Flasback on
Malam itu Arum memakai hotpants belel di padukan tanktop merah yang semakin menantang kelelakianku. Meski aku tak berani berbuat jauh, namun penampilan Arum yang seperti itu. Tak ayal membuat sahwatku bangkit.
Tut ... Tut
Sering ponselku, tertulis nama Riana dilayar.
"Hallo!"
"Hallo Jovan, sekarang Riana akan melahirkan, tolong kamu pulang sekarang!" Perintah bapak mertuaku.
"Maaf Pak, saya sedang menangani kasus berat, hari ini sudah deadline, tolong jaga Riana terlebih dahulu, setelah pekerjaan ini selesai aku akan kerumah sakit." alasanku.
Padahal aku sedang ada janji dengan Arum untuk nginap di hotel. Aku putuskan sambungan telepon secara sepihak. Aku matikan ponsel biarlah toh ada kedua orang tua Riana, aku tidak ingin melewatkan kesempatan emas ini.
Aku selalu berharap Arum akan kembali kepadaku, dulu hubungan kami kandas karena di tentang kedua orang tua Arum, alasannya karena aku belum memiliki pekerjaan. Hah bagaimana anak baru tamat SMA, sudah memiliki pekerjaan?.
Baru dua bulan putus aku dikirimi surat undangan oleh Arum, yah pada akhirnya cinta pertamaku itu menikah.
Sosok Arum, sangatlah indah. Dia sangat cantik, dengan kulitnya yang putih, p******a yang besar, dan badannya yang langsing, dan selalu memakai pakaian seksi, membuat fantasi semua pria yang melihatnya akan berfikir liar.
Meski begitu aku dulu belum berani berbuat jauh, untuk menghancurkan Arum, aku sangat sayang kepadanya. Tapi kini, aku tidak ingin melewatkan kesempatan biarlah aku tidak bisa menikahinya setidaknya aku pernah mencicipi tubuhnya bukan.
Ting tong
Suara bel hotel berbunyi. Akh aku yakin ini pasti Arum. Aku hanya mengenakan bathrobe hotel, sengaja aku ingin memancingnya.
Ceklek
Aku buka pintu, mataku terbelalak akh bahkan sekarang penampilan Arum, membuat aku langsung terangsang. Dia hanya mengenakan hotpants yang sangat pendek bahkan celana dalamnya nyaris terlihat, dengan tank top yang sangat ketat membuat payudaranya yang besar nyaris keluar.
"Maaf Mas, Arum telat ya?" rengek manjanya. Dia langsung berhambur ke pelukanku.
"Uhm tidak Sayang, mas juga belum lama tiba." bohongku, padahal aku dari sore sudah berada di hotel.
"Istrimu tidak marah Mas jika kamu menginap disini?"
"Tidak,bahkan dia sedang melahirkan sekarang, tapi ada kedua orang tuanya, sudah jangan membahasnya bukankah kita akan bersenang-senang?" godaku sambil sambil menarik turunkan mataku.
Arum tersipu malu, wajahnya merona.
"Akh Mas bisa saja."
Akhirnya kami melakukannya malam itu, bahkan kami melakukannya berkali-kali. Aku tidak pernah b*******h seperti ini saat bersama Riana. Meski Riana saat bersamaku selalu memakai pakaian seksi, tapi perut buncit karena hamil membuatku hilang selera.
Aku melupakan Riana yang sedang berjuang melahirkan anak kami, Arum terlalu indah untuk dilewatkan.
Keesokan harinya, aku baru datang kerumah sakit.
Terlihat Riana sedang menyusui anak kami.
Saat Riana melihatku dia hanya melirik sebentar.
"Maaf Mas, tadi malam tidak bisa datang, Mas sangat lelah."
Riana hanya diam.
"Anak kita perempuan atau laki-laki?" tanyaku sekali lagi.
Suasana begitu canggung, bahkan kedua orang tua Riana pun mendiamkan ku.
"Pak, Bu maafkan aku." aku memohon maaf sekali lagi.
Tatapan Bapak Riana bahkan sudah sangat tidak bersahabat.
"Bu, maafkan aku, aku benar-benar ada kasus yang harus aku tangani dan ini kasus pertamaku."
Lagi-lagi mereka hanya terdiam. Aku mendekat ke arah Riana.
"Sayang, Mas boleh menggendong anak kita?"
Aku coba membelai bayi mungil yang ada di tangan Riana.
"Apa aku tidak ada harganya di matamu, Mas?" Cerca Riana.
"Bukan begitu sayang, Mas harus menangani kasus Mas dulu."
"Kasus ? bukankah skripisimu saja sedang di ajukan? Bagaimana kamu bisa menangani kasus saat kamu belum resmi bergelar Sarjana."
Aku akui Riana memang cerdas. Aku memang belum bisa menangani kasus sebelum aku bergelar Sarjana Hukum
"Mas, menjadi asisten seorang pengacara dan mas suruh menangani kasus ini dan untuk sidang dia yang akan menghandle."
"Apa sampai kamu melupakan anak kita? Aku baru saja melahirkan dan kamu tidak berada di sampingku."
"Maafkan mas, Sayang" lelah rasanya. Aku harus berpura-pura menjadi suami penurut karena ada kedua orang tua Riana.
"Bahkan kamu tidak mengadzani anak kita, aku tidak peduli jika kamu sudah tidak menyayangiku, tapi Atik adalah anakmu darah dagingmu."
"Jadi namanya Atik? namanya yang cantik," aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Aku tahu karakter Riana, dia tidak akan marah lama.
"Ya, aku beri nama Atik Azzahra"
Aku mengerutkan dahiku.
"Kenapa tidak ada nama, Mas dibelakang nama Atik."
"Apa kamu masih mengakui jika Atik anakmu?"
"Tentu kenapa tidak?"
Kesal juga lama-lama melihat Riana yang seperti ini. Aku paling tidak tahan dengan Riana yang sedang marah.
"Bahkan kamu mematikan telepon saat aku berjuang melahirkannya, saat aku membutuhkan suamiku barada di sampingku.
"Kan Mas sudah menjelaskan ada kasus yang harus Mas tangani,"
"Untuk apa kamu menangani kasus sedangkan aku sebagai istrimu tak pernah bisa merasakan nafkah darimu?"
"Jadi maksudmu kamu keberatan menerimaku sebagai suamimu karena tak memberi nafkah untukmu?"
"Itu adalah tanggung jawabmu!" bentak Riana.
Plak
Tanpa sadar aku melayangkan tamparan ke pipi Riana. Tamparan pertama yang aku layangkan, bahkan saat itu bayi kami hampir jatuh dari gendongan Riana.
Bugh
Tiba-tiba pukulan begitu keras mengenai punggungku. Saat aku berbalik ternyata Ibu mertuaku-Bu Ratih-, yang memukulku.
"Kamu Jovan, kamu sudah gila! Riana baru saja melahirkan, tapi kamu menamparnya begitu keras! dimana letak empati kamu?" Bu Ratih berhambur memeluk Riana dan bayi kami.
"Jovan, menyesal kami merelakan putri kami kepada lelaki sepertimu, kami orang tua Riana tidak pernah sekalipun memukul Riana tapi kamu, baru saja menikahi Riana satu tahun kamu sudah menyakitinya, bahkan kamu melakukannya di hadapan kami!" Bentak Bapak Riana.
"Maaf Pak, Bu, saya kelepasan tapi aku tidak sepenuhnya salah karena Riana yang memulai dulu, dia mengungkit masalah nafkah." elakku. Enak saja mereka hanya menyalahkan ku.
Soal nafkah, bukankah orang tua Riana juga orang kaya, masa menanggung kehidupan Riana saja tidak bisa. Lihatlah rumah yang kamu tempati begitu besar, dan itu pemberian dari Mas Danu, kakak dari Riana. Tentu mereka memiliki banyak uang bukan.
Sedangkan aku memiliki ayah yang stroke dan harus aku biayai. Yah meski aku memberi uang kepada ayah sekedarnya. Selebihnya uang itu aku gunakan untuk menyewa hotel kemarin bersama Arum.
Dasar Riana saja yang tak melihat keadaanku, hanya bisa menuntut. Baru satu tahun dia membiayai kehidupan ku tapi sudah mengeluh. Bagaimana jika membiayai hidupku lama?
Awas saja saat aku sukses menjadi pengacara akan aku balas semua hinaan yang di lontarkan Riana dan keluarganya kepadaku!.