Prolog
Malam itu aku menunggunya di teras berharap kami bisa menghabiskan waktu bersama. Julio, suamiku sudah beberapa hari ini sibuk bekerja dan pulang larut malam. Sebagai istri aku memahami bagaimana lelahnya bekerja di kantor.
Suara mesin mobil membuyarkan lamunanku. Tak lama Julio keluar dan menghampiriku. Wajah lelahnya tergambar jelas. Dasinya sudah dilonggarkan, lengan kemeja digulung sebatas siku dan jas kerjanya tersampir di tangan kiri. Saat ia mendekat dengan cepat aku mengambil jas dan tas yang ia bawa.
“Sayang mau makan atau mandi dulu?” tanyaku sembari mengikutinya dari belakang.
“Aku langsung mandi dan tidur. Capek banget lembur beberapa hari ini.”
“Kamu gak makan malam?”
“Aku sudah makan sama teman kantor,” ujarnya lalu beranjak ke kamar. Aku hanya bisa bersabar karena ini bukan pertama kalinya Julio bersikap seperti itu. Kutatap meja makan yang terhidang makanan yang mulai mendingin. Hari ini aku makan malam sendiri lagi.
“Sayang,” panggilku setelah meletakkan jas dan tas Julio di atas meja. Suamiku sedang membuka kemejanya saat aku masuk. Ia tidak menyahut sepertinya memang banyak pekerjaan di kantor.
“Besokkan kamu libur bagaimana kalau kita jalan-jalan? Sudah lama kita gak berkencan,” ucapku sembari membantunya melepas kaitan kancing terakhir. Julio tidak menatapku.
“Aku mau istirahat Aulia. Aku benar-benar capek.”
“Gak apa-apa sorenya kita bisa keluar sebentar.”
“Gak bisa aku sudah janji sama teman untuk mancing,” sahutnya lalu beranjak mengambil handuk yang tergantung dekat kamar mandi.
“Terus kapan kamu ada waktu buat aku?” Julio berhenti di depan kamar mandi. Ia tidak menoleh sedikit pun padaku.
“Setiap hari kamu lembur, saat pulang sudah kecapekan. Aku bisa ngerti, tapi please luangkan waktu kamu juga buat aku saat libur. Mama kamu sudah meminta cucu pada kita. Bagaimana aku bisa hamil kalau waktu kamu hanya untuk teman dan kerja?” ucapku meluapkan segala rasa yang terpendam.
Selama ini aku tidak banyak menuntut. Aku selalu menurut apa pun yang suamiku katakan. Aku juga tidak pernah melarang dia untuk menjalankan hobi bersama teman-temannya walau dia sering melarangku pergi dengan temanku. Kali ini aku hanya minta waktunya apa itu salah?
“Terus mau kamu apa?” tanya Julio sembari berbalik badan menatapku.
“Luangkan waktu kamu buat aku. Aku hanya minta sehari dalam seminggu apa itu sulit?”
“Percuma Aulia, kamu gak akan bisa hamil. Sulit buat kamu hamil,” ucapnya membuat dadaku sesak. Bagaimana dia bisa mengatakan hal sekejam itu?
“Kamu menyerah?” tanyaku dengan mata berkaca-kaca. Aku juga frustrasi dengan sikapnya. Kenapa dia tidak memikirkan perasaanku?
“Bukannya menyerah tapi itu mustahil. Jangan berharap kalau kita punya anak. Sudah empat tahun, tapi anak itu belum juga hadir.” Suara keras pintu kamar mandi membuat aku tersentak. Julio telah menghilang dari hadapanku, hanya gemericik air yang terdengar saat ini.
“Apa hanya aku yang mengharapkan hadirnya anak?”
Kulepas semua kain yang melekat di tubuhku, bagaimana pun juga aku tidak ingin menyianyiakan kesempatan ini. Kususul Julio ke kamar mandi. Tubuh tegapnya basah tersiram air shower. Entah apa yang ia pikirkan, Julio hanya diam di bawah guyuran air hangat. Ia bahkan tidak sadar kalau aku masuk ke kamar mandi.
“Sayang,” panggilku sembari memeluk tubuhnya dari belakang. Julio menegakkan tubuhnya lalu melepaskan tanganku yang melingkari pinggang.
“Aku tidak bisa seperti ini lagi, Aulia.” Aku tertegun beberapa saat mendengar ucapannya. Wajahnya memang tersirat banyak beban masalah yang ia hadapi. Namun, tidak sedikit pun Julio menceritakan masalahnya padaku. Tidak sedikit pun sejak kami menikah empat tahun lalu.
“Cerita sama aku kalau kamu ada masalah,” ujarku berusaha menenangkan. Julio berbalik menatapku intens. Tanpa berujar ia mencium bibirku lembut. Desiran hangat merambat ke sekujur tubuhku, terlebih ketika tangannya mulai bermain di titik sensitifku.
Nafasnya memburu seakan menahan gejolak dalam dirinya. Ciuman kami semakin dalam, erangan kecil kadang lolos dari bibirku. Julio selalu tahu apa yang membuat diriku terpancing. Kuusap punggung basahnya dengan lembut membuat Julio melepas ciumannya. Namun, itu tidak berlangsung lama karena dia kembali menciumku, memainkan lidahnya di dalam mulutku.