. Menggenggam erat, saling menguatkan dan menyalurkan rasa yang tersimpan dalam hati.
"Iya, tapi udah janji mau observasi."
"Terus bawa motornya gimana? Tangannya kan masih sakit." Retta melirik ke siku dan pergelangan tangan Alvin yang diperban.
"Dianterin sama Varel palingan."
"Terus kenapa lonya pegang tangan gue gini?" Retta mengangkat sedikit tangannya yang digenggam erat oleh Alvin.
"Biar elo gak nyasar, kan udah lama gak main kesini, takut lupa jalan pulang." Kekeh Alvin mendapat cubitan di lengan dari Retta. Alvin mengaduh dengan gaya yang dibuat-buat. Membuat Retta tertawa dan mengusap lengan Alvin secara lembut. Meskipun tetap saja jemari mereka masih bertaut. Hal yang selalu dirindukan Alvin pada Retta, hal yang selalu diimpikannya, berjalan bersama Retta dengan jemari yang tertaut sampai rambut mereka memutih dan usia mereka tak muda lagi. Hingga mereka berdua tutup usia.
"Masih belum mau dilepas?" ujar Retta saat mereka berdua sudah sampai depan rumah Retta. Alvin terkekeh dan melepaskan pegangannya. Membuat hati Retta mencelos, merasa sesuatu yang tiba-tiba hilang dari genggamannya.
"Yaudah tidur sana, jangan nangis lagi. Lo jelek kalo nangis." Retta memajukan bibirnya sebal.
"kalo nangis jelek, berarti klo senyum cantik dong?" Retta mengerlingkan matanya dan tersenyum lebar pada Alvin. Alvin mengusap pipi Retta dan mengangguk. "Iya cantik kalo senyum." Ucapannya sedikit namun tepat menusuk ke jantung Retta membuat wanita itu bersemu dan segera masuk ke rumah. Tak ingin Alvin tahu apa yang sebenarnya berkecamuk di hatinya. Cukup dia tahu sedikit saja perasaan Alvin padanya. Dan dia akan kuat menghadapi segala yang terjadi di depan.
Bolehkah jika Retta berharap lebih pada Alvin? Pada pria cuek yang tak pernah mau mengungkapkan perasaannya secara gamblang.
***
Alvin masih belum bisa membawa motornya sendiri, jadi kini mereka berdua memilih naik bus ke kantor. Beruntung halte bus berada di depan komplek jadi tidak perlu jalan terlalu jauh.
Alvin mengenakan tas gendong berwarna hitam. Dengan jaket berbahan canvas berwarna biru donker. Sementara Retta mengenakan baju seragam banknya namun dilapisi sweater rajut berwarna putih. Kaki jenjangnya berbalut stocking dengan flat shoes berwarna hitam. Ya semenjak di antar jemput Alvin dia lebih sering memakai flat shoes karena pedal motor Alvin yang membuatnya kesulitan jika memakai heels dari rumah.
Kondisi bis yang sekarang sudah jauh berbeda dengan bis yang dahulu, sekarang lebih terawat mungkin agar bisa tetap bersaing dengan angkutan bus way.
Bisnya terlihat bersih dan harum. Bangkunya juga tampak baru. Hanya yang sama adalah logat supir dan keneknya yang masih banyak didominasi orang medan.
"Bah tak ada receh kau bang? Masih pagi ini belum banyak setoran." Ucar kondektur ketika Alvin menyodorkan uang pecahan seratus ribuan padahal ongkos bis hanya lima ribu rupiah.
Retta terkekeh dan mengeluarkan uang sepuluh ribu dari dompetnya.
"Nah contoh cewek kau bang, siaplah dia dengan recehan. Makasih kakak cantik." Kondektur itu berlalu ketika Alvin mendengus sebal sementara Retta masih saja tertawa, dia bahkan menutup mulutnya.
"Apa pula kau ketawa-ketawa? puas kali kau lihat awak dipermalukan macam ni." Alvin meniru logat sang kondektur membuat Retta yang duduk disampingnya harus memegang perut karena menahan tawa.
"Udah vin ah, gak pantes. Sumpah."
"Seneng liat lo ketawa kayak gini rasanya udah lama banget."
"Lebay."
"Bah lebay-lebay! kau tahu makna lebay itu apa?" Alvin lagi-lagi mengoceh, membuat Retta tertawa semakin keras. Dan Alvin sangat menikmati masa itu, masa ketika dia melihat Retta tertawa ringan seperti sekarang.
"Alvin ssst udah ah sakit perut ini." Retta memegangi perutnya yang mulai kram ya dia juga merasa memang sudah lama sekali tertawa seringan ini. Masalah yang dideritanya membuat dia lupa kapan terakhir kali dia tertawa lepas seperti sekarang.
"Halo dedek, jangan nakal di dalam ya kasian bunda kamu kesakitan." Ucap Alvin sambil mengelus perut Retta membuat Retta justru semakin terpingkal.
"Dedek apaan?" Retta bahkan menyusut air mata yang membasahi pelupuk matanya.
"Dedek Gemesh kali." Alvin menarik tangannya dan tersenyum melihat Retta yang wajahnya terlihat berseri.
"Gak sekalian cabe-cabean Vin." Timpal Retta. Alvin hanya tertawa kecil, tangannya terangkat ingin mengusap kepala Retta namun diurungkan karena takut merusak tatanan rambut Retta yang sudah rapih.
"Kenapa gak jadi?" Retta memandang Alvin dengan alis yang bertaut.
'Takut rusakin rambut lo." Alvin mengacak sendiri rambutnya dan seperti biasa tak ingin memandang lekat mata Rettta. Entah takut khilaf mungkin. Retta memasukkan jemarinya ke celah jemari tangan Alvin dan meletakannya dipangkuan tangan Alvin.
"Kenapa?"
"Enak hangat." Jawab Retta asal diapun menyandarkan kepalanya ke bahu Alvin dan memandang ke jendela luar. Baru disadari ternyata bahu Alvin cukup nyaman untuknya bersandar, dan tangannya cukup hangat untuk hatinya yang sempat membeku.
Kali ini Retta mengeluarkan air mata lagi, bukan air mata bahagia seperti tadi. Tapi air mata ketidak berdayaan. Dia ingin seperti ini selamanya jika boleh, sayang waktu belum memihaknya. Padahal Retta merasa hatinya mulai kembali mencintai Alvin seperti dulu. Bahkan kali ini terasa lebih besar dari sebelumnya.
Alvin tak melihat, kalau Retta menahan sekuat tenaga agar tidak terisak tak ingin Alvin khawatir karena dirinya yang tak mau ini berakhir.
Alvin berkeras ingin mengantar Retta sampai tempatnya bekerja, dan Retta berkeras kalau Alvin tak perlu melakukan itu. Karena dia juga harus melanjutkan perjalanan ke kantor, cukup membuang waktu jika Alvin harus menunggu bis berikutnya.
Apalagi lelaki itu harus menjelaskan hasil penelusuran mengenai pekerjaannya yang kemarin. Dan perdebatan di menangkan Retta, yang itu berarti Alvin hanya bisa melihat Retta turun di depan banknya dan cukup puas dengan melihat Retta melambaikan tangan padanya.
"Bah tak kau antar cewek kau tu?" kondektur yang entah berasal dari mana, tiba-tiba sudah berdiri depan Alvin.
"Jangan liat-liat bang, ntar naksir cewek gue lagi!" sungut Alvin, membuat kondektur itu memiringkan bibirnya dan pergi berlalu sambil menggeleng kepala, karena Alvin tak jua mau mengalihkan pandangan dari tempat terakhir Retta turun.
***
Hari ini Alvin sudah bisa membawa sepeda motornya kembali. Luka di tangannya perlahan sudah sembuh ditambah pijatan dari tukang urut profesional membuat keadaannya semakin membaik. Seperti pagi ini, dia sudah bertengger diatas sepeda motor depan rumah Retta.
Wanita itu terlihat memasang tampang lesu dan tak berbasa-basi lagi. Langsung naik ke atas boncengan motor Alvin.
"Kenapa No?" tanya Alvin sesaat ketika motor melaju.
"Ck! Retta. Atau gue gak mau jawab pertanyaan lo!" Ancam Retta dari arah belakang.
"Iye, Iye Retta. Yang paling manis se-kecamatan." Retta mengulum senyumnya di wajah meskipun setelah itu bibirnya tertarik ke bawah kembali, murung.
Berkali-kali Retta menarik nafas panjang, seolah bisa menghilangkan beban berat yang di panggulnya. Alvin mengusap tangan Retta yang melingkari pingganya. Berharap Retta merasa ringan dari beban masalahnya.
"Malam nanti Theo mau kesini." Ucapan Retta sukses membuat Alvin menarik tangannya. Berpegangan pada stang motor agar tidak terjatuh karena keseimbangannya yang mendadak menurun.
Kaget mendengar pernyataan Retta barusan. Apakah Retta akan kembali lagi pada Theo? Lalu melupakan dirinya yang selama beberapa minggu ini ada disampingnya.
Mengganggap semua yang terjadi diantara mereka tak lebih dari sampah yang harus dibuang pada tempatnya. Alvin terdiam dengan wajah yang datar. Meskipun hatinya merasa sakit tak karuan.
Jika boleh, dia ingin berharap Retta tak perlu menemuinya. Tapi itu tak mungkin karena sebagai lelaki dewasa, dia tahu batasan yang harus dijaga sebagai 'Teman'. Meskipun Alvin selalu berharap Retta menganggapnya lebih dari teman.
Retta tak mengerti perubahan yang terjadi pada Alvin, karena sedari tadi Alvin hanya terdiam, tak memulai satu obrolan pun. Bahkan ketika sampai depan tempat Retta bekerja. Lelaki itu nyelonong begitu saja meninggalkan Retta tanpa pamit.
Apakah dia marah dengan kata-kata Retta yang bilang kalau tak perlu menjemputnya sore nanti, karena dia ingin menemui Theo? Atau dia terlalu sibuk hingga melupakan Retta yang berdiri persis kambing ompong di depan sini?
***
Retta memakai cardigan diluar kaos tipis berwarna hitamnya. Dia memang sudah menyiapkan baju cadangan di tempat kerja. Hanya jeans panjang dan kaos oblong hitam. Beruntung, pagi tadi dia sempat memakai cardigan ini. bukan jaket motor seperti beberapa hari belakangan ini. jika tidak dipaksa Alvin pun Retta lebih memilih mengenakan sweater tipis dibanding jaket tebal yang berbahan parasut itu.
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ketika mobil yang dinaiki Theo berhenti di depan bank tempatnya bekerja. Theo hanya melambai dari dalam jendela mobil, Retta segera menaiki mobil itu dan mengangguk sopan pada supir yang mengendarainya. Yang Retta tahu bahwa dia adalah driver Grab dari handphone yang terus menyala dihadapannya.
"Kita mau kemana?" Tanya Retta ketika mobil mengantarkan mereka sampai tujuan.
Theo, lelaki berpostur tubuh tinggi besar, kulitnya agak hitam namun tidak legam. Matanya tajam dan wajahnya ditumbuhi bulu halus di sekitar rahangnya.
Lelaki itu mengenakan kaos lengan panjang berwarna Navy dan celana Jeans abu-abu gelap. Berjalan cepat ke arah lobby hotel.
"Hotel." Jawabnya singkat sambil tangannya membuang puntung rokok yang sempat dinyalakan tadi setelah turun dari mobil.
Rokok yang baru dihisap sebentar itu diinjak oleh Theo untuk mematikan apinya karena dia terus berjalan cepat ke lobby yang sudah pasti dilarang merokok disana.
***