3. The Girl in Red

1161 Words
Siapa tuh cewek? Rex bertanya dalam hati. Detak jantungnya berdentam hebat nyaris menulikan telinganya sendiri, sementara pandangannya masih terpatri pada gadis yang duduk memunggunginya. Atmosfer di ruang perpustakaan tiba-tiba menjadi sedingin kutub selatan meskipun AC di ruangan itu tidak dihidupkan. Tubuh atletis Rex hampir membeku karena kedinginan. Cewek beneran atau bukan ya? Sekali lagi Rex hanya bisa bertanya pada dirinya sendiri. Tubuhnya mulai gemetaran. Namun, ia segera menepis rasa takutnya. Bisa habis-habisan di-bully orang sekampus kalau body seseksi body Andrew Garfield-nya yang sedang gemetaran tertangkap kamera CCTV perpustakaan dan menjadi viral di media sosial. Imejnya sebagai cowok ganteng ter-damage sekampus bakalan ambyar. Don’t be panic, Rex! Just inhale, exhale. Rex menarik dan mengeluarkan napas perlahan beberapa kali seperti emak-emak yang sedang mengalami kontraksi hebat saat mau melahirkan. Well, terbukti usaha tersebut akhirnya berguna juga untuk Rex. Rasa takut tingkat dewa yang dirasakannya mulai berkurang setengahnya. Hanya setengah. Ia memberanikan diri mendekat, sok berani. Padahal, ia sudah mempersiapkan jurus langkah seribu seandainya gadis itu tidak seperti harapannya. “Neng, lagi ngapain di situ?” tanya Rex hati-hati. Selama beberapa detik Rex menunggu jawaban si gadis, tetapi si gadis masih diam. Rex memegang gagang alat pel lebih erat. Ia mempersiapkan diri untuk menghadapi hal terburuk. “Neng—“ ‘Iya,” potong si gadis. Suaranya yang terdengar begitu bening dan empuk membuat kuriositas Rex semakin menajam. Gadis itu lalu berbalik. Ia menatap Rex nyaris tak berkedip. Hidung mancung dan mata sipit yang berpadu dengan wajah tirusnya merupakan kombinasi yang “pas mantap” untuk menguapkan rasa takut Rex. Rasa hangat membanjiri tubuh Rex dalam sekejap. Ternyata orang. Rex mengembus napas lega. “Kamu keponakannya Bu Lus?” Gadis itu masih diam menatap Rex. Binar matanya yang seterang bintang di langit malam menembus iris kastanye milik Rex dan secara otomatis memicu reaksi canggung pria muda itu. Namun, bukan Rex namanya jika tidak bisa meng-handle hal sekecil itu dengan cepat. Rex memalingkan pandangannya ke gagang alat pel lalu memulai pekerjaannya untuk menutupi rasa gugup. “Gue kira keponakannya Bu Lus itu cowok,” gerutu Rex kemudian. Rex memutar tubuhnya membelakangi gadis itu. Ia berusaha secepat mungkin menyelesaikan tugasnya di bagian ruang baca yang terlihat sedikit horor tersebut dengan cekatan. Tiba-tiba embusan angin menerpa tubuh Rex dan menghantarkan hawa dingin yang membuat Rex merinding. “Ya, ampun!” Rex menepok dahinya. Pandangannya mengarah pada dua jendela besar yang terbuka di tengah-tengah dinding ruang baca. “Hobi amat sih Bu Lus ngebuka jendela sampai malam begini. Sudah tahu di luar sedang hujan.” Rex terus menggerutu sampai tiba di sisi jendela. Ia menutupnya satu per satu. “Aman.” Just wait a minute! Mata Rex membelalak menatap bayangan di kaca jendela. Ia hanya menemukan bayangannya sendiri. Jantungnya kembali berderap seperti langkah kuda di arena pacu. “Cewek yang tadi ke mana?” Rex menoleh ke kanan dan ke kiri. Bibirnya membentuk huruf O ketika napasnya secara mendadak tersekat di tenggorokan dan menahan aliran oksigen ke paru-parunya. Sedikit gemetaran, Rex berbalik. Matanya memindai seluruh ruang baca. Namun, gadis itu tidak ada. Ia menghilang. Kreeek! Rex mendengar suara derit pintu. Ia beringsut ke rak buku di samping meja baca kemudian mengintip dari celah buku di deretan paling atas. Gadis berblus merah berjalan keluar dari ruang perpustakaan. Pertanyaan muncul dalam benaknya tapi ia merasa lega mendapati gadis itu ada. “Bikin jantungan aja sih tuh cewek.” Rex kembali menggerutu. Rex kemudian melanjutkan pekerjaannya. Tidak ada gunanya merasa takut lagi. Ia berusaha berpikir rasional bahwa hantu itu tidak ada. Ketakutannyalah yang menciptakan sosok hantu. Selama ini ia hanya dihantui oleh perasaannya sendiri. i***t. Tiga puluh menit menjalani eksekusi hukumannya terasa seperti berjam-jam. Tiga malam berturut-turut menjadi “upik abu” di perpustakaan sangat menyiksa Rex. Banyak kegiatan lain yang Rex abaikan lantaran hal tersebut, termasuk pendekatannya dengan Emily. Rex menarik salah satu dari dua kursi plastik dari depan meja Lusi. Ia meletakkan kedua siku di atas meja dan menopang dagu. Sebelum pulang, ia ingin melepas lelah sejenak sambil memikirkan bagaimana cara mendapatkan hati Emily, pujaan hatinya. Ia tahu Emily sudah memberikan lampu hijau, tetapi gadis itu masih saja shy shy cat alias malu-malu kucing. “Sudah selesai?” Suara bening dan jernih yang menyapa telinga Rex hampir membuat Rex melompat dari kursi. Rex memutar posisi duduknya menghadap gadis itu dan menatapnya sedikit geram. “Bisa enggak sih kamu enggak ngagetin aku? Bikin jantungan aja.” “Kamu aja yang parno. Aku kan cuma nanya,” tutur si gadis. Rex mendesah. Ia terlalu paranoid selama beberapa hari terakhir. Mungkin ia terlalu frustrasi karena untuk keduakalinya ia akan mendapat nilai E untuk mata kuliah Profesor Thomas, pikir Rex dalam hati. Tanpa Rex sadari pandangan Rex menjelajahi wajah dan seluruh penampilan gadis itu. Rex menyatukan kedua alisnya sehingga matanya tampak menyipit. Rambut hitam lurus gadis itu tergerai melewati bahu dan mencapai perut. Bibir tipisnya berwarna merah muda dan pipinya tampak seputih kapas. Over all, wajah orientalnya menunjukkan kecantikan alami yang akan membuat cenat cenut hati setiap pria yang melihatnya. Pikiran Rex mulai travelling ke film-film kolosal Cina dan Korea. Imajinasi Rex tertuju pada putri-putri raja dalam film-film tersebut. Kece juga. Ups! Rex memperingatkan dirinya sendiri. Emily sudah memenuhi hatinya. Untuk yang lain, maaf, sudah tidak kebagian tempat. “Kamu anak Garuda Merdeka juga?” tanya Rex basa-basi. Gadis itu mengangguk mengiakan. “ Fakultas apa? Kalau fakultas hukum, perasaan aku belum pernah—“ “Fakultas ekonomi,” potong gadis itu. Rex mengangguk-angguk. “Oh, pantas saja aku belum pernah lihat kamu.” “Tapi, aku sering lihat kamu,” cetus gadis itu. Rex mengangkat alisnya tidak percaya. Namun, raut wajahnya bersinar bangga. Rex, gitu lho. Siapa yang tidak mengenalnya? Siapa yang tidak mengakui kegantengan hakikinya? “Kok, bisa? Padahal, kita tidak—“ “Gedung fakultas hukum dan fakultas ekonomi kan bersebelahan,” potong gadis itu lagi, “lagi pula, siapa yang tidak tahu Rex Koswara, satu-satunya mahasiswa di Universitas Garuda Merdeka yang sudah membuat sang guru besar cidera. Patah tulang.” Hmm. Pundak Rex melorot. Jadi, cuma karena kasus itu ia mendadak famous di Garuda Merdeka? Memalukan. Menghempas rasa kecewa, Rex segera mengenakan tas ranselnya. Sudah bikin jantungan, bikin gue malu juga, gerutu Rex dalam hati. “Tugasku malam ini sudah selesai. Aku mau pulang. Kamu mau pulang sekarang atau nanti?” “Sekarang. Ya, sudah. Aku pulang duluan ya.” “Iya.” Rex bangkit dari duduknya lalu meraih kunci perpustakaan yang sengaja ia letakkan di meja Lusi saat ia baru masuk tadi. “Hei, nama kamu ....” Rex menggantung pertanyaannya ketika ia menoleh ke arah si gadis dan tidak mendapatinya di sana. “Oh, hell! Cepet banget dia pergi,” gumam Rex. Meskipun muncul beberapa pertanyaan di otak Rex seperti: bagaimana gadis itu tiba-tiba muncul di ruang baca dan kepergiannya yang secepat super hero DC Comics, The Flash, tetapi semua itu dibantah oleh pemikiran rasionalnya. There are no ghosts, no aliens, and no super heroes. Semua itu hanya ada dalam kisah-kisah fiksi. Di dunia nyata, semua itu nonsense.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD