Pria Asing

1389 Words
Sesederhana apa pun sebuah rumah keluarga, ia bisa menjadi istana indah jika dibangun dari keikhlasan, kebersamaan dan cinta kasih yang mengalir murni dari hati dan jiwa penghuninya. Sebuah kutipan yang selalu aku tulis di akhir presentasi saat seminar. Entah mengapa kalimat sederhana itu membuat aku merasa nyaman dan tenang. Aku dan mereka mungkin sedang berjuang melangkah pada tujuan yang sama. Aku harap dengan membantu mereka juga bisa membantu diriku keluar dari trauma kegagalan rumah tangga. Di pernikahan yang terdahulu aku tidak memiliki sedikit pun ilmu berumah tangga. Aku hanya menjalankan semuanya sesuai insting dan aturan dalam masyarakat umum. Menjadi ibu rumah tangga, melayani suami dan mengurus rumah. Hanya itu yang aku tahu tentang tugas istri dalam rumah tangga. Bertahan selama empat tahun membuat aku belajar banyak hal setelahnya. Kemelekatan, ego dan dualitas dalam hubungan membuat aku belajar sampai di titik ini. Andai aku bisa bersabar dan belajar selama menjalani pernikahan mungkin perpisahan itu tidak akan terjadi. Namun, aku percaya Tuhan memiliki cara lain untuk membuat aku bahagia dan bertumbuh sebagai orang yang lebih bermanfaat bagi orang lain. “Sebenarnya masalah kalian apa?” tanyaku pada sepasang calon pengantin ini. Mereka bercerita sudah mempersiapkan semuanya, kedua orang tua sudah setuju dan mereka tinggal menikah saja. “Aku belum siap. Setiap kali memikirkan menikah aku meragu,” ujar Sherly. Gadis berkulit sawo matang yang memiliki lesung pipi manis itu tampak menunduk. Di sampingnya ada Febi, calon suaminya yang senantiasa menggenggam tangan Sherly. “Apa yang membuat kamu ragu?” tanyaku. Sejenak Sherly menatap calon suaminya. “Aku takut tidak bisa memberikan keturunan karena masalah kesehatan,” kata Sherly. Febi mengalihkan tatapannya padaku. “Aku sudah katakan padanya agar tidak khawatir, tapi dia terus memikirkannya,” kata Febi sesekali mencium punggung tangan Sherly. Aku tertegun mendengar ucapan mereka. Seperti mengorek luka lama aku pun merasakan sedihnya. Aku lihat Sherly seperti diriku, bedanya suamiku tidak ingin berjuang bersama untuk mendapat keturunan. Aku tersenyum mengingat bagaimana dahulu kami sering bertengkar karena diriku yang ingin cepat-cepat memiliki anak. “Aku bisa memahami bagaimana perasaan kalian,” ujarku membuat pandangan mereka tertuju padaku. “Jika kamu berpikir tidak bisa memiliki anak maka kamu sudah siap tidak menikah seumur hidup?” tanyaku pada Sherly. “Aku ingin menikah, tapi aku juga takut mengecewakan orang tua dan mertuaku kalau tidak bisa memiliki keturunan,” sahut Sherly. “Menikah secara umum memang bertujuan untuk mendapat keturunan, tapi tidak semua rumah tangga beruntung bisa mendapatkannya. Anak ibaratkan pisau bermata dua, bisa mendekatkan pasangan suami istri atau justru menjauhkan mereka.” Aku terdiam sejenak menatap pasangan di depanku. “Siapkan mental kalian jika ingin menikah. Bicarakan tujuan pernikahan kalian agar kalian bisa berjalan ke arah yang sama. Masalah anak bisa kalian konsultasikan ke dokter asal kalian berdua bersama-sama ingin berjuang. Bukan salah satu dari kalian saja yang berjuang, karena permasalah ini akan membutuhkan kesabaran selama bertahun-tahun,” ujarku. “Tapi aku juga takut bagaimana setelah menikah kita tidak cocok. Beberapa temanku banyak mengalami hal ini. Mereka berpacaran bertahun-tahun lalu menikah dan bercerai karena tidak cocok,” kata Sherly mengungkapkan ketakutannya. Febi melepas genggaman tangannya tampak jengkel dengan pertanyaan calon istrinya. “Kenapa kamu sampai berpikir seperti itu, Sayang? Kamu masih meragukan cintaku?” tanya Febi. “Bukan seperti itu, aku hanya mengantisipasi hal yang belum terjadi. Aku tidak mau berpisah seperti temanku itu,” ucapnya. “Kamu terlalu memikirkan sesuatu yang belum terjadi. Kamu terlalu takut,” ucap Febi. Mereka sejenak mengabaikan diriku dan sibuk berdebat satu sama lain. “Maaf, boleh kita lanjut sebentar?” tanyaku membuat mereka membuang pandangan berlawanan arah. Mereka adalah replika diriku dan mantan suami. Bagaimana Tuhan bisa mempertemukan diriku dengan pasangan ini? “Menikah adalah ibadah, salah satu jalan menuju Tuhan,” kataku membuat mereka kembali menatapku. Walau dari raut wajah mereka belum tampak ingin berdamai. “Tuhan mencipakan dualitas dalam setiap aspek kehidupan dan itu tidak bisa dipisahkan. Begitu juga dengan pria dan wanita diciptakan berbeda untuk bisa belajar menerima perbedaan itu. Kalian harus memahami bahwa tidak ada pasangan yang benar-benar cocok, tapi hal itu bisa dicocokkan,” ujarku. “Apa maksudnya?” tanya Sherly. Febi masih diam, tapi raut wajahnya tampak rileks. “Pria dan wanita diciptakan berbeda dan memiliki keunikan masing-masing. Jika kalian memutuskan untuk menikah maka kalian harus bisa menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Mencocokkan diri dengan pasangan itu memang sulit maka itulah gunanya cinta. Rasa ini yang akan membuat kalian bisa menerima kekurangan pasangan. Tidak peduli usia dan seberapa lama kalian bersama, menjaga api cinta itu adalah wajib,” jawabku. Kali ini mereka saling bertatapan. “Bagaimana cara menjaga api cinta itu? Seiring berjalanan waktu rasa cinta itu akan memudar dan hilang,” kata Febi. “Untuk itu kalian bisa mempelajari ini sebagai dasarnya.” Kubalikkan laptopku mengarah pada mereka yang kini mencondongkan tubuhnya untuk membaca judul materi yang kugaris bawahi. “Bahasa kasih sayang?” gumam mereka kompak. Aku mengangguk. “Kalian harus mempelajari love language dari pasangan kalian karena itu salah satu yang bisa menjaga api cinta.” “Tapi banyak pasangan yang tidak mempelajari ini, tapi mereka tetap harmonis dan baik-baik saja,” kata Febi. “Itulah uniknya manusia. Mereka memiliki insting dan kepekaan terhadap pasangan. Mereka bisa mempelajari apa kebutuhan pasangan tanpa harus kursus atau diberitahu, tapi tidak semua orang memiliki kepekaan yang sama,” jawabku. “Sepertinya ini mulai menarik,” ucap Febri dengan senyum sumbringahnya. “Bisa dijelaskan tentang bahasa kasih sayang itu? Aku tidak ingin ketakutan akan kegagalan yang terus menghantuiku,” kata Sherly. “Tentu, aku akan menjelaskannya pada kalian karena itulah tujuan kami membantu klient menikah tanpa rasa takut.” Mereka mulai melupakan pertengkaran yang terjadi beberapa menit yang lalu dan fokus pada apa yang aku jelaskan. Sherly tampak tersipu saat kujelaskan bahasa kasih yang pernah Febri berikan untuknya. Mereka tampak mengulum senyum hingga wajah mereka memerah. Suasana saat itu mulai mencair ketika mereka saling menggoda. Perasaanku menghangat ketika mereka tertawa mengenang masa lalu. Aku pun terabaikan sejenak, tapi kubiarkan mereka menikmati perasaan hangat itu. *** Beberapa menit lalu Denis mengirimkan pesan akan menjemputku setelah selesai bekerja. Mia yang izin pulang lebih awal sudah meninggalkan tempat kursus lima belas menit yang lalu. Hanya aku yang berada di tempat kursus ditemani suara radio dari ponsel. Tiba-tiba suara gaduh terdengar di luar. Aku segera beranjak dari meja kerja untuk melihat apa yang terjadi di luar. Seorang pria mengenakan seragam biru menerobos masuk dengan napas tersenggal. Aku hampir saja jatuh karena tubuh tegap dan kekarnya. “Kamu mau apa?” tanyaku sedikit membentak. “Tolong jangan berteriak. Saya harus bersembunyi,” ujarnya sembari mengedarkan pandangan ke setiap penjuru ruangan. Pria itu lalu bergegas sembunyi di bawah meja kerja Mia. Aku ingin protes dan mengusirnya keluar, tapi dua pria berpakaian serba hitam dengan postur tinggi tegap datang tak kalah paniknya. “Bapak-bapak ada keperluan apa ke sini? Mau daftar kursus nikah?” tanyaku membuat kedua pria itu mengalihkan pandangannya. “Mbak lihat pria berpakaian OB warna biru? Tubuhnya tinggi, putih bersih dan rambutnya hitam lurus kayak ekor kuda?” tanya pria berkumis tipis padaku. Temannya yang bertubuh lebih tinggi segera memukul lengannya. “Jangan bilang kayak ekor kuda nanti dia marah,” hardiknya. “Terus kayak apa dong?” Pria bertubuh tinggi itu menatapku. Walau ia tidak berkumis, tapi wajahnya tampak tegas dan bengis. Sorot matanya tajam tanpa senyum sedikit pun. “Mirip anjing boiler,” ujarnya membuat aku hampir tertawa. “Mana ada anjing boiler dodol,” bisik temannya. “Maaf Mbak kami harus mencari pria itu segera,” ucapnya. “Tapi saya sendirian di sini.” Mereka seperti tidak percaya dan masih terus meneliti bahkan mereka masuk ke ruang kelas untuk memastikan orang yang mereka cari benar-benar tidak ada. “Hei, apa yang kalian lakukan? Ini tidak sopan,” tegurku sembari membelakangi meja kerja Mia untuk menutup celah bawah meja. Kutarik kursi untuk menutupi persembunyian pria itu. “Kami yakin pria itu masuk ke sini.” Mereka terus mencari tanpa peduli hardikanku. “Yang masuk ke sini adalah mereka yang mau nikah. Memangnya pria itu mau daftar kursus nikah?” tanyaku pura-pura tidak tahu apa pun. Lama mereka mencari keberadaan pria itu sampai akhirnya mereka mengangguk satu sama lain. “Maaf mengganggu,” ujar merekaa lalu pergi tanpa penjelasan. Aku sedikit kesal karena sikap mereka yang tidak menghargaiku. “Bisakah Anda menyingkirkan p****t Anda dari wajah saya?” Seseorang berujar membuat aku kaget.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD