Kebingungan

1545 Words
Baru sehari Denis pergi rasa rindu mulai menggangguku. Beberapa kali ketika istirhata bekerja aku hanya diam memandang fotonya dari ponsel. Rasa lapar bahkan tidak terasa setiap kali mengingatnya. “Mbak Aulia gak makan siang?” tanya Mia membuat lamunanku pecah. “Mia kamu itu suka banget ngagetin aku. Kenapa gak ketuk pintu dulu?” tanyaku. “Mbak Aulia dari tadi melamun terus saya sudah ketuk pintu berkali-kali, tapi gak digubris. Tanya saja sama Mas Ganteng kalau gak percaya.” Mia menunjuk Kendrick yang sedang bersandar dekat pintu. Ia mengangkat tas kresesk berisi makanan. “Makan siang,” ujarnya singkat lalu pergi. “Tadi Mas Ganteng keluar beliin kita makan. Ayo Mbak Aulia kita makan dulu.” Mia menarik tanganku ke ruang tunggu. Kendrick sudah menata makanan yang dibelinya di atas meja. Aku tertegun melihat betapa mewahnya makan siang ini. “Kamu beli di mana semua makanan ini?” tanyaku seraya duduk di sofa. Mia sengaja duduk di samping Kendrick. Aku tahu maksud dan tujuan gadis itu untuk mendekati pria itu. “Di restaurant dekat sini,” jawabnya. “Makanan ini mahal Kendrick, kamu bisa beli di warung sebelah. Jangan buang-buang uang kamu,” kataku membuat ia menatapku lekat. “Aku butuh makan. Kalau aku makan sembarangan perutku bisa sakit. Sudahlah makan saja, sebentar lagi aku dapat gaji,” ucapnya enteng. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan. Kendrick seakan tidak peduli dengan hutang-hutangnya pada rentenir. “Ya sudah kalau nanti hutangnya jatuh tempo jangan nangis-nangis minta pinjam uang,” ujarku berusaha menakut-nakutinya. “Tenang saja aku masih punya teman untuk dipinjami uang,” sahutnya membuat Mia tertawa. “Kalau teman kamu gak punya uang bagaimana?” tanya Mia penasaran. “Temanku tidak hanya satu. Aku punya banyak teman jadi banyak yang bisa kupinjami uang.” Kendrick tertawa pelan lalu menyantap makan siangnya. “Mia, kamu sudah follow up peserta seminarnya?” tanyaku seraya menikmati makan siang yang tersaji. Persetan dari mana Kendrick mendapat uang untuk beli makanan ini. Dia sendiri yang membelinya tanpa aku minta. “Sudah Mbak, semua aman,” jawabnya. Aku sedikit lega mendengar laporan Mia. Kendrick berhenti makan lalu menatapku dalam. “Bagaimana denganku? Apa aku perlu ikut seminar?” tanya Kendrick. “Mas ganteng mau ikut seminar pra nikah? Mas ganteng sudah punya pacar,ya?” tanya Mia. Tampak dari raut wajahnya kekecewaan yang mendalam. Kendrick menggeleng. “Ada hal yang tidak bisa aku ceritakan, tapi aku harus ikut kursus pra nikah sebelum membuat keputusan,” jawabnya membuat aku dan Mia saling bertatapan. Kendrick sejak awal memang misterius bahkan aku tidak bisa menebak karakternya. “Aku mau bicara sama kamu setelah jam kerja selesai, bisakan?” tanyaku membuat Kendrick lagi-lagi mengangguk. Kami melanjutkan makan siang sebelum kembali bekerja. Seharian itu pekerjaanku berjalan lancar. Pembekalan pra nikah pun dihadiri cukup banyak orang hari ini. Yang artinya aku harus pulang agak telat. “Ini minum dulu.” Kendrick memberikan sebotol minuman setelah semua orang pergi. Mia sudah meninggalkan meja kerjanya sehingga sekarang tinggal kami berdua. Kendrick duduk di depanku sambil melipat kedua tangannya di depan d**a dengan tubuhnya bersandar pada kursi. Ruang kelas begitu sunyi sehingga kami bisa bicara dengan tenang. “Kamu itu misterius banget,” ucapku memulai percakapan. Dia hanya tersenyum masih tampak santai tanpa terusik sedikit pun atas pernyataanku. “Bukannya semua manusia itu misterius? Tidak ada yang tahu apa yang mereka sembunyikan dalam hati,” jawabnya. Kuhela napas dalam sebelum mencondongkan tubuhku lebih dekat padanya. “Siapa kamu sebenarnya?” tanyaku membuat Kendrick menegakkan tubuhnya. “Orang yang kebingungan, itulah aku.” Aku tersenyum kecut, terasa kembali kemisteriusan pria itu. Jawaban yang mengundang banyak pertanyaan. “Apa maksudmu? Apa yang membuat kamu bingung?” tanyaku berusaha sabar menanggapi ucapan Kendrick. “Banyak hal yang membuat aku bingung. Tentang hidup, pernikahan, jodoh dan segala hal yang ada di dunia ini.” Aku tertawa kecil mendengar jawabannya. Itu adalah jawaban yang harus disampaikan pada pemuka agama bukan konsultan pernikahan. “Kenapa tertawa? Apa itu terdengar aneh?” tanya Kendrick. Keningnya mengkerut menatapku tanpa kedip. Aku coba bersikap tenang agar bisa bertanya lebih banyak tentang dirinya. “Tidak, pertanyaanmu normal tapi jawabannya sulit. Aku mungkin tahu, tapi tidak bisa kujelaskan dengan mudah.” “Katakan saja apa yang kau tahu aku akan mendengarkannya.” Aku beranjak menuju jendela, membuka gorden agar bisa melihat langit malam bertabur bintang. Tampak gemerlap mereka begitu indah saat malam hari. Namun, ketika pagi menjelang keindahan itu tak terlihat lagi. Kendrick masih menatapku dari tempat duduknya. Aku bersandar pada daun jendela, mendongkak menatap langit malam yang cerah. “Semua orang pasti bingung akan kehidupannya. Sama seperti dalam berumah tangga, sebelum menikah mereka pasti akan bertanya siapa jodoh saya? Dengan siapa saya akan berumah tangga? Dan ketika datang orang yang tepat dan mereka menikah maka pertanyaan siapa jodoh saya akan menghilang,” jawabku. Kendrick beranjak dari duduknya lalu berdiri dekat di sisi jendela yang lain. Kami berdiri bersampingan menatap langit. “Tetap saja aku bingung, kenapa semua ini bisa terjadi dalam hidupku? Bahkan aku sering bertanya untuk apa aku hidup kalau aku harus menderita? Sejak kecil aku dirawat oleh nenek. Papaku sibuk bekerja dan mamaku sibuk dengan dunianya sendiri. Sampai aku dewasa dan mereka memutuskan untuk berpisah. Jadi untuk apa aku dilahirkan?” tanya Kendrick. Aku bisa merasakan ada luka di setiap kata yang dia ucapkan. Ada sesuatu yang membuat batinnya terluka dalam. Luka masa kecil yang membuat dia berada di sini. Aku menatapnya dari samping, cahaya bulan menyinari wajah Kendrick yang tampak murung. “Justru kita hidup untuk merasakan penderitaan dan bahagia itu sendiri untuk mendapatkan pengalaman rasa.” “Jadi maksud kamu kita terlahir untuk menderita dan bahagia?” “Bukan seperti itu maksudku. Bahagia dan sedih adalah rasa yang perlu kita olah menjadi sebuah pelajaran rasa, sementara peristiwanya kita olah menjadi pengalaman. Dulu saat aku bercerai rasa frustrasi dan stress itu menghancurkan hidupku. Sampai aku belajar untuk melihat semua peristiwa dengan cara berbeda.” Kami saling bertatapan. Mata Kendrick tidak berhenti menatapku. Kami akan larut dalam obrolan yang panjang. Kakiku mungkin akan pegal berdiri terus menerus jadi kuputuskan duduk di kursi terdekat membiarkan gorden tetap terbuka untuk melihat gelapnya malam. Kendrick ikut duduk di dekatku. “Aku sudah hancur dalam kebingungan. Jika Tuhan bertanya padaku apakah aku ingin hidup atau tidak maka aku jawab tidak. Ini benar-benar melelahkan. Aku tidak merasakan apa pun sekarang. Seperti botol kosong yang mudah terombang-ambing oleh angin,” kata Kendrick. “Kamu tahu kenapa Tuhan memberikan rasa dan kisah hidup itu padamu?” Kendrick tertawa. “Mana aku tahu, bertemu saja tidak pernah. Banyak buku yang k****a mencari siapa sebenarnya diri-Nya? Apakah ada yang pernah bertemu dengan-Nya di dunia nyata ini? Masalahnya kita harus mati dulu baru bisa bertemu jadi bagaimana bisa orang yang sudah mati menceritakan Tuhan itu bagaimana pada kita yang masih hidup? Jadi aku harus bertanya pada siapa atas kebingungan itu?” “Pada dirimu sendiri,” jawabku membuat dia mengangkat satu alisnya. “Manusia dan alam semesta ini adalah materi. Pengetahuan kita terbatas, pengelihatan kita terbatas jadi semua jawaban itu hanya bisa kamu tanyakan pada dirimu sendiri. Rasa dan kisah hidup adalah keinginan dari jiwamu sendiri sebagai pembelajaraan yang ingin ia rasakan.” Aku termenung, teringat bagaimana aku bisa kembali beraktivitas setelah perceraianku. “Empat tahun yang lalu ketika rumah tanggaku hancur rasanya dunia ini tidak adil. Aku kehilangan kasih sayang kedua orang tuaku. Mereka berpisah yang membuat aku sendiri. Aku juga kehilangan suamiku yang aku pikir bisa menjagaku seumur hidup. Tapi nyatanya dia juga pergi. Saat itu aku bertemu seseorang, entah dia siapa aku juga tidak tahu dan dia mengajari aku tentang hidup yang penuh perjuangan,” ujarku. Kendrick mendekatkan tubuhnya padaku, ia sepertinya tertarik mendengar lebih banyak cerita. Semua orang yang kutemui di tempat kursus memiliki cerita beragam yang kadang membuat aku termenung. Semua orang memiliki kisah hidupnya sendiri dan tentu pelajaraan berharga untuk dirinya di masa depan. “Bagaimana dengan menikah? Kenapa kamu memutuskan untuk menikah tapi pada akhirnya kalian berpisah? Bukankah selama ini kalian saling mencintai?” tanya Kendrick. Dadaku terasa sesak bila mengingat bagaimana hubunganku dengan mantan suami. Itu bukan sepenuhnya salah mantan suamiku, tapi juga salahku. “Aku terlalu muda untuk memahami arti pernikahan. Kesepian membuat aku memutuskan untuk menikah karena aku takut dia pergi dariku. Dulu aku berpikir jika menikah dia akan meratukan diriku, menomor satukan diriku dari wanita lainnya. Tidak akan ada yang bisa merebutnya dariku sampai kapan pun, tapi aku salah. Mungkin dulu aku hanya ingin dimengerti tanpa harus mau mengerti. Aku tidak tahu banyak tentang hubungan pria dan wanita juga cara berpikir pria secara umum,” ujarku. Kendrick kembali menegakkan tubuhnya. “Apa dia pacar pertamamu?” tanya Kendrcik membuat aku mengangguk. “Aku ikut bersedih mendengarnya, apa kamu takut untuk menikah lagi?” “Bukan takut sebenarnya, tapi lebih tidak percaya diri. Aku tidak percaya bahwa nanti aku bisa menjadi istri atau ibu yang baik, aku selalu merasa kurang. Sampai kekasihku terus meyakinkan bahwa aku bisa menjadi istri dan ibu yang baik kelak.” Kendrick terdiam mengusap wajahnya sebelum menengadah ke langit-langit. “Orang tuaku sibuk dengan pekerjaannya. Mereka bahkan tidak mempedulikan anaknya. Sejak kecil aku sudah terbiasa tanpa kehadiran mereka. Aku sempat berpikir untuk tidak menikah karena takut jika anakku bernasib sama denganku,” kata Kendrick. “Kamu sudah menyadarinya, Kendrick,” sahutku. “Maksudmu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD