“Jadi begini Mbak—mengambil tissu dari tas lalu mengusap bagian bawah matanya— maaf ya Mbak takut make-up luntur,” ujarnya lalu kembali menatapku.
“Silakan Bu.”
“Saya sudah menikah selama dua puluh tahun, tapi akhir-akhir ini saya merasa suami sudah gak cinta lagi. Biasanya setiap bulan saya dibelikan perhiasan emas, tapi bulan lalu dia gak beliin. Dia bahkan sering marah-marah sama saya. Sakit hati banget dengarnya. Saya harus bagaimana Mbak? Suami sudah tidak cinta saya lagi. Biasanya dia manja-maja ke saya, tapi sebulan ini dia cuma diem gak mau ngomong duluan.”
Ibu Tutun mulai mengusap bagian bawah matanya, seolah akan ada air mata yang menetes. Sepertinya make-up yang ia pakai sangat mahal sehingga sayang kalau luntur.
“Apa suami ibu sering bertingakah seperti itu?”tanyaku membuat ibu itu menggeleng. Aku tersenyum lembut sembari mengusap tangannya sebentar.
“Mungkin suami ibu sedang ada masalah di pekerjaannya. Dia hanya butuh dukungan dan pengertian ibu. Coba ibu tanya pelan-pelan ke suami ibu. Ajak ngobrol santai biar suami ibu mau cerita kalau pun dia gak mau cerita setidaknya ibu bisa menerima sikap suami. Mungkin butuh waktu agar emosinya lebih tenang,” ujarku membuat ibu itu terdiam.
“Saya takut dia punya wanita lain di luar. Apa lagi ada janda baru di ujung komplek.” Ibu Tutun memanyunkan bibirnya sesekali ia mengusap bagian bawah matanya dengan tissue, takut air matanya merembes meski yang ditakuti belum terjadi.
“Itu hanya ada dalam pikiran ibu saja. Mengomunikasikan perasaan ke suami itu perlu biar gak overthingking. Cari momentum yang tepat dan perlahan bangun komunikasi dengan suami ibu. Pelan-pelan tanyakan hal yang mengganjal dalam hati ibu.”
“Bagaimana kalau dia bohong?”
“Kita memang tidak tahu seseorang berbohong atau jujur, tapi kepercayaan itu perlu dalam hubungan. Ibu bisa mencobanya dulu, setidaknya jawaban apa pun yang suami ibu berikan bisa menjawab keresahan ibu. Jangan sampai ibu menduga-duga yang gak benar, lebih baik tanyakan saja.”
“Apa saya harus percaya semua yang dia katakan?”
“Ibu masih takut suami ibu berbohong? Hmm, ibu pernah tidak memperhatikan gerak-gerik suami ibu kalau sedang bicara?” Ibu Tutun mengangguk.
“Nah, ibu bisa melihat gerak-geriknya ketika kalian bicara. Kalau dia berbohong pasti akan terlihat. Komunikasi tidak hanya tentang bicara saja, tapi juga non verbal contohnya seperti bahasa tubuh,” ujarku.
Setelah berbincang cukup lama, sisa waktu konseling kami gunakan untuk membahas perhiasan dengan segala kenangannya. Ibu Tutun tersenyum lebar setiap kali menginat kenangan yang tersemat pada perhiasannya. Aku sebenarnya sudah tidak peduli sama harga benda-benda itu. Melihat kebahagiaan klient sudah cukup membuat aku puas. Prinsip yang selalu aku pegang saat mulai bekerja adalah klient pulang dengan bahagia. Seperti Ibu Tutun yang datang dengan marah-marah lalu pulang dengan senyum sumbringah.
“Mbak, ibu itu baik-baik saja,’kan?” tanya Mia.
“Baik, memangnya ada apa?”
“Syukurlah kalau begitu. Saya doakan masalahnya gak selesai-selesai.”
“Huss, kamu ngawur. Jangan ngomong kayak gitu.”
“Ya siapa tahu dia balik lagi terus ngasi salah satu gelang emasnya dengan suka rela.”
“Kita harusnya doakan biar masalahnya cepat selesai. Biar gak ke sini lagi, pusing dengerin dia jualan emas,” ujarku.
Mia mendekatiku dengan suara pelan lalu berujar, “Mbak aku boleh tanya sesuatu?”
“Mau tanya apa? Serius banget wajah kamu.”
“Ini pertanyaan yang mengganjal di hatiku sejak lama.”
Aku semakin penasaran. “Apa?”
“Mbak Aulia dan Mas Denis sudah pacaran dua tahun, apa Mbak … itu …hmm bagaimana ya bicaranya. Itu … yang itu Mbak sudah pernah?” Wajahnya memerah tanpa berani menatapku.
“Itu apaan sih, Mia? Bicara yang jelas dong.”
“Yang begini Mbak—badan Mia yang awalnya condong ke arahku kini kembali tegak— ahh … uh ..ah … iihh,” ujarnya sembari memejamkan mata.
“Mia!” hardikku membuat dia berhenti mendesah. Belum sempat kujelaskan tiba-tiba suara berat seorang pria menyita perhatian kami.
“Kalian sedang apa?” tanya Denis yang sudah berdiri di depan pintu ruang kerjaku. Aku dan Mia saling bertatapan. Dengan cepat dan entengnya Mia berkata, “Lagi latihan BAB Pak Denis. Tadi Mbak Aulia sembelit.”
Aku terdiam mendengar jawaban cepat Mia. Gadis itu mengerjapkan matanya berkali-kali membuat aku mengangguk.
“Apa kita perlu ke dokter? Kamu baik-baik saja?” Denis tampak khawatir, tapi aku berusaha untuk menenangkan dirinya.
“Aku baik dan sehat. Kamu gak perlu khawatir.” Kutatap Mia yang sedang memalingkan wajah. Beruntung Denis tidak curiga dengan percakapan kami sebelumnya.
Mia pamit dari hadapanku membuat kami hanya berdua di ruang kerja. Denis menarik kursi yang Mia gunakan duduk tadi. Tangannya membelai wajahku masih dengan raut wajah tertekuknya.
“Benar kita gak perlu ke rumah sakit? Aku khawatir terjadi sesuatu sama kamu.”
“Aku baik-baik saja, Sayang.”
Denis mengusap pelan kepalaku. Seperti biasa tangannya akan turun membelai pipi dan diakhiri kecupan di kening. Sudah berkali-kali ia melakukannya, tapi jantungku tetap tidak tenang. Bagaimana bisa aku konsentrasi dalam keadaan sebahagia ini.
“Kamu sudah makan? Aku mau ngajak kamu makan siang bareng.”
“Hmm, bagaimana ya?”
“Kalau tidak bisa jangan dipaksa nanti kerjaan kamu keteteran. Katanya mau ngadain seminar?”
“Iya sih, tapi aku juga mau makan siang sama kamu.” Denis tersenyum tipis lalu meraih kedua tanganku.
“Ya sudah kita makan sebentar setelah itu kamu lanjutin kerja.”
“Emangnya hari ini kamu gak kerja?” Denis bersandar pada meja, kedua tangannya di masukkan ke saku celana.
“Aku libur. Bulan depan mau ke luar kota,” ucapnya.
“Aku sendiri lagi.” Aku menopang dagu menatap Denis. Baru saja dia pulang dari luar negeri sekarang aku ditinggal lagi.
“Kan ada Mia. Bulan depan kamu sibuk juga, katanya mau ada kelas umum pra nikah?”
“Iya sih, tapi … ah sudahlah. Kamu yang semangat kerjanya jangan nakal.” Denis tertawa membuat aku jengel. Dia tidak tahu bagaimana aku menahan rindu saat dia pergi. Bahkan saat dia tidak membalas chat karena sibuk.
“Aku nakalnya cuma sama kamu saja. Ayo makan aku sudah lapar.” Denis menarik tanganku lalu kami berjalan beriringan. Mia yang sedang sibuk di depan laptop pun menatap aku dan Denis bergantian.
“Aku sama Denis mau keluar dulu ya Mia. Kami mau makan siang,” ujarku sebelum pergi.
“Jangan lupa balik ya Mbak.”
Dua tahun yang lalu setelah merintis karir ini aku dipertemukan dengan Denis. Pertemuan yang tidak disengaja karena Denis adalah temannya Intan. Pertama kali ia datang ke tempat kursus untuk kerjasama bisnis. Aku pikir tidak akan bisa membuka hati lagi untuk seorang pria. Namun, Denis bisa meyakinkan aku untuk menata hati dan hidupku jadi lebih baik.
“Mama tanyain kamu terus. Aku bilang kamu lagi sibuk,” kata Denis membuka percakapan setelah mobil melaju meninggalkan tempat kursus.
“Aku juga kangen sama mama kamu. Bilangin nanti setelah kamu pulang dari luar negeri aku bakalan main ke rumah.”
Denis tidak bicara lagi, tapi sikapnya sedikit berubah. Ia seperti ingin mengungkapkan sesuatu, tapi coba ditahan. Ia tampak gelisah sesekali menggigit bibir bawahnya. Aku genggam tangannya membuat Denis menoleh sekilas.
“Kenapa? Ada yang mau kamu sampaikan?”
“Mama tanya kapan kita nikah,” kata Denis membuat aku terdiam.