Sesampainya di kamar Nita. Kami bersiap untuk menyalurkan kerinduan. Akhh kenapa lagi dan lagi aku tak bisa menahan imanku?.
"Ayo Mas, Nita udah gak tahan!" goda Nita. Bahkan tubuhnya sudah tak terbalut sehelai benang pun.
"Iya Nita, Mas mulai sekarang ya?" Saat aku akan memulai pergumulan bayangan wajah Riana dengan bibir membiru seakan memperingatkan aku.
"Akh ...." Teriak Nita, seolah dia ketakutan.
"Kamu kenapa?" Tanyaku heran.
"I ... itu Mas, Riana ... ada di belakang, Mas!" Kata Nita.
Sontak aku menoleh ke arah belakang, tapi aku tak menemukan siapapun.
"Mana? Aku tak melihat siapapun?" Kadung kesal, hasratku sudah hilang tak berbekas.
"Tadi ada Mas, Sumpah aku lihat Riana, wajahnya membiru!"Sentak Nita, menyakinkan aku.
"Akhh sudahlah, Aku pulang saja malas sekali melihatmu saat ini." Hardikku.
Nita sontak menangis. Akhh b******k kenapa tangisan Nita, begitu membuatku muak.
"Sudah! untuk apa kamu menangis ?" Bentakanku mengagetkan Nita. Tidak pernah aku sekasar ini kepadanya.
"Kamu jahat Mas, hua ... hua Mas Jovan jahat, Aku benci Mas Jovan!" Tangis Nita semakin pecah.
"Sudah Nita, kamu sebentar-sebentar nangis, seperti anak kecil saja!" hardikku. Muak sekali melihatnya seperti ini.
"Hiks ... hiks ... hiks, kenapa Mas menjadi galak?"
"Karena aku muak Nita, aku menyesal karena telah menghianati Riana!" Aku memakai pakaianku. Lalu pergi meninggalkan Nita.
Saat berada di dalam mobil aku menangis sejadi-jadinya, kenapa lagi-lagi aku terjebak dalam jerat Nita. Beruntung bayangan Riana mengingatkanku.
'Aku tahu, Sayang kamu sangat mencintai Mas, Mas menyesal telah mengkhianatimu.' Kembali hatiku menghangat saat mendengar suara Adzan dari masjid terdekat. Aku melajukan kendaraanku kesana.
Suasana masjid di pinggiran kota Malang ini sangat ramai, masih banyak anak-anak pergi mengaji. Aku teringat dengan ketiga anakku. Riana setiap hari sangat sabar mengajari ketiga anak-anakku mengaji, dia tidak pernah marah apalagi menghukum ketiga anak kami jika sedang mengajarinya, jika ketiga anak kami salah dalam melafazkan Ayat Suci Al-Qur'an Riana dengan lembut membenarkan bacan mereka.
Aku menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim, Tiga rakaat aku jalankan dengan khusyuk.
Setelah selesai, Imam memimpin dzikir dan berdoa.
Saat jamaah sudah keluar aku masih nyaman di tempat dudukku, aku bermanja dan berkeluh kesah kepada Sang Pencipta, Air mataku yang semenjak tadi aku tahan akhirnya jebol juga.
Meninggalnya Riana membawaku kedalam lembah penyesalan yang tak berujung. Riana dengan sejuta pesonanya yang telah mengikatku, tapi aku tak pernah bersyukur.
'Riana mas kangen hiks ... hiks ... hiks, Mas menyesal telah menyia-nyiakan kamu.'
Saat aku menangis, ada yang menepuk pundakku.
"Assalamualaikum, Nak!" Terdengar suara bariton yang begitu tenang.
"Wa'alaikumsalam!" Aku jawab, dan menoleh. Sosok yang berpakaian serba putih, duduk di sampingku.
Senyum yang lembut menghias wajahnya.
"Ada apa Nak? kamu nampak begitu sedih?" Tanyanya.
Aku hanya menggeleng pelan, aku belum siap berbicara tentang keburukanku.
"Ya sudah jika kamu belum mau bercerita, ketahuilah Nak, setiap masalah yang Allah berikan, akan mengangkat derajat hambanya."
"Tapi musibah yang saya alami bukan ujian Pak, ini hukuman bagi saya, Karena saya penyebab istri saya meninggal."
Beliau mengerutkan dahinya, sepertinya beliau heran.
"Bagaimana bisa, kenapa Kamu berkata demikian?" Tanyanya lembut.
"Saya telah mengkhianatinya, bahkan saat almarhumah meninggal saya sedang asik, berzina dengan selingkuhan saya, Pak!" tangisku semakin pecah. Ingatanku kembali ke kejadian dimana Riana meninggal.
"Apa kamu menyesal, Nak?"
"Sangat Pak, saya sangat menyesal, Bahkan saya seperti tak memiliki muka di hadapan keluarga istri saya dan anak-anak saya."
"Pulanglah Nak, kembali ke anak-anakmu, jangan sampai kamu menyesal untuk yang kedua kalinya." Nasihat beliau, tapi bagaimana mungkin sedangkan baru tadi siang aku di usir oleh Ibu mertuaku.
"Tapi Pak, saya baru saja di usir oleh Ibu mertua saya, beliau sangat marah ketika tahu, jika saya berselingkuh dan mengkhianati putrinya." Kataku seraya menunduk. Aku sangat malu jika mengingat kesalahanku.
"Berusahalah memperoleh maaf dari keluarga almarhumah, Bapak yakin cepat atau lambat jika mereka melihat kesungguhanmu saat meminta maaf, mereka akan memaafkan kamu." Ucapan beliau meneguhkan hatiku. Baiklah aku akan pulang dan memperbaiki semuanya.
"Baiklah Pak, saya akan pulang, saya akan memperjuangkan maaf dari keluarga almarhumah istri saya dan anak-anak saya. Terima kasih telah mendengarkan cerita saya,Pak. Saya lega sekarang." Kataku, sambil menjabat tangan beliau.
"Sama-sama Nak, jika kamu membutuhkan tempat untuk berbagi kembalilah ke masjid ini, Bapak yang menjaga Masjid ini." Balas beliau, sambil menepuk bahuku.
"Nama Bapak? Maaf sampai lupa perkenalan." Tanyaku salah tingkah.
"Maksum,Nak?"
"Saya Jovan, Pak!"
"Baiklah Nak Jovan, jika ingin bertemu saya, saya tinggal di samping masjid, ada rumah kecil dengan bilik bambu itu rumah saya."
"InsyaAllah Pak, sekali lagi terima kasih."
Akupun pergi meninggalkan Masjid, menuju parkiran, lewat samping masjid. Benar ternyata ada rumah, semi permanen disana meski sederhana rumah itu nampak nyaman di tinggali.
Aku melajukan mobilku membelah jalanan Kota Malang untuk memperjuangkan maaf dari keluarga Riana.
Sampai di depan rumah terdengar jerit tangis ketiga anakku.
"Ada apa ini?"