Keduanya terdiam sejenak sampai akhirnya Aluna membuka mulut.
“Mereka tahu dan menyetujuinya. Orang tuaku sangat senang saat aku akan menikah setelah lulus sekolah,” jawab Aluna.
“Kedua orang tuaku sebenarnya menentang, tapi aku sudah berjanji akan melanjutkan pendidikan setelah menikah,” ujar Agas.
Kuraih tangan Aluna lalu mengusapnya lembut. “Kamu punya cita-cita?” Kulepaskan genggaman tangan pada Aluna.
“Aku tidak punya cita-cita atau pun mimpi. Aku hanya ingin bahagia,” kata Aluna. Jawaban yang polos membuat aku terenyuh. Bahagia tentu memiliki arti yang luas. Bagi Aluna mungkin bahagia bisa ia dapatkan setelah menikah.
“Dengan cara apa kamu ingin bahagia?” tanyaku lagi.
“Menikah dengan Agas—menatap Agas— karena dia selalu ada buat aku.” Aluna tersenyum lembut dibalas oleh Agas. Ada kekosongan di hati Aluna yang bisa kurasakan. Sama seperti diriku saat masih muda dan memutuskan menikah. Aku takut kehilangaan kekasihku dan berpikir bahwa aku tidak bisa menemukan pria seperti dirinya lagi. Aku takut kehilangan sandaran saat rapuh, tapi nyatanya aku terlalu tergantung pada pasangan.
Aku masih terlalu muda sama seperti Aluna. Aku bahkan tidak memiliki batasan yang jelas dalam hubungan. Tidak peduli kalau kami menikah tanpa restu. Aku juga tidak peduli apa kata orang saat aku memutuskan menjadi ibu rumah tangga setelah selesai kuliah. Bagiku setelah menuntaskan pendidikan maka kewajibanku sudah selesai sebagai seorang anak.
“Agas bisa tinggalkan kami sebentar? Saya akan mulai sesi konseling pribadi. Dengan Aluna. Kamu bisa tunggu di depan,” ujarku. Agas pun meninggalkan kami berdua di ruangan.
“Keluargamu baik?” tanyaku seraya meneguk minuman untuk meredakan dahaga. Aluna terdiam, bahkan dia tidak menatapku. Pandangannya pun menerawang jauh.
“Aluna? Kamu baik-baik saja?” Kali ini gadis itu menunduk. Kuberikan sebotol air, tapi Aluna hanya menggenggamnya saja. Gadis itu tampak sedih dengan pikirannya sendiri.
“Mereka baik … kalau aku gak ada,” ujarnya membuat aku mencondongkan tubuh lebih dekat.
“Ceritakan yang ingin kamu ceritakan.” Aluna tersenyum dengan air mata menggenang di pelupuk.
“Aku adalah anak kelima dan satu-satunya anak perempuan, kehadiranku hanya menambah beban keluarga. Mereka membesarkan aku dengan terpaksa. Sejak kecil aku diperlakukan berbeda oleh kedua orang tuaku. Keempaat kakakku mendapat pendidikan yang layak sementara diriku berbeda.”
“Pasti berat untukmu,” ucapku.
“Yang lebih menyakitkan adalah tetangga bilang aku bukan anak mereka, tapi aku tidak percaya karena nenek sangat menyayangiku. Itu juga alasan mengapa aku ingin segera menikah. Aku tidak ingin menjadi beban keluarga,” jawabnya.
“Saya senang kamu ikut kursus pra nikah, tapi pikirkan baik-baik Aluna. Menikah bukan jalan keluar dari masalahmu.”
“Terus apa yang harus aku lakukan? Aku tidak punya siapa-siapa? Melanjutkan pendidikan pun mustahil, bekerja pun susah. Siapa yang mau mempekerjakan diriku yang lulusan SMA?” ujarnya tampak frustrasi.
“Tidak Aluna, jangan berpikir seperti itu? Kamu belum mencobanya dari mana kamu tahu tidak ada yang mau mempekerjakan dirimu? Kamu masih memiliki keluarga terlepas dari sikap mereka yang seperti itu. Aluna saya sarankan kamu obati dulu luka masa kecilmu. Kamu harus sembuh dulu dari luka itu,” ujarku.
“Aku tidak sakit. Aku sehat-sehat saja buat apa aku lakukan itu?” sahut Aluna.
“Kamu memang tidak merasakannya karena ditutupi oleh ego yang ada di dalam diri kamu. Ego itu membuat kamu bertahan dari rasa sakitnya. Kamu berusaha untuk tegar dan mengabaikan luka itu. Terkadang kamu akan menangis sendiri tanpa sebab dan merasakan bahwa dunia ini terlalu kejam untuk kamu. Aluna kamu sedang tidak baik-baik saja,” kataku membuat air matanya berlinang. Gadis itu menangis sesenggukan. Kupeluk ia cukup lama sampai akhirnya Aluna lebih tanang.
Ia meminum air yang kuberikan tadi sembari mengusap air mata yang berlinang di pipinya. “Selama ini mungkin kamu tidak memiliki seseorang yang bisa mendengarkan kamu, yang mengerti keadaanmu, tapi percaya sama aku banyak yang peduli sama kamu hanya saja kamu tidak menyadarinya. Egomu menghalangi mereka untuk mendekat.”
“Apa yang harus aku lakukan?”
Kuberikan kartu nama yang kuambil dari laci meja. “Hubungi orang ini. Dia temanku yang bisa membantumu. Lukamu harus disembuhkan, jangan sampai pernikahan membuat lukamu semakin perih. Kamu masih muda jalanmu masih panjang dan yang terpenting adalah kamu sangat berharga. Kamu orang yang luar biasa Aluna.”
Aluna menerimanya lalu mengangguk. “Baik, saya akan menghubungi orang ini.”
“Keputusan yang tepat, Aluna. Jangan jadikan pernikahan sebagai pelarian, menikahlah ketika kamu sudah siap mental bukan karena kejenuhan. Banyak hal yang perlu kamu perhatikan saat menikah terlebih mengenal pasangan. Bertoleransi, menekan ego dan komunikasi adalah hal dasar yang perlu kamu pelajari dengan pasangan. Karena setelah menikah banyak hal yang akan kalian hadapi. Semua itu tidak mudah,” jelasku.
“Bagaimana kalau Agas meninggalkan saya?” tanya Aluna penuh kekhawatiran.
“Jika dia memang takdirmu yang akan menuntunmu pada Tuhan dan kesejatian diri maka dia akan bertahan. Orang-orang bisa datang dan pergi dalam hidup kita kapan pun. Jika dia memang ingin bersama kamu dia akan tinggal selamanya dalam hidupmu.”
Senyum Aluna membuat aku merasa tenang. Aku harap gadis itu benar-benar mendengarkan ucapanku. Berdamai dengan luka masa kecil itu memang tidak mudah. Aku butuh bertahun-tahun untuk menyadari bahwa aku tidak baik-baik saja. Pertemuan dengan Julio mungkin menyadarkanku tentang diriku yang sebenarnya. Meski pahitnya perpisahan harus kulewati, tapi itulah hidup. Susah senang tidak bisa dihindari. Canda tangis pun harus dirasakan. Menjadi manusia memang tidak mudah.
Cukup lama kami berbincang sampai akhirnya giliran Agas yang menceritakan pandangannya tentang pernikahan. Agas yang begitu menggebu ingin segera melamar kekasihnya.
“Pikirkan kembali apa yang saya jelaskan, mungkin sekarang kamu belum merasakan semua hal yang saya sebutkan tadi. Ada banyak hal yang kamu harus pelajari dengan pasangan. Belajar mengomunikasikan perasaan, menerima pendapat pasangan, saling membantu dalam mengurus keluarga dan tentunya menerima semua kekurangannya.”
“Apa pun itu saya tidak peduli yang terpenting Aluna menikah dengan saya.”
Kuhela napas pelan sembari menatap Agas yang masih tetap dengan pendiriannya. ‘Anak muda selalu mengedepankan egonya.’
“Berarti kamu sudah siap dengan segala resikonya?” Agas mengangguk tanpa ragu.
“Kalau begitu temani Aluna sampai keadaannya membaik. Kamu harus menerima keputusan Aluna setelah ini. Apa kamu bisa?”
Agas terdiam dengan kening tertekuk. “Apa yang terjadi pada Aluna?”