Efek oksitosin atau “hormon cinta” memang dahsyat. Para ilmuwan berkata, efek hormon tersebut sama dengan efek wine, memabukkan dan bikin ketagihan. Ternyata, itu memang benar. Pagi-pagi sekali, mata belum terbuka, dan baru saja kembali dari dunia mimpi, Rex sudah kangen kepengen melihat wajah imut Emily. Wajah gadis berdarah Batak-Jawa-Madura itu bikin “nyandu”. Pagi, siang, sore, bahkan malam-malam Rex selalu bertabur wajah Emily. Wajah cantik Emily sukses menggeser posisi bintang-bintang yang terang di langit malamnya Rex.
Rex mencoba meraih ponsel yang ia letakkan ... entah di mana. Tangannya meraba-raba seprei kusut di samping tubuhnya yang tertidur dengan posisi tengkurap. Ia masih belum menemukan alat komunikasi canggih itu meskipun tangannya sudah menyelusup dan menjelajah ke bawah bantal di samping bantal yang menyangga kepalanya.
Teeet, teeet, teeet!
Jiaaaah! Rex bangkit, hampir melompat, lalu duduk dengan kedua kaki terlipat ke belakang sambil menutup telinga. Jantungnya berdegup kencang. Saking kencangnya, Rex tidak bisa membedakan apakah bunyi notifikasi yang menggagetkannya muncul dari alarm atau panggilan telepon. Rex meraih ponsel yang bersembunyi di bawah bantalnya. Setelah Rex mencari ke mana-mana, ternyata si ponsel berada di bawah “pulau kapuk”.
Busyet nih HP bikin kuping gue budek, gerutu Rex dalam hati. Mata Rex membelalak melihat nama yang melakukan panggilan video di layar ponselnya. “O-M-G! My baby Em.”
Rex bergegas turun dari ranjang dan bergegas menuju walk-in closet di samping kamar mandi. “Kaca mana kaca?”
Tepat di depan cermin yang memiliki ukuran setinggi tubuhnya dan lebar 50 sentimeter, Rex menyugar rambut dan memantaskan diri sambil berpose ala model majalah pria.
“Udah keren, ‘kan?” tanya Rex pada bayangannya di cermin. “Oh, God, Em!” Rex menepuk dahi. Ia baru menyadari ponselnya ia tinggalkan di atas ranjang. Secepat kilat ia berusaha kembali ke sana. Namun, panggilan dari Emily telah berakhir. Rex mengembus napas frustrasi. Ia duduk di tepi ranjang sambil memegangi ponselnya. Menyesal lantaran bergaya terlalu lama di depan cermin, Rex hanya bisa memandangi layar ponselnya yang sudah menggelap dan hitam pekat.
Harus video call balik nih, batin Rex.
Rex: “Sorry, Em. Tadi aku di kamar mandi.”
Emily: “Asyik, kamu sudah mandi. Aku mau minta tolong sama kamu, Rex? Mobilku mogok dan aku ada kelas jam 08.00. Aku sudah pesan taksi online, tapi—“
Rex: “Aku jemput kamu ya. Aku juga ada janji sama Jon dan Bosi jam 08.00 di kampus.”
Emily: “Thanks ya, Rex. Aku tunggu.”
Berbohong sedikit tidak masalah. Yang penting, ia sudah melihat wajah Emily yang imut dan menggemaskan. Rex meyakinkan dirinya sendiri bahwa hal itu sangat wajar dilakukan saat masa pendekatan. Senyuman bangga terukir di wajahnya yang “bule” banget. Meskipun kenyataannya ia belum mandi dan tidak ada janji dengan kedua sahabatnya, tetapi Rex harus secepatnya menjemput Emily demi suksesnya rencana PDKT-an dengan gadis itu. Maju terus, pantang kendor!
Rex melirik jam digital di atas nakas di samping ranjang. Matanya kembali membelalak melihat angka berwarna merah di sana. “Ah, sial! Sudah jam 07.20. Bisa telat kalau gue mandi dulu.”
Rex panik. Ia berlari kembali ke walk-in closet dan menarik sembarangan celana jeans serta kaus dari tumpukannya masing-masing. Mengabaikan warna dan model, ia segera mengenakan pakaian itu. Bodo amat dengan mandi. Yang penting wangi dan rapi. Siapa yang akan menyangka kalau Rex Koswara tidak mandi? No one.
Rex menyemprotkan parfum ke seluruh tubuh dan nyaris menghabiskan seluruh isinya. Dalam sekejap aroma woody yang maskulin memenuhi kamarnya. Rex setengah berlari menuruni anak tangga. Tiba di ruang makan, ia berpapasan dengan Andrew, papanya. Andrew menutupi hidung dan mulutnya dengan tangan.
“Bau si Ucil,” sindir Andrew dengan menyebutkan si Ucil, salah satu nama tuyul dalam sebuah serial komedi tahun 2000-an yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta tanah air.
“Sesama Koswara, jangan saling mengganggu,” Rex menyindir balik papanya.
Andrew menarik kursi makan lalu duduk sambil matanya terus memperhatikan Rex. “Tumben, pagi-pagi sudah wangi. Mau ketemu gebetan?”
“Iya, dong.” Rex mengambil kunci mobilnya dari atas meja kopi dekat jendela.
“Cieee,” ledek Andrew.
Rex cemberut lalu menyindir Andrew lagi. “Begini nih efek nge-jomblo kelamaan. Mending Papa cari pacar deh, biar enggak ngusilin anaknya terus.”
“Emang kamu mau punya ibu tiri?” Andrew menantang.
“Iya, eh, enggak. Tergantung siapa ceweknya sih. Rex udah telat, Pa. Rex pergi ya, Pa.” Rex berlari menuju garasi.
“Iya. Titi DJ!” Teriakan Andrew terdengar sampai ke ruang tamu dan Rex hanya tersenyum menanggapi kekhawatiran papanya. Hati-hati di jalan yang disingkat dengan Titi DJ, selalu terlontar dari mulut pria berusia 48 tahun itu saat melepas kepergian Rex.
Sejak mamanya meninggal empat tahun yang lalu, Rex hanya tinggal bersama Andrew. Selama itu Andrew selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan dan Rex. Papa Rex tersebut tidak pernah berniat, koreksi, belum berniat mencari pengganti mamanya Rex. Andrew sengaja membuat hubungan sefleksibel mungkin dengan anak tunggalnya sehingga tidak ada rasa canggung di antara mereka. Saling melemparkan keusilan dan ledekan dalam batas wajar sudah menjadi kebiasaan mereka untuk mencairkan suasana. Hidup terlalu berharga untuk disia-siakan menjadi sebuah zona keangkuhan.
○○○
Emily sudah menanti Rex di depan gerbang rumahnya. Gadis yang mengenakan setelan kaus ketat berwana kuning dan celana jeans biru itu tampak secerah matahari pagi di musim panas. Senyuman hangatnya menyambut kedatangan Rex. Beruntung, jarak rumah gadis itu tidak terlalu jauh dari rumah Rex sehingga Rex bisa dengan cepat mencapainya.
Hati Rex berbunga-bunga bisa jalan bareng dengan Emily. Meskipun ia sudah mengenal Emily sejak pertama kali memasuki kampus, Rex baru berani melakukan pendekatan pada gadis itu beberapa bulan terakhir ini.
Rex merasa gugup di sepanjang jalan. Perjalanan dari rumah Emily ke kampus itu seharusnya hanya sepuluh menit, tetapi Rex merasa mereka akan datang terlambat lantaran arus kendaraan yang lumayan padat merayap. Di tengah perasaan gugup yang melanda ditambah sedikit panik, kemarahan Emily saat bicara dengan temannya di telepon menjadi kombinasi yang pas untuk membuat Rex panas-dingin secara otomatis. Baru saja jalan bareng, suasananya langsung tidak kondusif.
Emily penutup panggilan teleponnya. Raut wajahnya berubah kecut, tapi tetep kece di hati Rex. Rex sesekali melirik Emily yang duduk di jok penumpang di sampingnya. Gadis itu tampak gelisah. Kebisuan Emily menggelitik Rex untuk mencari tahu.
“Em, kok kamu cemberut gitu sih? Ada masalah sama temen kamu?” selidik Rex.
“Enggak.”
“Tadi kamu marah-marah di telepon. Sorry ya, aku enggak bermaksud menguping tapi kedengeran.”
“Aku tuh marah banget sama Haris. Aku sebel banget sama cowok itu. Ih, sebeeel.” Emily meluapkan kekesalannya dengan mencubit lengan Rex gemas.
Rex mendesis menahan sakit. Demi harga dirinya yang setinggi Burj Khalifa, gedung tertinggi di dunia, Rex hanya diam menanti dengan sabar apa yang akan dikatakan Emily selanjutnya.
“Aku tuh sebel banget sama Haris. Dia selingkuh ....” Ucapan Emily yang terdengar oleh Rex hanya sampai kata selingkuh. Selanjutnya ia tidak berkonsentrasi untuk mendengarkannya.
Kata selingkuh yang diucapkan Emily membuat Rex nge-down. Harapan segede dinosaurusnya pada pendekatan ini akhirnya pupus. Emily sudah punya pacar, pikir Rex. Bodohnya dia, dia tidak pernah mau mencari tahu tentang hal itu.
“Masa si Haris itu selingkuh dari Kiran. Cowok tuh biarpun sudah punya istri baik, cantik, bisa ngurus anak, tetap aja kepengen selingkuh.” Emily masih terus mencerocos. Namun, kali ini Rex bisa menangkap maknanya dengan jelas.
“Si Haris tuh siapa?” tanya Rex hati-hati sambil memasang telinga agar tidak salah dengar dan salah persepsi.
“Tokoh cowok nyebelin dalam drama seri Layangan Sobek yang tayang di salah satu aplikasi video itu,” jelas Emily.
Hati Rex mengembang lega. Ternyata Haris itu bukan cowoknya Emily. Ia hanya tokoh fiktif dalam sebuah drama. “Oh, gitu ya?”
Dasar cewek, hobinya nonton drama termehek-mehek, pikir Rex.
“Aku tuh paling enggak suka melihat cowok yang selingkuh. Makanya, aku pilih-pilih banget buat cari pacar. Cowok yang enggak jujur dan suka bohong tidak akan pernah mendapat tempat di hatiku,” cetus Emily.
Rex menelan ludah dengan susah payah. Ia baru saja membohongi Emily soal mandi dan janji ketemuan dengan dua sobatnya. Pandangannya sengaja dilurus-luruskan ke depan dan berusaha keras bersikap biasa saja. Padahal, degup jantungnya hampir memecahkan gendang telinganya sendiri.
“Oh iya, Rex. Kamu masih menjalani hukuman dari Bu Santy itu di perpustakaan?” Emily mulai aktif bertanya.
Rex mengangguk. “Iya, masih. Baru tiga malam.”
“Apa ada yang nemenin kamu saat beres-beres di sana?”
“Ada.”
“Siapa?”
Siapa? Jujur enggak ya? Tapi Emi tidak suka cowok yang berbohong. Rex berpikir sejenak. Ia galau menanggapi pertanyaan Emily. Pasalnya, mulai dari semalam sampai sembilan hari ke depan nanti, yang menemaninya adalah seorang gadis yang enggak kalah kece dibanding Emily.
“Hari pertama dan kedua ditemenin Jon sama Bosi. Mulai semalam sampai nanti selesai, aku ditemenin keponakan Bu Lusi. Cewek. Anak fakultas Ekonomi.” Akhirnya Rex berkata jujur.
“Cewek? Keponakan Bu Lusi?” nada tanya Emily mengandung unsur syak yang cukup jelas. Tentu saja Rex menyadari hal itu, bahwa ia dicurigai sang calon pacar.
“Iya. Namun, aku tidak me—“
“Perasaan Bu Lusi enggak punya keponakan cewek deh, Rex,” potong Emily.
Dahi Rex berkerut. Ia menoleh pada Emily dengan pandangan heran. “Masa sih?”
“Bu Lusi kan tetanggaku, Rex. Kita tetanggaan udah lama banget. Dari aku kecil,” jelas Emily.
Denyut jantung Rex kembali berderap kencang. Tiba-tiba saja ia merinding mengingat gadis yang semalam bersamanya di perpustakaan.