Denis tidak menghiraukan pekikanku. Ia berjalan seolah berat badanku bukan masalah untuknya.
“Mau latihan gendong kamu sebelum akad,” ujar Denis membuat aku tersenyum lebar. Denis merebahkanku di atas tempat tidur. Bukannya melepaskan pelukan di pinggangku dia justru ikut berbaring dan mendekapku lebih erat.
“Kamu kenapa sih, Sayang?” Kuusap lengannya lembut sembari menatap wajah tampannya.
“Kangen mau sama kamu terus,” ujarnya manja.
“Kamu kalau di rumah manja banget kalau di luar saja gak mau romantis,” keluhku. Denis dengan cepat mencium kedua pipiku lalu tertawa kecil.
“Ya gak apa-apa, takut kelepasan.” Kembali dia mencium bibirku lebih menuntut dari sebelumnya. Kedua tangan Denis mengusap rambutku yang terurai bebas di atas bantal. Perlahan Denis mengambil posisi di atasku hingga kami bisa saling bertatapan.
“Kamu begitu sempurna, Aulia. Aku ingin segera memilikimu,” ujarnya.
“Bersabarlah, aku memang milikmu,” sahutku. Denis mengecup setipa inci wajahku hingga aku terbuai olehnya. Tiba-tiba Denis beranjak duduk di tepi ranjang. Ia tampak gusar sembari mengusap wajahnya.
“Maaf, aku sudah melewati batas,” ujarnya sembari menyisir rambut dengan jemari.
Aku segera duduk dan meraih kedua tangan Denis. “Sekali saja gak apa-apa.” Kami saling bertatapan dengan napas yang tak beraturan. Tatapan Denis berubah tajam membuat sekujur tubuhku memanas.
**
Pagi-pagi sekali aku terbangun untuk menyiapkan keperluan Denis. Semalam sangat kacau. Kami harus menenangkan diri masing-masing di ruang terpisah. Semua pakaian Denis sudah kukemas sementara dirinya masih tidur pulas di sofa.
“Sayang, bangun nanti kamu telat,” ujarku menggoyangkan lengan Denis agar terbangun. Pria itu menggeliat sebelum duduk dan bersandar di sofa.
Aku merasa bersalah sudah menggodanya semalam. Denis pasti melewati malam yang berat. Kuberikan segelas air putih untuknya. Setelah tenang Denis pun beranjak membersihkan diri. Kubuatkan sarapan sebelum Denis berangkat. Membayangkan sebulan tanpa dia di sisiku rasanya begitu berat. Ponselku bergetar. Pesan singkat masuk dari nomor tak dikenal.
“Ibu Aulia yang terhormat maaf hari ini saya tidak bisa bekerja karena ada satu dan lain hal yang penting. Maaf saya tidak bisa mengatakannya sekarang. Terima kasih. Kendrick.”
Pesan dari Kendrick membuat aku khawatir. Apa mungkin dia berurusan dengan rentenir itu. Aku menggeleng pelan untuk mengenyahkan pikiran yang berkecambuk. Itu bukan urusanku. Aku tidak ingin terlibat lebih jauh dalam hidupnya.
“Siapa?” tanya Denis yang sudah berdiri di belakangku.
“Karyawan baru di kantor gak bisa kerja hari ini. Katanya ada urusan penting,” sahutku sembari menuangkan air ke dalam gelas.
“Kamu makan dulu,ya, aku mau siapin pakaian buat kamu.” Aku beranjak meninggalkan Denis yang makan hanya mengenakan piyama mandi.
“Sayang!” panggil Denis sebelum aku benar-benar menghilang dari dapur. Aku berbalik menatapnya yang tengah tersenyum lebar. “I love you,” lanjutnya membuat pipiku memanas.
“I love you too.”
Setelah selesai menyiapkan barang-barang yang Denis butuhkan, pria itu sudah muncul di ambang pintu. Denis menerima pakaian yang kuberikan lalu mengganti piyamanya.
“Aulia,” panggil Denis setelah berpakaian rapi. Lima jam lagi pesawat akan terbang untuk itu aku meminta Denis untuk segera berangkat.
“Aku mau ngasi kamu sesuatu,” ujarnya.
“Denis sekarang waktunya kamu berangkat nanti telat. Hadiahnya nanti saja kalau kamu sudah pulang,” ujarku.
“Iya sebentar saja aku mau ngasi kamu hadiah takut gak sempat.”
“Hadiah apa lagi sih?”
“Hadiah ulang tahun buat kamu.”
“Ulang tahunku dua bulan lagi sayang, masih jauh.”
“Makanya aku kasi sekarang biar aku gak berubah pikiran. Sebentar gak sampai lima menit.” Denis beranjak ke lemari pakaian lalu membuka laci yang ada di dalamnya. Ia memberikan hadiah yang terbungkus rapi.
“Kamu buka hadiahnya saat ulang tahun,ya.” Aku menerimanya dengan perasaan campur aduk. Ada rasa penasaran yang ingin segera membukanya. Namun, aku harus bersabar menunggu dua bulan lagi.
“Kamu kok kayak gini sih? Bikin aku takut.” Denis tertawa lalu mengacak rambut lurusku.
“Biar kamu penasaran anggap saja tes menguji kesabaran,” ujarnya dengan senyum merekah. Setelah menyimpan hadiah itu kami pun segera berangkat ke bandara.
Denis tampak ragu ketika turun dari taksi. Ia terus menatapku dengan penuh pertimbangan. Aku berusaha menenangkan dirinya. Namun, Denis tak kunjung beranjak.
“Kamu kenapa?” tanyaku saat ia menghela napas.
“Sebenarnya aku berat ninggalin kamu, takut rindu,” ujarnya membuat aku memukul lengannya pelan.
“Saat-saat seperti ini kamu masih bisa ngerayu, ya.” Denis tertawa pelan lalu memelukku sejenak.
“Aku berangkat,ya, kamu jaga diri kalau ada apa-apa hubungi mamaku. Jangan sungkan lagi mamaku juga mama kamu,” ujarnya.
“Jangan bikin aku nangis, Denis.” Kuusap air mata yang mulai mengalir. Mereka sangat baik padaku bahkan lebih baik dari keluargaku. Aku bersyukur telah dipertemukan dengan keluarga Denis.
“Aku pergi,” ujarnya setelah menghapus air mataku. Kulambaikan tangan ketika ia menarik kopernya menjauh dariku. Kakiku terasa kaku untuk bergerak, bahkan sampai Denis tidak terlihat lagi aku tetap mematung di tempat.
“Jaga diri baik-baik, aku mencintaimu.”