Klient Emas

1066 Words
Pagi ini Aku bangun kesiangan gara-gara atap kamar bocor yang membuat aku tidak bisa tidur semalaman. Dini hari saat hujan reda aku harus membersihkan kamar lalu tidur sebisa mungkin supaya pagi hari terlihat lebih fresh. Namun, itu hanya ada di pikiranku. Nyatanya mata panda tidak bisa aku sembunyikan, rasa kantuk membuat aku menguap berkali-kali. Walau sudah kututup dengan make-up bagian bawah mataku masih terlihat gelap. “Empat,” ujar Vian setelah aku menguap. Vian masih fokus menyetir walau sesekali ia menoleh padaku. “Kamu hitung apaan sih?” Aku melirik sahabat yang baru saja sah menyandang gelar suami. “Ngitung kamu nguap dari tadi. Lebar banget mulutmu, hati-hati nanti ada nyamuk nyasar,” ujarnya dengan senyum tipis yang membuat aku kesal. “Untung aku ngantuk kalau enggak ….” “Emang kamu mau apa?” “Aku mau ngopi.” “Aku ada permen kopi, mau gak?” Vian merogoh saku dalam jasnya lalu memberikan sebutir permen padaku. “Terima kasih permennya.” Aku langsung menyesapnya. “Tumben kamu gak cerewet kayak biasanya?” “Kamu mau aku cerewet? Tenang masih tersisa 19.000 kata yang belum keluar hari ini. Mau dengerin gak?” “Enggak makasi.” “Benar gak mau dengerin ocehanku?” “Jangan mulai lagi deh, Aul. Aku turunin kamu di jalan nih,” sahut Vian dengan wajah tenang seakan dia ikhlas meninggalkan cewek secantik aku di pinggir jalan. “Kok kamu tega sih? Kalau ada yang mikir aku ani-ani bagaimana?” “Bagus dong, ada job tambahan,” guraunya membuat tanganku dengan enteng nyubit lengan kekar Vian. Cubitan itu mungkin tidak berpengaruh padanya. “Aku selalu berdoa semoga Intan diberi kesabaran seluas samudra menghadapi suami kayak kamu.” Vian tertawa kecil, “Malah kebalik aku yang harus sabar hadapi Intan yang lagi ngidam.” “Dia ngidam aneh-aneh ya?” tanyaku sembari mengulum tawa. “Ngidamnya Intan ini bukan makanan dia lebih suka menganiaya suaminya. Kamu bayangin pulang kerja aku disuruh berdiri di pojok kamar terus tiba-tiba dia nangis. Kamu tahu dia bilang apa?” Aku menggeleng. “Dia bilang apa?” “Aku bisa hidup berdua dengan anakku kalau kamu mau ninggalin aku sekarang,”ujar Vian meniru bagaimana logat istrinya bicara. “Kenapa dia bisa bicara seperti itu? Kamu ketahuan main belakang, ya?” tanyaku dengan mata menyipit. Kalau Vian ketahuan main wanita di belakang Intan, aku adalah orang pertama yang akan memukul dan menjewer telinganya. “Perkara tumbuh satu jerawat di dagunya dia ngira aku bakalan selingkuh. Aku tahu kadang wanita hamil merasa insecure dengan penampilan badan mereka, tapi aku tidak ada niatan buat nyari wanita lain. Punya satu saja sudah bikin pusing apa lagi dua, bisa-bisa aku stroke,” kata Vian membuat aku prihatin. Ya, seharunya aku menyemangati Vian untuk sabar mengadapi istrinya. Cerita Vian di pagi hari membuat kantukku sedikit terlupakan. Tiba-tiba aku teringat pada kisah salah satu klient yang mengeluh tentang pasangannya yang tega meninggalkan dia di pinggir jalan karena pertengkaran. “Kenapa cowok tega banget nurunin cewek di jalanan terus pergi begitu saja? Apa mereka gak mikir terjadi sesuatu sama pasangannya?” Seketika pertanyaan itu muncul. Aku tahu cowok itu makhluk simpel dan berlogika. Berbeda dengan perempuan yang lebih menonjolkan perasaan. Sebagai pasangan suami istri bukankah berlebihan kalau meninggalkan istri di jalan raya? “Mungkin ceweknya nyebelin.” “Bagaimana pun juga mereka suami istri. Semarah apa pun sama pasangan gak pantas sih kalau diturunin di jalan. Di tinggal begitu saja suruh pulang sendiri naik ojol.” “Kalau masalah itu cowok punya alasan masing-masing. Kamu sudah tanya ke pihak cowoknya?” tanya Vian membuat aku menggeleng. “Hari ini aku mau ke sana. Sudah lima hari mereka diem-dieman. Di rumah mereka pakai bahasa kalbu, kalau ketemu langsung menghindar. Haah, aku kayak bercermin ke diri sendiri.” “Keingat masa lalu,ya? Kadang pengalaman kita bisa membantu orang lain. Kamu yang semangat ya,” kata Vian sebelum menghentikan mobil di tempat kursus. Terlihat ada sebuah mobil parkir di halaman, Aku pikir itu klient yang sempat chat semalam ingin bertemu langsung denganku. “Klien kamu sudah nungguin.” “Iya, aku masuk dulu. Salam buat Intan, ya.” Aku bergegas masuk ke tempat kursus di mana Mia sudah tidak berada di tempatnya. Suara percakapan dua orang terdengar di ruang kelas. Benar saja saat masuk ke ruangan ada seorang wanita paruh baya dengan dandanan nyentrik berdiri di tengah kelas. Berkilo-kilo gram emas yang ada di tangan dan lehernya membuat penampilan wanita itu bersinar. Belum lagi cincin, anting dan jepit rambutnya yang juga berrwarna emas. Kalau dilihat dari penampilannya wanita itu terlihat seperti sales toko emas yang sedang menjajakan barang dagangannya. “Ibu Aulia masih lama,ya,” ujar wanita itu sembari menatap lukisan kecil yang ada di dinding. Lukisan sederhana dari salah satu kartu tarot ten of cups bergambarkan keluarga harmonis. “Kurang tahu Bu, saya coba telepon lagi.” Mia lalu berbalik dan berteriak kencang sembari mengelus dadanya saat melihatku. “Maaf menunggu lama,” ucapku setelah Mia lebih tenang. “Mbak Aulia ngagetin saya,” ujar Mia. Wanita paruh baya itu berbalik menatapku yang hampir tertawa. Lipstik merah merona ditambah blush on tebal di pipinya membuat aku teringat sosok Jeng Kelin. “Ibu Aulia sudah gak sembelit lagi?” tanya wanita itu. Aku bingung, sejak kapan aku sembelit? Seketika senyum merekah Mia memberi jawaban. Mia mendekatiku lalu berbisik. “Tadi ibu itu mau marah-marah Mbak, dari pada dia kerasukan lebih baik saya bilang Mbak Aulia telat karena sembelit. Dia langsung diem.” Mia lalu menjauh setelah menjelaskan semuanya. “Saya sudah sembuh,” ujarku dengan senyum terpaksa. Malu sudah pasti, tapi siapa yang bisa mengontrol pencernaan. Itu diluar kendali manusia. Wanita itu berjalan mendekat, suara emas yang bergesekan di tangannya menjadi musik pengiring saat dia berjalan. “Saya yang semalam menghubungi Mbak Aulia.” “Ah, iya. Ibu Tutun ya? Salam kenal.” Aku mengulurkan tangan dan dia cuma melihat tanganku tanpa menjabatnya. “Gelang itu cantik banget, cocok di tangan ibu,” pujiku membuat ia tersipu. “Ah, Mbak bisa saja. Ini gelang emas murah kok cuma lima juta. Satunya.” Mia tiba-tiba mendekatiku. “Mbak saya ke depan saja, ya, takut silau sama emasnya,” bisik Mia lalu beranjak pergi. “Silakan duduk, Bu.” Kami lalu duduk berhadapan. Setiap pergerakan Ibu Tutun menimbulkan suara gesekan gelang emas yang bisa bikin iri tetangga. “Bisa diceritakan lebih detail masalah yang ibu hadapi?” tanyaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD