"Mas, Aku hamil!" kata Nita.
Deg ...
Kabar dari Nita bagai petir yang menyambar di relung hatiku.
"Akan tetapi bagaimana bisa? Aku selalu memakai pengaman saat berhubungan denganmu?" Cercaku. m
Aku melirik kearah Mas Danu, kilat marah yang tadi sempat hilang kini malah bertambah.
"Kamu memang b******k Jovan!" Teriak Mas Danu. Tanpa ba-bi-bu dia langsung menonjok mukaku.
Bug ... Bug ....
Pukulan Mas Danu begitu keras, membuat darah mengalir dari hidungku.
Suara dari ponselku sudah tidak aku pedulikan. Pandanganku kabur. Namun tak pukulan dari Mas Danu tak berhenti.
Bug ... bug.
"Ini untuk adikku yang kamu sakiti sampai dia meninggal!"
Bug ... bug.
"Ini untuk keponakanku yang kamu jadikan piatu di usia masih kecil!"
Bug ... bug.
"Ini untuk kebodohanmu dan kebrengsekanmu"
Menerima pukulan bertubi-tubi membuat aku limbung.
"Astagfirullah!" Teriakan dari arah luar, menghentikan pukulan dari Mas Danu.
"Kenapa to, Le? sampai Jovan di pukuli seperti itu?" tanya ibu mertua, ternyata yang berteriak tadi adalah beliau.
"Jovan, b******k Bu! Dia yang menyebabkan Riana meninggal!" Seru Mas Danu.
Aku yang masih kesakitan karena pukulan Mas Danu hanya memegangi mukaku.
"Riana meninggal karena sudah takdir, Le!" ibu mencoba menasehati Mas Danu.
"Jika bukan karena Jovan selingkuh, Riana pasti selamat, Bu!" Teriak Mas Danu.
Aku tak bisa membantah pernyataan Mas Danu karena memang begitu kenyataannya.
Ibu pun terkejut mendengar perkataan Mas Danu, raut mukanya nampak kecewa saat melihatku.
"Benarkah yang dikatakan Danu, Jovan?" Tanya ibu mertuaku tegas.
Aku hanya mengangguk lemah.
"Apa salah Riana kepada kamu, Jovan?" helaan napas wanita yang lemah lembut itu, menyiratkan betapa kecewanya dia kepadaku.
"Maaf kan saya, Bu, saya khilaf."
"Ibu kecewa, Riana begitu mencintaimu, tapi apa balasanmu?" Hardik Ibu mertuaku.
"Sekali lagi Jovan minta maaf, Bu."
Aku masih berusaha memohon maaf kepada wanita yang sangat aku hormati ini.
Namun berat, rasanya beliau akan memaafkan ku.
"Ibu, belum bisa memaafkan mu, masih sakit rasanya kehilangan Riana, apalagi karena ulah, Mu!" Murka Ibu.
Tak ada lagi raut ramah di wajah ayu ibu mertuaku.
Drrt ... drrt ... drrt.
Ponsel ku berbunyi lagi, Nita lagi-lagi Nita yang menelpon.
"Angkat saja, pasti wanita ular itu kan?" Ketus Mas Danu.
Aku terpaksa mengangkat panggilan dari Nita.
"Hallo, ada apa lagi Nita?" Tanyaku.
Namun bukan jawaban yang aku dapatkan melainkan tangisan yang aku dengar.
"Hua ... Hua ... hikss ... hikss Mas, kenapa Mas matiin teleponnya tadi ?" Tangis Nita semakin keras.
Telingaku sampai berdenging di buatnya.
Antara malu dan sebal, aku salah tingkah saat menengok wajah Mas Danu dan Ibu mertua. Wajah mereka hanya menatapku dingin.
"Nita, sudah cukup Mas lagi ada kakak ipar dan ibu mertua!" Teriakku.
"Ingat Mas, Mas sudah janji jika Riana mati Mas akan menikahiku !" Teriak Nita, perkataan Nita terdengar oleh Mas Danu.
Saat aku akan menjawab pertanyaan Nita, leherku di cengkeram Mas Danu.
"Kamu memang b******k Jovan!"
Bug ... bug ... bug.
Pukulan di layangkan ke mukaku lagi.
Kali ini Ibu mertua tak melerai Mas Danu.
Aku melihat dia menyiratkan kemarahan yang sama. Setelah puas memukuliku Mas Danu berhenti. Mukaku sangat sakit aku yakin sekarang sudah tak berbentuk, aku merasakan sakit yang luar biasa.
"Sekarang kamu pergilah Jovan, Kamu tak pantas ada di sini!" Hardik Mas Danu.
"Tapi Mas, bagaimana dengan anak-anak?" Tanyaku.
"Heh ... kamu lucu Jovan, baru sekarang kamu ingat anak-anakmu? Dimana kamu saat Riana dan ketiga Anak kalian membutuhkan sosokmu?" Geram Mas Danu.
"Aku tak mengerti, Mas?"
Aku bingung dengan perkataan Mas Jovan.
"Kamu tahu Jovan, dulu Riana pernah menjalani kemoterapi, hingga anak-anak di titipkan di rumah ibu ?" kata Mas Danu.
"Aku bahkan baru tahu kalau Riana sakit dari Mas, " Ucapku membela diri.
Aku teringat saat Riana minta di antar ke rumah sakit aku tak menghiraukannya.
Kembali aku teringat dulu saat Riana mengerang kesakitan, namun aku tak memperdulikannya.
"Mas, perutku sakit banget hiks ... hiks ...!" Keluh Riana kala itu.
"Alah kamu itu, lebay banget si cuma sakit perut aja sampai nangis!" Hardik ku.
Aku tak berempati saat melihat Riana meringis kesakitan, aku sudah berjanji untuk menemui Nita.
"Tapi Mas, ini sakit sekali hiks ... hiks ..." Rengek Riana.
Aku muak mendengar tangis Riana. Karena dia aku sampai terlambat menemui Nita.
Riana terus memohon, aku tak menghiraukannya dan pergi menemui Nita.
"Mas ... mas ... tunggu, aku mohon antarkan aku kerumah sakit, ini sakit sekali aku mohon, Mas!" mohon Riana sampai bersimpuh di hadapanku.
"Hah ... Kamu ya Ri, aku mau pergi ada pertemuan dengan klien, ada kasus yang harus mas tangani!" Bohongku.
Saat itu aku sudah ada janji dengan Nita.
"Baiklah, pergilah Mas!" Kata Riana kecewa.
Dia bangkit dan berjalan menuju kamar anak-anak. Aku tak mau menunda menemui Nita karena gairahku sedang memuncak.
Aku melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi menuju kosan Nita, untuk menuntaskan hasratku.
Sekarang aku sangat menyesali perlakuanku kepada Riana.
Tak menyangka semuanya menjadi kacau karena dulu aku tak bisa menahan hasratku.
Riana dia istri yang Solehah sebenarnya, tapi dia kurang pandai dalam membangkitkan gairahku.
Dia tak pernah sekalipun menolak ajakan ku keranjang, tapi dia terlalu monoton, berbeda dengan Nita penampilannya yang seksi selalu membangkitkan gairahku.
"Cepat Kamu pergi sekarang Jovan, Tak sudi rasanya melihatmu lagi!" Bentakan dari ibu mertua mengagetkanku.
Dengan berat hati aku keluar, dan menemui Nita, aku melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi, ingin rasanya aku mati saja. Aku putus asa, bingung.
Aku memang suami tak berguna. Air mataku kembali berlinang, baru sehari aku di tinggal oleh Riana rasanya sudah seperti ini.
'Apa aku sanggup menjalani hidupku?'
Drrt ... drrt ... drrt.
Ponselku lagi-lagi berbunyi, ternyata Nita.
"Hallo, apa lagi Nita?" Bentakku.
"Mas, temani aku ya ke dokter kandungan!" perintah Nita seenaknya.
Namun aku juga tak tau arah tujuanku terpaksa aku menuruti keinginan nya.
"Baiklah." Jawabku singkat.
Setengah jam perjalanan aku sampai di kosan Nita.
Suasana kosan Nita di sore hari sangat ramai, para Tuna susila mulai bersiap untuk menjajakan dirinya.
Penampilan mereka sangat menggoda iman, selain cantik mereka juga berpakaian sangat seksi.
'Akhh Jovan, kamu memang tak tahu diri, baru saja di tinggal istrimu matamu sudah jelalatan,' gerutuku dalam hati.
Tok ... tok ... tok.
"Iya sebentar!" Seru Nita dari dalam kosannya.
"Akhh ... Mas Jovan, Nita seneng banget deh bisa lihat Mas lagi, udah kangen tau!" Nita begitu senang melihatku.
"Iya, kamu sudah siap?" Tanyaku ketus.
"Uhm, Mas kok kayaknya gak senang si?" Keluh Nita.
"Iya ... iya ... kamu sudah siap, Sayang?" aku paksakan untuk tersenyum.
Sebenarnya melihat penampilan Nita yang seperti ini membuat gairahku memuncak.
Bagaimana tidak dia hanya memakai tank top dengan belahan d**a rendah dan hot pants yang super pendek sehingga pangkal pahanya begitu terlihat.
"Mas gak mau nengok Dede dulu?" Tanya Nita memancing hasratku.
"Akhh Nita kenapa kamu menggodaku?"
Aku pun mengikuti Nita masuk.