"Tidak! tidak mungkin! Edo!" pikiranku menolak. Aku belum siap kehilangan untuk kedua kalinya. Luka kehilangan Riana masih menganga. Sesalnya pun masih melekat kuat di hatiku.
"Jovan ... hiks ... hiks Edo Jovan, Danu." tangis Ibu pecah saat melihat kami datang.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Bu?" tanyaku pelan kepada wanita yang melahirkan mendiang istriku itu.
"Tadi, saat dokter memanggil ibu ke ruangannya, Edo ibu tinggal sendiri, tapi saat ibu kembali hikss ... hikss Edo malah kejang-kejang, ibu bingung dan panik saat itu." tangis ibu semakin kencang saat menceritakan kronologi kejadian Edo.
"Padahal kata dokter kondisi Edo, sudah stabil hiks ... hiks , Edo ... hiks." tangis ibu makin histeris.
Aku melihat perasaan penyesalan yang mendalam, aku tahu perasaan ibu saat ini.
Tapi jangan tanya perasaanku saat ini, hatiku hancur kala melihat putraku terbujur kaku tertutup kain putih. Hal yang baru seminggu kemarin aku rasakan kini bahkan lebih sakit.
Edo, yang aku harapkan menjadi penerus ku kelak, menjaga kedua kakaknya, telah meninggalkan kami.
"Jovan, maafkan ibu! ibu lalai menjaga Edo!" Tiba-tiba ibu bersimpuh di kakiku.
"Bu, sudah ini bukan salah ibu!"
"Dokter sudah mengatakan jika kondisi Edo sudah stabil tadi dan sudah melewati masa kritisnya"
terang ibu yang masih terus meraung.
Aku tahu betapa sayang ibu kepada anak-anak ku. Bahkan ibu tak pernah sekalipun meninggalkan kami yang sedang meratap atas kematian Riana.
Aku tak pernah sekalipun menyalahkan Ibu mertuaku, mungkin takdir Edo yang harus meninggal dengan usia yang masih sangat belia.
Gemetar tubuhku saat menatap tubuh terbujur kaku itu, anak lelakiku, buah hatiku, kesedihan atas meninggalnya Riana menyebabkan kondisi Edo drop tapi aku tak menyangka akan sefatal ini.
Terlalu cepat rasanya, untuk kehilangan untuk kedua kalinya. Riana meninggalkan kami belum ada seminggu, namun kini Edo menyusulnya.
"Jovan, Fanya dan Atik apa sebaiknya kita suruh kesini saja?" Mas Danu menyadarkan ku bahwa kedua putriku juga masih ada di bawah menunggu kami.
"Apa pihak rumah sakit mengijinkannya, Mas?" tanyaku.
"Aku coba ijin semoga bisa." Mas Danu lalu pergi.
Aku terus memeluk jenazah putraku, Ibu pun melakukan hal yang sama.
"Jovan, maafkan ibu, ibu tidak bisa menjaga Edo." lagi dan lagi ibu terus meminta maaf. Mata tuanya bahkan sangat sembab,karena terus menangis.
" Bapak sudah diberi kabar,Bu?" tanyaku. Aku baru teringat Bapak mertuaku juga belum di beri kabar, bahkan Ayahku pun belum aku beri kabar.
"Ibu, sampai lupa, sebentar biar ibu menelpon bapak, dulu."
Tut ... Tut
"Assalamualaikum, Pak!"
"Wa'alaikumsalam, Ada apa Bu?" suara di sebrang, begitu terdengar jelas, pasalnya ibu melodspeaker ponselnya.
"Cucu kita,pak, Hiks ... hiks Edo, meninggal." Ibu kembali histeris. Aku yang akan mengabarkan kematian kepada Ayahku terpaksa aku tunda, aku mencoba menenangkan ibu, yang terus meraung saat menelepon Bapak.
"Oalah, Bu, kok Yo bisa?" tanya Bapak, yang nampaknya suaranya bergetar menahan tangis.
"Edo, sakit kangker usus,Pak."
"Yo wes Bapak, kesitu sekarang." suara paruh baya itu terdengar parau karena menahan tangis.
Setelah ibu berangsur tenang, aku berusaha menghubungi ayah.
Tut ... Tut.
Ponselku tersambung, namun tidak kunjung diangkat. Kemana Ayah? kenapa beliau tidak mengangkat teleponku?. Berbagai pertanyaan muncul di benakku.
Tut ... Tut.
Aku coba sekali lagi namun lagi-lagi tidak diangkat.
"Kamu menghubungi siapa Jovan? Ibumu?" tanya ibu.
"Bukan, Bu, aku menghubungi ayahku." terangku.
Ibu mengerutkan dahinya. Beliau heran pasalnya ya beliau tahu ayah masih lumpuh.
Setelah sekian banyak panggilan akhirnya teleponku diangkat.
"Hallo!" sapaku.
Namun tidak ada sahutan dari sebrang.
"Hallo!" sapaku sekali lagi.
Namun lagi-lagi tidak ada jawaban.
"Ayah! Hallo!"
"Jovan, Tolong!" jawaban akhirnya yang tidak aku duga. Suara teriakan ayah yang sepertinya berada di jauh dari jangkauan telepon. Tapi siapa yang mengangkat panggilan dariku?.
"Dasar Lelaki bodoh!"
Plak
Terdengar makian dan tamparan yang begitu keras. Sebentar, suara itu suara wanita b******k yang telah meracuni pikiranku selama ini.
Wanita yang aku selalu sebut ibu.
Tut ... Tut
Sambungan telepon di matikan secara sepihak.
"Hallo ayah! hallo ayah!" aku berteriak.
Aku melakukan penggilan berkali-kali namun tidak ada jawaban bahkan nomorku terblokir.
"Akhhhhhh!" teriakku. Mengagetkan Ibu mertuaku.
"Kenapa Jovan?" Tanya wanita paruh baya itu.
"Ayah, sepertinya dalam bahaya, Bu!" terang ku.
"Bukankah, sudah ada Ibumu bersamanya?"
"Dia bukan Ibu kandungku, dia adalah wanita ular!" tegas ku.
Ibu membelalakkan matanya, terkejut.
"Ibu sudah menduganya dari awal, sekarang carilah ayahmu," saran Ibu.
"Tap ... tapi bagaimana dengan jenazah Edo?" jujur ku.
"Untuk kepulangan jenazah Edo biar, ibu, Danu dan bapak yang mengurus."
Serasa mendapat angin segar, setidaknya aku bisa menyelamatkan ayahku.
Saat akan beranjak pergi, tiba-tiba.
Pihak rumah sakit datang menemui kami, dan menerangkan beberapa hal tentang prosedur membawa Edo pulang, tapi ada hal janggal yang di terangkan, pasalnya tadi siang ada seorang wanita yang menjenguk Edo?.
"Seorang wanita?" tanyaku.
"Iya Pak, dia mengaku keluarga dari pasien Edo," terang salah seorang perawat.
"Saudara? Wanita muda atau tua?" aku cecar perawat itu. Apakah kedatangan wanita itu ada kaitannya dengan kematian Edo?.
'Akhh' batinku berteriak. Kenapa bertubi-tubi masalah silih berganti menimpaku.
"Seorang wanita sekitar umur tiga puluh lima tahun, Pak! beliau mengaku Tante dari Edo!"
"Tante?" aku masih bingung siapa sebenarnya wanita itu?.
Apa mungkin, Cindy? anak dari wanita ular itu? atau Nita?.