Kematian Edo

837 Words
Edo sudah di rawat dua hari di rumah sakit, namun kondisinya terus menurun. Semua makanan yang coba di masukan kedalam tubuhnya mendapat penolakan. Setelah di periksa lebih lanjut ternyata ada peradangan usus akut. Aku selalu berada di samping Edo, tak tega rasanya meninggalkannya sendiri. 'Riana, mas sangat merindukanmu, dulu jika anak kita sakit hanya kamu yang merawat mereka, mas selalu berfikir jika mengurus anak hanya tanggung jawabmu, kini mas merasakan begitu melelahkannya merawat anak jika sedang sakit.' tangisku pecah kala mengingat saat dulu Riana meminta bantuan ku untuk bergantian merawat Fanya yang di rawat di rumah sakit karena demam berdarah. Namun dengan kejamnya aku menghardiknya. "Mas, Aku minta tolong gantian jagain Fanya sebentar saja, aku ingin istirahat di rumah sebentar." ucap Riana kala itu. Fanya sudah di rawat selama seminggu di rumah sakit karena kadar trombositnya menurun. Padahal kala itu Edo masih membutuhkan Asi. "Ah, Kamu Riana! kamu fikir kamu saja yang lelah, aku sudah bekerja seharian, ada kasus berat yang harus aku tangani." bentakku kala itu, membuat Riana terdiam. "Terserah kamu mas, bukankah kamu bekerja untuk dirimu sendiri, bahkan aku dan ketiga anakmu sama sekali tidak kamu nafkahi!" Plak, Tamparan keras aku layangkan ke muka Riana. Muak sekali rasanya kala masalah nafkah selalu di ungkit-ungkit. "Kamu, durhaka sekali menjadi istri, bukankah uangmu banyak, aku harus memberi uang kepada ibu, bukankah kamu tahu ayahku sedang stroke?" Geram Ku. Setelah di tampar olehku, Riana masuk ke kamar untuk menyusui Edo. Saat ini Fanya sendirian di rumah sakit. Memang selama seminggu ini hanya Riana yang menjaga Fanya, dia harus bolak-balik ke rumah sakit. Kantung mata Riana sangat terlihat, wajahnya juga sangat pucat. Gurat kelelahan sangat terlihat di wajahnya dan aku tak menghiraukan itu. Emosiku yang tersulut membuat aku kehilangan kontrol, bosan rasanya mendengar Riana selalu mengeluh, apalagi mengenai nafkah. Bukankah butik yang di kelolanya sangat maju pesat. Jadi wajar jika aku tak harus memberinya nafkah bukan?. 'Akhh lebih baik aku ke kostan Nita' pikirku, Karena jika sedang emosi, hanya Nita yang bisa meredakannya. Saat itu aku mengunjungi kostan Nita dan tak menghiraukan Riana. Air mataku menetes, lagi dan lagi aku mengingat dosa-dosaku kepada mendiang Riana. "Jovan!" tepukan di bahuku, mengagetkanku. "Eh iya, Bu, ada apa?" "Kamu pulanglah, sudah tiga hari kamu sama sekali tidak pulang kerumah, Atik dan Fanya juga butuh perhatian darimu!" "Lalu bagaimana dengan Edo, Bu? tidak tega rasanya meninggalkan Edo sendiri." "Sudah biar ibu saja yang menunggu Edo, kamu pulanglah, Atik dan Fanya juga butuh perhatian darimu." nasihat ibu dari mendiang Riana itu. Selama Edo di rawat, ibu dan Mas Danu bergantian datang kerumah sakit. Sebenarnya mereka menyuruhku pulang dan beristirahat, tapi entahlah hatiku begitu berat untuk meninggalkan Edo, aku takut kehilangan seseorang lagi yang terpenting di hidupku. "Baiklah Bu, aku pulang sebentar, aku juga sangat merindukan Atik dan Fanya." Aku keluar dari ruang rawat Edo sebelum pergi aku kecup anak lelakiku ini. Meski dia belum tersadar aku yakin dia dapat merasakan kasih sayang dariku. Aku melajukan mobilku dengan kecepatan sedang, rasanya badanku sakit semua, lelah, tak terbayang bagaimana Riana saat mengurus ketiga anak kami. Tring ... Tring Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku tepikan mobilku ke bahu jalan. 'Nita?' akh ada apa lagi wanita itu? sudah sering dia menghubungiku namun tak aku hiraukan. Tring ... tring Ponselku berbunyi lagi. Terpaksa telepon dari Nita aku angkat. "Hallo!" bentakku. "Ish Mas Jovan kok kasar si?" gerutu Nita. "Cepat kamu ada apa? Aku sudah tidak ada waktu!" "Uhm, sekarang bilang gak ada waktu, dulu saja sebelum aku hamil Mas Jovan selalu kesini." keluhnya. "Sudahlah Nita, tinggal jawab apa maumu?" "Mas, kesini dong nggak kangen sama dede?" godanya. Munafik jika aku tidak tergoda dengan rayuan Nita. Tapi sekarang aku bertekad ingin berubah. "Maaf Nita, aku tidak bisa! Aku tak ingin mengulangi kesalahan yang sama!" "Haha ... haha Mas Jovan, Mas Jovan, kesalahanmu sudah sangat fatal sekarang ada bayi di rahimku yang membutuhkan tanggung jawabmu!" teriak Nita di sebrang telepon. "Aku tahu, Nita, dan kita tidak mungkin bersama!" tegas ku. "Gampang sekali kamu berbicara seperti itu, Mas, tega kamu, bayi ini juga darah dagingmu!" Nita makin histeris. Tut ... Tut Sengaja aku matikan telepon secara sepihak. Bukan aku pengecut dan tidak berani tanggung jawab dengan kehamilan Nita. Aku pun ragu jika itu darah dagingku. Saat pertama kali berhubungan dengannya bahkan dia sudah tidak perawan. Tring ... tring Nita masih terus menghubungiku, namun tak aku indahkan panggilannya. Aku menonaktifkan ponselku, dan melajukan mobilku lagi. "Papah," ternyata kepulanganku di rumah sudah di tunggu kedua putriku. "Iya sayang." Namun Baru saja aku akan memasuki rumah, Mas Danu terlihat sangat panik. "Jovan cepat kamu kembali kerumah sakit, Edo tiba-tiba anfal!" ucap Mas Danu, terburu bahkan dia sudah memegang kunci mobil. "Tapi bagaimana bisa, Mas? baru saja aku tinggalkan Edo baik-baik saja." "Aku juga tidak tahu, Ayo cepat!" Terpaksa aku mengikuti Mas Danu. Atik dan Fanya aku ajak sekalian, biarkan nanti mereka menunggu di lobi. Mas Danu mengendarai mobil dengan sangat cepat. Hanya butuh waktu sepuluh menit kami sampai di rumah sakit. Sampai di ruangan Edo, alangkah terkejutnya kami saat melihat kain putih menutup seluruh tubuh Edo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD