"Sudah Jovan, jangan pikirkan dulu hal ini." sela ibu.
"Tap ... tapi, Bu?" bantahku.
"Selamatkan ayahmu dulu, itu yang terpenting untuk Edo, dan wanita yang menemui Edo biar kami yang mengurus." tegas ibu.
Saat ini jujur aku sangat bimbang, dilain sisi aku ingin menyelamatkan ayahku, disisi lain ada jenazah Edo, yang harus segera dikuburkan. Bahkan kematian Edo masih misteri.
Siapa wanita itu?.
"Baiklah, tolong aku Bu, urus segera kepulangan jenazah Edo, aku pergi dulu!"
Dengan berat hati aku meninggalkan Ibu, dan Edo.
Aku berlari menuruni tangga, rumah sakit. Entah rasanya pikiranku begitu pusing, serasa mau pecah masalah datang bertubi-tubi silih berganti.
Karma! itu yang aku rasakan sekarang Karma seorang suami yang mengkhianati istrinya.
"Jovan!" panggil Mas Danu saat berpapasan denganku.
"Maaf mas aku terburu-buru." aku pandangan sekilas kedua putriku.
Mata mereka juga sudah sembab, mungkin mereka meraung, karena kehilangan untuk kedua kalinya orang yang paling mereka sayang.
"Atik, Fanya, maaf papa harus menyelamatkan Kakek, kakek dalam bahaya saat ini." mereka hanya bergeming dan terkejut.
"Mas, aku minta tolong urus jenazah Edo terlebih dahulu, Ayahku saat ini dalam bahaya!" mohonku kepada Mas Danu.
"Pergilah! kami akan mengurus jenazah Edo!" jawabnya lembut. Pria bermuka dingin itu, seakan tahu bagaimana kalutnya pikiranku saat ini.
Dengan air mata yang hampir tumpah, aku peluk kedua putriku aku cium pucuk kepala mereka.
"Maafkan Papah sayang, maafkan Papah." hanya kalimat itu yang dapat aku ucapkan.
Tanpa lama-lama aku kembali berlari,menyusuri koridor rumah sakit. Sesampainya di tempat parkir tanpa berlama, aku melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi.
Setelah dua puluh menit aku sampai di rumah orang tuaku. Kakiku bergetar hebat, seakan tidak ada daya, Saat memasuki rumah, begitu banyak ceceran darah, dan rumah begitu berantakan.
Dengan berjingkat, berusaha tak bersuara aku menyusuri ruang demi ruang di rumah ini.
Beruntung karena lampu menyala, tidak terlalu kesulitan aku menyusuri setiap ruangan.
Sesampainya di kamar ayah, aku mendengar makian, dan suara pukulan yang begitu keras.
Suara Geraman tertahan, pun terdengar pelan.
"Dasar lelaki tua b******k! sekarang panggil anak lelakimu bodoh mu itu!" teriak suara dari dalam, tapi kenapa bukan suara wanita ular itu?.
Brak
Aku dobrak pintu itu.
Astaga, ternyata kondisi ayah begitu mengenaskan, dia bahkan sudah bersimbah darah, dengan posisi terikat di kursi dan mulutnya tersumpal.
"Berani-beraninya kamu dasar wanita ular!"
Aku menarik rambut wanita itu.
"Cindy!" teriakku.
Terkejut, tiba-tiba.
Bug ... bug
Kepalaku, dipukul dari belakang, ternyata wanita ular itu dari tadi di belakangku.
Aku limbung, sesaat beruntung aku tidak sampai pingsan, saat wanita tua itu akan mengayunkan balok kayu itu lagi, aku tendang dia.
Bug ...
Aku pukul kepalanya dengan balok kayu yang berhasil aku rebut, akhirnya dia terkapar.
"Mami!" teriak Cindy. Cindy terkejut melihat maminya terkapar.
Kelengahan Cindy tidak aku sia-siakan, aku buka ikatan tali di tubuh ayahku, Aku meneteskan air mata melihat kondisinya saat ini. Bahkan beliau sudah tidak sadarkan diri.
Aku gendong tubuhnya yang sudah bersimbah darah.
"b******k kamu Jovan, Kenapa kamu menyakiti Mamiku!" teriak Cindy histeris.
Tak ku hiraukan teriakan Cindy, aku berlari membopong tubuh ayahku.
"Jovan!" Teriaknya sekali lagi. Aku sudah melajukan mobilku menuju rumah sakit.
Perjalanan yang seharusnya dua puluh menit aku tempuh dengan waktu lima belas menit saja. Kecepatan tertinggi aku laju kan mobilku.
Beberapa lampu merah aku terobos, aku tak menghiraukan hidup dan mati, Yang ada difikiranku adalah ayahku harus sampai di rumah sakit secepatnya.
"Riana, Apakah ini karma untuk mas? mas mohon maaf, Riana!" aku meneteskan air mataku lagi-lagi, pikiranku melayang, dan hanya penyesalan lagi-lagi penyesalan yang mendalam karena aku telah menduakan Riana, bahkan bukan hanya dengan Nita, aku juga telah merusak adik tiriku Cindy.
Teringat saat pertama kali aku berbuat jauh terhadap Cindy bahkan sudah merenggut kesuciannya.
Kala itu, saat aku bertengkar hebat dengan Riana perihal biaya rumah sakit Edo, yang enggan aku bayarkan. Namun Riana selalu menuntut dan menodongku, enak saja dia dengan semena-mena meminta uangku untuk biaya operasi, sedangkan uang hasil dari butiknya sangat banyak pikirku kala itu.
Karena kalut dan banyak pikiran aku pergi kerumah ayah, namun kedua orang tuaku telah tidur kala itu. Hanya ada Cindy yang menyambut ku hanya dengan lingerie tipis dan berwarna merah seakan menantang diriku untuk menyetubuhinya.
Dan yaah akhirnya aku melakukan hal itu bersama Cindy, kami melakukannya suka sama suka. Bahkan aku dan Cindy melakukannya sepanjang malam. Tanpa ketahuan kedua orang tua kami.
Apakah aku salah?, aku seorang lelaki normal, sangat wajar jika aku tergoda dengan pemandangan yang menurutku sangat menantang keimanan.
Aku dan Cindy, melakukan bahkan berkali-kali sampai Cindy sempat hamil, namun berhasil di gugurkan.
Cindy, gadis yang sangat cantik, dulu aku kira dia adalah adik kandungku. Rasa bersalah sempat hinggap karena aku melakukannya dengan adik kandungku sendiri saat aku tahu jika kami bukanlah saudara kandung aku sedikit lega. Setidaknya aku tidak merusak norma, karena telah menghamili adik kandungku.
Sesampainya dirumah sakit, aku berteriak seperti orang gila.
"Dokter ... dokter tolong ... tolong ayah saya." teriakku.
Para petugas medis berhambur mendekatiku, lalu mereka melakukan prosedur penanganan pasien gawat darurat. Berbagai alat medis langsung terpasang di tubuh ayahku.
"Pak, Jovan kondisi ayah anda sangat kritis ada penyumbatan pembuluh darah di otak, karena pukulan benda tumpul." Terang dokter.
Deg ...
Duniaku seakan berputar.
"Lalu apa penangananya agar beliau bis sembuh, Dok?" tanyaku,
Entahlah jika memang tidak ada harapan untuk ayahku hidup, aku pasrah. Untuk menempuh jalan operasi pun aku tak memiliki uang sekarang karena telah habis untuk biaya rumah sakit Edo.
"Untuk jalan Operasi pun kemungkinan berhasil hanya tiga puluh persen, Kami pihak rumah sakit menyerahkan semua keputusan kepada pihak keluarga."
Aku hanya menunduk, aku bingung harus berbuat apa sekarang. Apa aku siap untuk kehilangan untuk yang ketiga kali, bahkan jenazah Edo saja belum di kebumikan.
"Kamu dari pihak keluarga hanya menunggu perintah dari dokter saja" aku menyerahkan tanggung jawab ayahku kepada dokter.
"Kami dari pihak rumah sakit, jujur kesempatan Pak Arman untuk sembuh sekitar tiga puluh persen."
Ya Allah, haruskah ini terjadi, baru saja aku sedikit bahagia karena ayahku sembuh dari lumpuhnya selama puluhan tahun, namun kini bahkan kemungkinan beliau hidup hanya tiga puluh persen. Hamba tidak kuat Ya Allah, jika boleh di tukar posisi sebaiknya hamba saja yang meninggal. Rasa ini sangat menyakitkan.