Alisnya tertekuk saat aku tak kunjung menjawab. Banyak orang yang mengkhawatirkan masa depan padahal tidak ada satu pun orang yang tahu rencana-rencana ajaib yang Tuhan siapkan.
“Kamu sudah menyadari bahwa kehadiran orang tua sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Ketika kamu menyadarinya secara alami kamu akan selalu hadir pada setiap tumbuh kembangnya. Kamu hanya perlu menemukan wanita orang yang tepat,” jawabku.
“Bagaimana kalau aku sibuk kerja lalu tidak sempat menemani anak atau istriku. Mereka pasti kecewa,” katanya lagi.
“Manfaatkan hari liburmu bersama keluarga. Walau kamu tidak hadir secara fisik, tapi kamu bisa menjalin kedekatan secara emosional. Percayalah mereka akan mengerti asalkan kamu tetap memprioritaskan keluarga. Kadang apa yang kita khawatirkan belum tentu terjadi,” balasku.
Kendrick terdiam beberapa saat. Aku beranjak menutup gorden jendela. Kendrick masih termenung tenggelam dalam pikirannya. Aku berbalik menatap Kendrick yang belum bergeming sedikit pun.
“Nikmati hari ini, berhentilah mengkhawatirkan masa depan. Hidup hanya ada saat ini bukan di masa depan atau pun di masa lalu. Alih-alih kamu khawatir apakah bisa menjadi ayah atau suami yang baik suatu hari nanti kenapa kamu tidak coba untuk menjadi pribadi yang baik untuk dirimu sendiri?”
Kendrick mendongkak dengan senyum miring di wajah tegasnya. “Tapi aku masih membenci kedua orang tuaku. Karena mereka kakakku pergi. Aku tidak pernah merasakan kehangatan keluarga sedikit pun. Apa itu tujuan menikah hanya untuk membuat anak-anaknya terluka? Bukankah mereka egois?”
Aku berjalan pelan menghampiri Kendrick. Suasana yang sunyi membuat langkah kakiku menjadi musik pengiring memecah kesunyian. Aku kembali duduk santai mendengar keluh kesah pria muda itu.
“Sampai kapan kamu menyalahkan orang tuamu? Kamu ada sampai saat ini, sebesar ini karena mereka, terlepas dari sikap baik dan buruk mereka padamu. Kendrick, kamu hanya kebingungan dan terjebak dalam emosi masa lalu. Luka masa lalu itu harus kamu sembuhkan dengan cara melepaskan. Kita tidak bisa mengubah apa pun yang ada di luar diri kita jadi yang bisa kita ubah adalah pikiran dan sikap kita terhadap sesuatu yang datang.”
Kuhela napas panjang sembari menatap lukisan kartu tarot yang ada di dinding depanku. Ten of Pentacles, bergambarkan keluarga yang harmonis. “Walau dulu aku pernah gagal, tapi aku tidak pernah takut untuk menikah lagi. Aku banyak belajar dari kegagalan sebelumnya yang membawaku sampai di titik ini. Kalau sekarang menurut kamu keluarga yang kamu rasakan tidak nyaman kenapa kamu tidak ciptakan kenyamanan itu di keluargamu kelak.”
“Kenapa jatuh cinta dan menikah itu merepotkan?” ujar Kendrick sembari mengusap rambutnya.
“Bukan merepotkan tapi kamu hanya tidak mau menerima cinta sepaket dengan patah hatinya. Kalau kamu berpikir cinta itu hanya tentang kebahagiaan bersama orang yang dicintai siap-siap kamu dibuat kecewa,” ucapku sembari melirik jam dinding yang terus berdetak.
“Aku belum pernah jatuh cinta.”
“Kamu harus merasakannya sesekali.” Aku beranjak berdiri membuat Kendrick mendongkak.
“Mau ke mana?”
“Aku harus pulang ini sudah malam. Kamu juga harus pulang, Kendrick.” Aku beranjak meninggalkannya di ruang kelas. Tidak lama dia menyusulku.
“Aku antar kamu pulang,ya,” ujarnya.
“Gak perlu aku bisa pulang sendiri.”
“Aku antar kamu sampai rumah ini sudah malam bahaya kalau pulang naik taksi sendiri,” sahutnya. Kendrick segera mematikan beberapa lampu.
“Tapi aku mau nginep di apartemen Denis,” jawabku membuat ia terdiam. Kendrick lalu menoleh dengan senyum tipisnya.
“Terserah kamu mau tidur di mana aku tetap antar biar aman,” jawabnya. Aku segera keluar menunggu Kendrick mengunci semua ruangan. Setelah mengunci pintu luar ia pun memberikan kuncinya padaku. Kami berjalan bersisian menuju taksi yang sudah aku pesan.
Kendrick tidak banyak bicara, sesekali kami berbincang sesuatu yang ringan. Sampai akhirnya taksi berhenti di depan apartemen Denis. Aku segera mengeluarkan dompet untuk membayar ongkos taksi, tapi Kendrick menahan tanganku.
“Kali ini aku yang bayar,” jawabnya.
“Beneran? Aku gak apa-apa sekalian bayar ongkos kamu,” sahutku.
“Gak perlu biar aku yang bayar semuanya.” Aku tertegun untuk beberapa saat.
“Sebenarnya waktu itu aku mau bicara sama kamu makanya aku cari alasan gak ada ongkos pulang, tapi Mia malah ikut-ikutan,” ujarnya tanpa menatapku. Kulihat wajahnya bersemu merah, aku yakin dia pasti malu sudah menurunkan egonya saat itu.
“Ya sudah terima kasih aku masuk dulu.” Aku bergegas masuk ke apartemen. Kamar Denis ada di lantai 5 jadi tidak butuh waktu lama untuk sampai. Kunyalakan lampu ruangan lalu berjalan ke jendela untuk memastikan Kendrick sudah pergi. Namun, taksi itu belum beranjak.
‘Aku sudah sampai di kamar Denis kamu boleh pulang.’ Tulisku pada pesan singkat. Taksi pun melaju meninggalkan apartemen.
Ponselku bergetar. Nama Denis tertera pada layar. Tanpa menunggu waktu lama aku menerima panggilannya.
“Kangen.” Suara di seberang menyahut sebelum aku sempat mengucap salam.
“Halo selamat malam,” ujarku sembari berjalan ke dapur mencari sebotol air yang ada di kulkas. Aku lupa belanja bulanan sampai-sampai kulkas itu kosong. Tersisa tiga botol air mineral yang menjadi penghuninya.
“Kangen,” sahutnya lagi.
“Jawab dulu salam aku,” ucapku. Terdengar suara tawa dari seberang.
“Iya selamat malam Sayang.”
“Kamu lagi apa tumben gak video call?” tanyaku sembari menikmati air dingin yang mengalir ke kerongkongan.
“Lagi kangen sama kamu. Hari ini aku capek banget. Aku baru dapat istirahat dan belum mandi. Malu dong kalau video call di saat aku lagi gak ganteng,” ucap Denis yang hampir membuat aku tersedak.
“Issh, aku sudah pernah lihat wajah kamu yang kucel ngapain malu?”
“Enggak ah aku lagi gak pede.”
“Biasanya juga pede-pede aja?”
“Iya soalnya aku lagi rindu makanya gak pede.”
Wajahku bersemu merah, entah bagaimana hatikku seketika menghangat. Membayangkan bagaimana Denis mengatakan itu sambil menatapku dalam.
“Kamu belum makan, ya?” tanyaku setelah jeda sejenak.
“Sudah, aku makan sama anak-anak tadi sebelum balik ke hotel. Aku tebak kamu belum makan,” ucapnya.
“Sebentar lagi aku masak tadi gak sempat makan.”
“Jaga kesehatan ya,Sayang, dua hari lagi aku pulang.”
Percakapan kami selesai walau singkat Denis selalu memberi kabar setiap kali kegiatannya selesai. Dia selalu mengerti kesibukanku. Entah mengapa semua hal yang aku inginkan dari Julio ada pada Denis. Aku sempat berpikir kalau tidak ada pria seperti yang aku inginkan. Pertemuan dengan Denis membuat aku sadar tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya asal kita mau membuka pikiran dan mengizinkannya masuk.