Kematian Riana
"Innalilahi wa Inna ilaihi raji'un ... innalilahi wa inna ilaihi raji'un. Telah meninggal dunia Riana lestari binti Hasan Triono dengan tenang!" Sayup-sayup terdengar suara dari speaker masjid terdekat menyiarkan berita kematian.
Suasana pagi hari yang sedikit berkabut di kota Malang menambah kesedihan di hatiku. Anak-anak pun menangis memanggil nama ibunya.
"Mama ... hiks ... hiks! Mama bangun, Mah!" Suara tangisan Edo si bungsu terdengar menyayat hatiku.
"Mama, jangan tinggalkan kami, Ma .... Atik sayang Mama, Atik janji, bakal nurut sama Mamah!" Suara anak pertamaku yang telah remaja pun tak mau kalah. Sedangkan anakku Fanya telah pingsan karena tak kuat menahan kesedihan.
Riana—istriku—telah meninggalkan kami, meninggalkan aku, dan anak-anakku saat kami masih sangat membutuhkannya.
"Pak Jovan, jenazah Ibu Riana sudah siap untuk dimandikan," ucap Bu Rika.
Aku pun mengangguk lemah, lalu mengikuti Bu Rika yang bertugas memandikan jenazah istriku.
Perih hati ini semakin terasa ketika melihat tubuh kurus istriku yang terbujur kaku. Tubuh Riana dulu tidaklah sekurus itu, meski tidak gemuk akan tetapi tubuhnya berisi.
"Silakan Pak Jovan jika ingin membantu memandikan jenazah ibu Riana," kata Bu Rika dan memberikan gayung kepadaku.
"Baik, Bu" balasku. Aku menatap lekat tubuh yang terbujur kaku di hadapan. Ini seakan mimpi karena sebelumnya dia tak terlihat sakit.
Aku mendekat ke jenazah istriku, aku siramkan air ke tubuhnya sambil terus membaca doa memandikan jenazah. Tak terasa air mata pun menetes.
Dulu, saat aku sakit Riana akan sangat sabar menyeka tubuhku dengan air hangat. Namun, saat dia sakit aku malah dengan tega mengkhianatinya.
Aku menggosok jenazah dengan sangat lembut sesuai instruksi dari Bu Rika. Aku merasakan kulit istriku yang tak semulus dulu bahkan tulangnya begitu terasa di tanganku.
Tubuh yang dulu selalu menjadi candu untukku menuntaskan syahwat. Tubuh wanita sholehah yang selalu aku peluk kala masalah menerpaku. Namun, saat dia terkena masalah, aku dengan tega menduakannya.
Riana adalah sosok istri yang sangat penurut. Dia tak pernah sekalipun mengeluh akan kondisi keluarga kami.
Awal pernikahan adalah masa terberat dalam kehidupan berumah tangga. Saat itu aku masih menempuh jenjang pendidikan. Ya, aku menikahi Riana saat usia kami masih sangat muda. Kami tidak berpacaran karena Riana sangat memegang teguh syariat agama kami.
Saat aku menyatakan cinta kepadanya, dia langsung menodongku dengan aku harus menikahinya.
Aku yang memang sangat mencintainya langsung memantapkan hati melamar, meski aku tidak tahu kedepannya bagaimana.
Riana selalu meyakinkanku jika rezeki, pasti akan dimudahkan oleh Allah. Yang penting, kita sudah menjalani hubungan yang halal.
Riana dulu masih merintis berjualan baju secara online. Awal pertemuan kami adalah saat aku tak sengaja menabraknya kala selesai sholat di masjid dekat kampus. Kala itu aku terpesona dengan kecantikannya. Meski tubuhnya tertutup dengan gamis dan kerudung yang panjang, itu tak mengurangi kadar kecantikan dirinya. Wanita dengan kulit putih, mata bulat dan bibir tipis itu telah menghipnotis ku.
"Maaf, Mbak," kata yang ku ucapkan pertama kali.
"Oh, iya, Mas. Tidak apa-apa, ini juga salah saya," ucapnya kala itu.
MasyaAllah, suaranya begitu merdu. Suara lembut yang selalu menyenangkan aku selama tujuh belas tahun pernikahan kami. Untuk sejenak aku terhanyut dengan pesonanya.
"Mas ... Mas ... hallo Mas ...!" Suara Riana diiringi guncangan lembut di tubuhku menyadarkan ku.
"Ohh iya, Mba. Maaf, mari saya bantu." Aku pun membantu Riana membereskan barang-barangnya ternyata barang yang dia bawa semuanya baju Syar'i.
"Banyak sekali bajunya, Mba?" tanyaku.
Riana tersenyum, senyuman yang begitu manis.
"Iya Mas, kebetulan saya berjualan baju online baru saja pulang mengantarkan pesanan pelanggan."
"Wahh, hebat ya Mba. Masih muda, tapi pekerja keras," pujiku.
Lagi-lagi dia tersenyum. "Ah, biasa saja, Mas. Mas sendiri sedang apa di sini?" tanya gadis berkulit putih itu.
"Saya baru selesai sholat, Mba. Saya sedang terburu-buru, karena ada jadwal kuliah sebentar lagi. Eh, malah nabrak Mba."
"Wah, kalau begitu biar saya saja, Mas, yang membereskan barang-barangnya. Mas pergi saja, takut dosennya sudah datang, loh," katanya sungkan.
"Duh, saya jadi tidak enak hati, Mba," ucapku.
"Sudah tidak apa-apa, Mas," balas gadis itu.
Akhirnya dengan berat hati aku meninggalkannya setelah sebelumya meminta maaf. Aku berharap bisa bertemu dengannya besok.
"Pak Jovan ... Pak Jovan ...." Panggilan Bu Rika menyadarkan ku.
"Eh, ehmm iya, Bu," ucapku salah tingkah, karena baru tersadar dari lamunan.
"Jenazah Bu Riana sudah selesai di mandikan. Ayo sekarang diangkat ke dalam," perintah wanita bertubuh kurus itu.
Aku pun mengangkat jenazah Riana. Ya Allah, tubuhnya begitu ringan. Aku masih ingat keinginan terakhir Riana adalah ingin aku menggendongnya seperti menggendongnya saat malam pernikahan dulu. Akan tetapi dengan kejam aku menolaknya.
"Kamu apa-apa sih, Dek! Masa minta gendong? Lihat tuh, anak-anakmu sudah besar. Bikin malu saja!" hardikku kala itu.
Penyesalan memang selalu datang terlambat. Ternyata keinginan yang sangat sederhana itu adalah permintaan terkahir istriku.
Kala itu Riana hanya diam saat aku menolak keinginannya. Biasanya jika keinginan dia tidak terpenuhi, Riana akan bergelayut manja dan terus merengek. Namun, untuk keinginan terakhirnya, saat aku tak memenuhinya, dia tak melakukan hal seperti biasanya.
Aku yang acuh tak memikirkan tanda yang diberikan istriku. Aku malah memilih pergi bersama Nita.
Ibu Rita mulai mengkafani Riana di bantu aku. Entah mengapa jenazah Riana menyebarkan wangi yang sangat menenangkan.
Aku beringsut mendekat kepada Bu Rita. "Bu, kenapa jenazah istri saya begitu harum?" bisikku kepada Bu Rita.
Bu Rita tersenyum dan melanjutkan mengkafani Riana. "Bu Riana semasa hidup adalah wanita yang solehah, Pak. Dia sangat dermawan dan baik kepada semua orang," puji Bu Rita.
Aku akui, istriku memang sosok yang sangat baik. Tapi aku muak karena saking baiknya bahkan dia tak pernah marah saat aku terang-terangan ketahuan berselingkuh di belakangnya.
Saat aku ketahuan berselingkuh dengan sahabatnya Nita, Riana hanya menangis dan tak marah kepadaku. Aku muak kenapa dia tak marah kepadaku?
Rasa penyesalan semakin menjadi saat Bu Rita terang-terangan mengakui kebaikan Riana semasa hidup.
Para pelayat yang datang menghadiri prosesi pemakaman Riana sangatlah banyak. Bahkan aku tak mengenal mereka satu per satu. Ayah mertuaku yang baru datang dari kampung langsung memelukku. Aku melihat mata tuanya yang sembab. Mungkin karena terlalu lama menangis.
"Awakmu sing sabar yo, Le," bisik laki-laki paruh baya itu.
"Iya, Pak. Bapak datang dengan siapa?" tanyaku.
"Sama Ibu dan Danu," balasnya.
Danu adalah kakak Riana yang sampai saat ini belum menikah. Alasannya ingin merawat ibu dan bapaknya.
Aku akui keluarga Riana begitu baik, tidak seperti keluargaku yang bahkan selalu memanfaatkan kesuksesanku. Padahal saat aku susah mereka tak pernah sekalipun mau membantuku.
Dulu saat melahirkan Atik keadaan ekonomi ku dan Riana sedang buruk. Di mana aku harus mengerjakan skripsi. Sedangkan penjualan baju Riana kurang laku karena dia tidak bisa mengantarkan pesanan pelanggan.
Aku pernah mengantarkan pesanan pelanggan sekali. Karena mungkin tak berbakat dalam berdagang, aku dikomplain karena salah memberikan pesanan dan tertukar dengan pelanggan lain. Sejak saat itu aku tak mau lagi mengantar pesanan dagangan Riana.
Justru mertuaku Lah yang sepenuhnya menanggung kehidupan kami. Mereka sampai menjual sawah untuk biaya kuliahku. Aku mengambil fakultas hukum dan biayanya tak sedikit.
"Mbah Kakung, Mbah Putri ... Mama sudah meninggal ... hikss ... hikss! Mama sudah meninggalkan kami, Mbah!" Tangis Atik semakin menjadi saat bertemu dengan Mbah kakung dan Mbah putrinya.
Ketiga anakku pun mendekat kepada Mbah mereka.
Berbeda sekali saat ibu dan bapakku yang datang. Mereka sama sekali tak memeluk. Mereka hanya Salim sekadarnya. Tentu anak-anak dapat merasakan siapa yang tulus menyayangi mereka.
"Sudah ... sudah ... Nduk, Le. Mama kalian sudah tenang di sana. Allah lebih menyayanginya. Kita doakan semoga Mama kalian ditempatkan di surga-Nya," tutur lembut Ibu mertuaku. Sifat beliau yang lembut dan supel menurun kepada Riana.
"Tapi, Mbah, Mama sudah janji sama Edo mau melihat Edo khitan, Mbah, hikss ... hikss ... hikss!" Tangis Edo semakin pecah.
Riana memang sudah ada rencana untuk mengkhitan Edo karena dia sudah kelas empat Sekolah Dasar.
Bapak memeluk Edo. Aku melihat air mata di pelupuk mata tuanya. Aku dapat merasakan kesedihan mendalam di mata bapak mertuaku itu. Riana adalah anak kesayangannya yang sangat penurut.
"Kenapa kalian nangis terus, sih?" hardik Ibu kandungku tiba-tiba.
Sontak kami semua menoleh kearahnya.