Brak
Aku dorong pintu dengan keras, hatiku bergemuruh saat melihat Atik memeluk Edo yang sedang menangis juga.
Di samping mereka aku melihat ibu, dan Mas Danu mencoba menenangkan mereka berdua.
"Pah, hiks ... hiks akhirnya Papah pulang." Ucap Atik girang.
Aku memeluk, putri sulungku itu. Si bungsu Edo pun berhambur kearahku.
"Untuk apa kamu kembali Jovan?" teriak Ibu mertuaku. Tidak ada lagi kelembutan tutur katanya.Kini hanya kilatan amarah, dan kecewa yang tergambar jelas.
"Bu, Mas, aku mohon maafkan semua kesalahanku!" sesalku. Aku bersimpuh. Hendak mencium kaki Ibu mertuaku itu. Namun beliau beringsut dan menjauh.
"Aku tidak akan pernah memaafkan kamu Jovan!" teriak ibu.
Akhirnya air mata wanita paruh baya itu luruh.
"Dua puluh tahun aku selalu menyayangi Riana, tak pernah sedikitpun pernah Ibu dan Bapak menyakitinya, tapi kamu Jovan, kamu sudah membawa ke penderitaan." Tangis Ibu.
Hatiku bergemuruh, aku pun tak kuasa menahan tangisku, sesalku memuncak saat ini.
"Bu, Jovan mohon beri aku kesempatan sekali lagi, aku berjanji akan merawat anak-anak, dan tidak akan menikah lagi, ini untuk menebus kesalahanku." ucapku mantap.
Saat aku akan bersimpuh kembali, mas Danu menarik paksa tubuhku.
Bug Bug
Pukulan telak, mendarat di wajahku.
"Papah!" pekik ketiga anakku.
"Sudah Pakde, Cukup!" teriak Edo berusaha melindungiku.
"Iya Pakde, kasihan Papah hiks ... hiks!" tangis putri sulungku.
Amarah Mas Danu, yang masih menggebu terpaksa harus di redam. Dia melihat kedua anakku bergantian. Meski emosi Mas Danu menuruti keinginan keduanya.
"Ingat Jovan, aku berhenti memukulmu karena anak-anakmu, aku tak ingin melihat mereka terluka!" murka Mas Danu.
"Jovan, kamu sebaiknya pergi dari sini! Ibu sudah tak ingin melihatmu lagi!" bentak ibu.
"Bu, Jovan mohon beri saya kesempatan lagi!" mohonku.
Ibu mertuaku hanya memalingkan mukanya.
Aku melirik Mas Danu sekilas, dia masih enggan menatapku juga.
"Mas, Bu, aku hanya ingin menebus kesalahanku, dengan membesarkan anak-anak." Ucapku tegas.
Tekat Ku membesarkan anak-anak dan fokus dengan masa depan mereka. Tidak ada niatan untuk diriku menikah lagi.
"Baiklah, Ibu beri kamu kesempatan kali ini, Ibu berfikir Riana pun tidak akan tenang jika anak-anak kalian kehilangan kasih sayang kalian berdua, cukup Riana yang pergi kamu didiklah anak-anak." ucap ibu, memberi angin segar kepadaku.
"Tapi Bu!"
"Sudah Danu! ibu memberi kesempatan Jovan, banyak hal yang ibu pertimbangkan, bagaimanapun juga Jovan paling berhak atas hak asuh anak-anak." terang ibu, saat Mas Danu hendak memprotes keputusan ibu.
"Terima kasih, Bu." ucapku tulus.
Namun wanita bermata teduh itu, tak menjawab dan pergi kekamar.
Mas Danu menatapku, dengan bengis.
"Ingat Jovan! jika kamu sampai menyia-nyiakan ketiga anakmu maka tidak segan aku bunuh kamu!" ancam Mas Danu, dan aku yakin dia bersungguh-sungguh akan ancamannya itu.
"Ba ..."
Saat aku akan menjawab, pernyataan Mas Danu, Dia pergi begitu saja.
Aku melihat ketiga anakku. Aku menyadari akan kehadiran Fanya Dari mana dia?.
"Papa ... " ketiga anakku memelukku erat.
"Fanya, Kamu dari mana sayang?" Namun bukannya menjawab. Fanya malah menangis.
"Hei, kenapa Fan?" Aku memeluk Fanya putri keduaku.
"Fanya kangen Mama, Pa!" teriak Fanya sambil berhambur memelukku.
"Cup ... cup sudah sayang, sekarang yang terpenting kita selalu berdoa untuk Mama ya, agar Mama di terima di surga-Nya." nasehatku.
Edo, dan Atik mereka juga menangis, aku memeluk ketiga anakku.
'Riana, Mas kangen sayang belum siap rasanya kami di tinggalkan' monolog ku dalam hati.
Ku ajak ketiga anakku, untuk Sholat berjamaah.
Kami berempat menumpahkan kegundahan hati kami kepada-Nya.
"Kita berdoa untuk almarhumah Mamah, ya!"
Ketiga anakku mengangguk patuh. Ku lantunkan doa untuk almarhumah Riana, ketiga anakku akhirnya tumpah air mata mereka kala mengaminkan doa untuk ibu mereka.
Saat kami berempat khusuk meminta kepada Sang Khalik, Ibu mertua sudah berada di samping kami.
Beliau tergugu, dan akhirnya duduk di samping kami. Beliau turut mengaminkan doa yang aku lantunkan.
"Alfatihah." seruku saat doa telah usai aku lantunkan.
"Jovan, ibu ingin bicara empat mata denganmu."
"Baik, Bu!"
Ku ikuti beliau, taman belakang tempat kami berbicara.
"Jovan sebenarnya ibu sangat sakit hati karena perlakuanmu kepada Riana, namun ibu tidak tega melihat ketiga anak kalian jika harus kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya sekaligus." tangis Ibu.
"Maafkan saya, Bu!" hanya itu kata yang mampu aku ucapkan.
"Sudahlah maafmu sekarang sudah tidak berguna, buktikan jika kamu menyesali semua perbuatanmu, jaga ketiga cucuku dengan baik!" Cerca wanita paruh baya itu. Beliau menekan segala amarahnya untuk tidak meledak.
Aku hanya bisa menunduk menyesalinya.
"Asal kamu tahu Jovan, Riana tidak pernah sekalipun mengatakan keburukanmu kepada ibu, meski dia sakit hati dia selalu memujimu di depan kami!" ucapan ibu, menyayat hatiku.
Aku bergeming.
"Riana begitu menjunjung tinggi dirimu di hadapan kami, dia selalu bercerita jika kamu suami yang baik dan memperlakukannya selayaknya istri yang kamu cintai." cerita ibu mengalir dengan sesekali menyeka air matanya.
"Kamu tahu Jovan, Riana bahkan sampai menjual semua perhiasan pemberian dari ibu untuk biaya wisudamu dulu."
Deg,
Masih teringat jelas saat aku wisuda memang saat itu aku sama sekali tidak memiliki uang.
Saat itu Riana bahkan sedang hamil besar. Riana kala itu mengatakan bahwa dagangnya sedang ramai sehingga mempunyai uang untuk biaya persalinan dan biaya wisudaku.
Bodohnya diriku percaya begitu saja. Sekarang aku merasa betapa b******k diriku saat semua pengorbanan Riana aku balas dengan penghianatan.
"Riana bahkan menjual motor kesayangannya untuk menutupi kekurangan biaya persalinan Atik, Tapi semua pengorbanan Riana kamu balas dengan perselingkuhan, Hiks ... hiks!" tangis Bu Rahma semakin pecah.
"Maafkan Jovan, Bu bahkan Jovan tidak tahu akan hal ini." Sesalku.
"Saat ibumu datang kerumah kami, untuk meminta ganti rugi acara pernikahan kalian, Riana sampai harus menggadaikan sertifikat rumah untuk meminjam uang ke rumah Haji Badar."
Aku mengerutkan dahiku.
"Uang ganti rugi?" tanyaku. Aku benar-benar bingung.
"Yah, ibumu, meminta uang ganti rugi katanya kamu meminjam uang sepuluh juta untuk melamar Riana."
"Tidak pernah,Bu aku tidak pernah meminta uang kepada Ibuku sepeserpun untuk acara pernikahan kami." Aku murka mendengar ini semua, kenapa Ibu begitu tega meminta ganti rugi untuk acara pernikahanku yang Notabene anak kandungnya.
"Tapi kenyataannya begitu, jika kamu tidak percaya kamu bisa tanyakan kepada Ibumu!"
Harga diriku terkoyak saat ini, tak ada lagi muka di hadapan mertuaku. Kenapa ibuku begitu tega mempermalukan aku seperti ini?