“Aluna membutuhkan dukungan kamu, temani dia mengobati luka masa kecilnya. Jika kamu sayang dan cinta pada Aluna berikan dia waktu untuk sembuh. Kalian bisa belajar saling memahami satu sama lain.”
Setelah berbincang lama akhirnya sesi konsultasi selesai. Agas yang awalnya kukuh ingin menikah tampak lebih tenang dan memikirkan apa yang aku ucapkan. Ponselku berdering, panggilan dari Denis. Desiran halus merasuk ke hati setiap kali suara pria itu terdengar dari seberang.
“Halo, Denis kamu di mana?”
“Aku ada di depan pintu,” ujar Denis membuat aku menoleh. Pria itu sedang bersandar dekat pintu membawa makanan. Aku menghampirinya, memeluk tubuh tegap yang memberiku energi setiap hari.
“Kamu sudah dari tadi di sini?” tanyaku tanpa melepas pelukan di pinggangnya.
“Lumayan, sampai si Mia selesai makan,” kata Denis. Aku segera menengok ke luar di mana Mia sedang membereskan bungkusan makanan sambil senyum-senyum. Aku tahu dari dulu dia tertarik pada Denis. Betapa bahagianya dia karena Denis menemaninya makan.
“Kita makan bareng, ya. Sebentar lagi aku mau lanjut kerja,” ujarku. Denis menarik kursi untuk duduk. Dengan cekatan pria itu menata makanan yang ia bawa. Aku hanya diam memperhatikan Denis mengeluarkan makanan yang ia bawa. Tanpa di duga ia menyodorkan sendoknya padaku.
“Buka mulutmu … aaa,” kata Denis saat aku terdiam cukup lama. Aku terima suapan itu membuat Denis melukis senyum lebar di wajah tampannya. Ini pertama kalinya aku disuapi seorang pria. Mantan suamiku dulu tidak pernah melakukan hal ini kecuali aku sakit. Itu pun aku yang memintanya.
“Kamu harus makan yang banyak biar bisa bantu klient. Banyak yang butuh jasa kamu,” kata Denis sambil mengunyah makanan. Aku hanya menerima suapan demi suapan yang Denis berikan. Kuraih tangannya membuat Denis terdiam.
“Jangan pernah berubah, ya, selalu cintai aku seperti ini,” ucapku membuat Denis meletakkan sendoknya. Ia membuka sebotol air mineral lalu memberikannya padaku. Aku segera meneguknya sembari melirik Denis melalui ekor mata. Denis lalu meminum air di botol yang sama setelah aku selesai.
“Aku akan tetap sama seperti ini sampai kapan pun. Ayo lanjut makan lagi.” Aku mengagguk semangat. Denis tampak senang setiap kali aku menerima suapan penuh yang ia berikan. Mungkin aku yang lebih banyak makan dari pada dia. Sejenak ia menatapku dalam-dalam.
“Hhmm, adik aku mau nikah,” celetuknya.
“Uhuk … uhuk….” Aku tersedak mendengar ucapannya. Denis dengan sigap memberikan sisa air dalam botol padaku.
“Nikah?” tanyaku heran.
Denis mengangguk sembari membereskan peralatan makan. Aku ikut membantunya sembari mendengar cerita Denis. Ada rasa bersalah dalam benakku.
“Iya, dia bakalan nikah dua bulan lagi,” ucap Denis tanpa menatapku. Sejenak aku mematung memikirkan nasib Denis yang dilagkahi adiknya.
“Maafin aku.” Denis menatapku dengan alis terangkat. Aku menunduk untuk menyembunyikan rasa penyesalanku. Tiba-tiba dia tertawa kencang membuat aku kebingungnan.
“Kenapa minta maaf?” tanya Denis sembari menyisihkan bekas makanan kami ke sisi meja yang kosong. Dia menatapku serius, aku yakin orang tuanya pasti memaksa Denis segera menikah. Aku tidak tahu lagi bagaimana perasaan Denis setelah adiknya menikah duluan.
“Maaf karena aku belum bisa nikah . Kamu harus merelakan adikmu nikah duluan.” Sejenak aku tertegun ketika Denis masih tertawa.
“Tunggu, kamu’kan anak bungsu. Iihh, kamu ngerjain aku ya?” Kucubit lengannya gemas sampai ia merintih minta ampun.
“Emang bukan adik kandung, tapi adik sepupuku. Melinda.”
Aku mengangguk pelan. Sekarang aku jadi malu, bisa-bisanya aku lupa kalau Denis tidak memiliki adik. Aku terlalu kaget mendengarnya.
“Aku merasa bersalah,” gumamku.
“Aku tidak akan memaksamu segera menikah. Tidak perlu dipikirkan selama kita bisa jalani semuanya dengan baik itu sudah cukup untukku.”
“Kamu gak nyari cewek lain yang mau diajak nikah cepat?”
“Menikah itu bukan kompetisi—mencondongkan tubuhnya mendekatiku— menikah di waktu yang tepat dengan orang yang tepat itu terasa lebih indah.” Denis mencium pipiku sekilas membuat wajahku terasa panas. Bagaimana bisa dia melakukan hal seperti anak ABG dikala usia kami sudah matang.
Hanya bersama Denis aku bisa bersikap seperti anak kecil. Dia bahkan tidak mempermasalahkan diriku yang bersikap manja. Bahkan Denis terasa tulus mencintaiku. Suara pintu menyadarkanku dari lamunan. Mia dengan senyum malu-malu memberitahuku kalau klient kedua sudah datang.
“Selamat bekerja, Sayang. Nanti aku jemput, ya.” Denis beranjak keluar sembari menenteng sampah bekas pembungkus makanan. Bukankah Denis calon suami yang baik? Aku tidak pernah merasakan diistimewakan seperti ini.
“Bagaimana aku bisa jatuh cinta setiap hari sama dia?”
Klient selanjutnya pun masuk. Seperti biasa aku akan bertanya hubungan mereka secara umum dan pertanyaan mendasar lainnya sebelum sesi konsultasi masing-masing. Setiap mendengar keluh kesah mereka terhadap pasangan.
Tidak jarang salah satu diantara mereka masih meragukan keputusan untuk menikah. Aku hanya memberikan masukan-masukan dari permasalahan itu. Kebanyakan dari mereka menikah karena desakan lingkungan dan usia.
“Menikahlah saat kamu sudah siap. Usia 30 tahun ke atas pun masih pantas untuk menikah. Jika kamu masih tetap ingin menikah pastikan kamu bisa menerima kekurangan pasangan kamu bahkan kebiasaan buruknya. Hal-hal kecil bisa jadi masalah serius nantinya.”
Wanita di depanku terdiam lalu menghela napas panjang. “Aku sudah pasrah, Kak. Dari pada gak nikah,” jawabnya. Aku segera menggeleng lalu berusaha meyakinkan dirinya semua belum terlambat.
“Masa pacaran kalian harus gunakan untuk saling mengenal. Tanyakan dirimu apakah benar dia pria yang ingin kamu nikahi yang bisa kamu anggap rumah? Menikah bukan hanya tinggal bersama dan mengganti status di KTP. Menikah adalah ibadah seumur hidup untuk dirimu sendiri.”
“Apa maksudnya?”
“Kalian harus tahu tujuan menikah. Bicarakan hal-hal penting sebelum menikah seperti masalah keuangan. Kalian harus bisa saling terbuka jangan sampai ketika menikah nanti kalian mempermasalahkan ini lagi.”
“Terus apa lagi?”
“Pelajari karakter pasangan menjadi hal utama juga. Bagaimana dia marah dan cara meluluhkannya. Tentu itu tidak mudah karena masing-masing dari kita memiliki ego. Pendaman emosi dan ego sering kali membuat seseorang kehilangan kendali pada dirinya. Untuk itu kamu harus mempelajari karakter pasanganmu dan dirimu sendiri.”
Aku tersenyum getir mendengar jawabanku. Harusnya aku mempelajari hal ini delapan tahun yang lalu, tapi saat itu aku terlalu percaya diri bahwa dia tidak akan menghianatiku dan menerima diriku apa adanya. Namun, seiring berjalannya waktu kami harus berpisah.
Tidak ada yang perlu di sesali pada masa lalu. Apa pun pilihan kita akan tetap ada penyesalan. Kadang sulit untukku berdamai dengan sakitnya, tapi aku selalu percaya bahwa penyesalan itu ada karena kita berani bertindak dan bertanggung jawab.
Jika aku memutuskan untuk bertahan mungkin tempat kursus ini tidak akan ada. Aku mungkin hanya berada di rumah menyambut kepergian dan kepulangan suamiku setiap hari sambil meratapi nasibku yang belum mendapat keturunan. Tapi sekarang aku lebih bahagia bisa membantu banyak orang dan juga menemukan pria yang mencintaiku dengan tulus. Tanpa rasa sakit itu aku mungkin tidak bisa merasakan ketulusan cinta dari pria lain.
Bukankah kehidupan itu misteri?