“Tapi, bisa jadi tuh cewek keponakan suaminya Bu Lusi. Kalau keponakan Bu Lusi, aku tahu semua.” Emily meralat pengumumannya yang sempat membuat Rex merinding disko.
Rex mengembus napas lega. Ia bersyukur dalam hati lantaran kemungkinan gadis itu manusia beneran, memang betul.
“Dia cakep enggak, Rex?” imbuh Emily.
Rex mendadak sesak napas mendengar pertanyaan Emily. Mode cool-nya otomatis berubah menjadi mode “salting”.
“Mm, cakep sih.” Ups, Rex keceplosan. “Tapi masih cakepan kamu, Em,” koreksi Rex kemudian.
Semburat merah tampak di pipi Emily. Matanya berbinar-binar melirik Rex. Ia meremas tangannya sendiri di atas pangkuan.
Rex mengintip reaksi Emily dengan meliriknya diam-diam. Perut berototnya tergelitik oleh sensasi kupu-kupu yang beterbangan ketika melihat rona merah di wajah gadis itu. Rayuan gombal yang tidak disengajanya tepat sasaran.
“Em, malam minggu nanti kamu ada acara enggak?” Mumpung Emily masih menunjukkan reaksi positif, Rex segera mengajukan proposal untuk nge-date.
Rona kemerahan di wajah Emily tiba-tiba memudar. Rex melirik Emily sekali lagi. Harapannya sedikit menipis mendapati wajah gadis itu berubah menjadi sedikit muram.
“Malam minggu nanti aku ada acara, Rex. Aku harus menemani Mama ke pesta pertunangan anak sahabatnya Mama, tapi aku bebas di Minggu siang,” tutur Emily.
Respons Emily sedikit mengecewakan Rex, tapi Rex senang gadis itu memberinya opsi. It’s okay. It is not a big deal seandainya ia harus nge-date di Minggu siang dengan Emily.
“Kita nonton yuk!” ajak Rex tanpa basa-basi.
“Oke. Tapi, jangan film horor ya. Aku takut,” sambut Emily membuat hati Rex mengembang bahagia.
“Kenapa harus takut, Em? Kan kamu bisa pegangan sama aku.” Bibir Rex langsung mengatup rapat menyesali celetukkannya yang terkesan seperti gombalan bocah SMA yang enggak lucu sama sekali.
“Kamu ini, Rex.” Emily mecubit pelan lengan Rex. “Aku enggak bisa pegangan kalau lagi nonton film horor.”
“Kalau begitu, peluk aku aja. Gimana?” Ups, lagi-lagi Rex asal bicara. Ia jadi salah tingkah.
Beruntung, laju mobil sudah mencapai pelataran parkir kampus. Rex selamat dari absurd attack. Sebelum mereka turun dari coupe merah Rex, Rex mencoba memastikan jadwal nonton mereka pada Emily.
“Em, hari Minggu nanti—“
“Pokoknya hari Minggu nanti, jam 10.00 pagi, kamu jemput aku ya,” potong Emily, “aku sudah telat. Bye, Rex. Thanks sudah nganterin aku.” Emily bergegas turun lalu berlari memasuki beranda kampus yang sudah dipenuhi mahasiswa yang berseliweran.
Rex memandangi punggung Emily dan rambut hitamnya yang bergoyang ke kanan dan ke kiri yang seiring dengan langkah kakinya.
“Yes!” Rex menarik sikunya yang ditekuk ke samping tubuh. Hatinya penuh bunga, dari bunga mawar, melati, kamboja, sampai bunga bangkai pun turut meramaikan hati Rex saat itu. Dengan bangga dan percaya diri, Rex berjalan menuju kantin karena memang ia tidak ada kelas pagi itu. Jam kuliahnya baru akan dimulai jam 10.00 nanti.
Ibu kantin dan asistennya baru saja selesai beres-beres meja ketika Rex datang dan duduk di salah satu kursi yang biasa dijadikan tongkrongan Rex dan kedua sobatnya. Rex meletakkan tas ranselnya di atas meja lalu mengeluarkan ponsel dari dalamnya. Ia kemudian menghubungi Jon dan Bosi, meminta mereka datang lebih cepat, dan menemaninya.
“Abang Ganteng, tumben pagi-pagi sudah nongkrong di mari,” sapa Tuti dengan dialek betawinya yang kental dari balik etalase makanan.
“Nunggu si Jon sama si Bosi, Bu Tut. Lagi enggak ada kelas juga.” Rex menanggapi ucapan Tuti sambil bermain game di ponselnya.
“Kalau enggak ada kelas, datangnya pagi-pagi banget. Kalau ada kelas, kesiangan,” sindir Tuti.
Rex melirik Tuti sambil mencebik. Sok tahu.
Beberapa saat kemudian, Tuti menghampiri Rex dengan semangkuk makanan khas kantinnya yang masih panas. Ia meletakkan mangkuk itu di atas meja. Aroma rempah yang tercium oleh Rex membuat cacing-cacing dalam perutnya berdemo. Rex menelan ludah. Lapar.
“Apa ini, Bu Tut?” tanya Rex heran.
“Ini endorse. Spesial buat Agan alias Abang Ganteng.”
Jawaban Tuti semakin membuat Rex terheran-heran tapi juga ingin tertawa. Sambil menahan tawa yang nyaris meledak, Rex akhirnya mencari penjelasan. “Endorse buat apaan?”
“Buat mukbang, Bang,” sambar Wanti, asisten Tuti yang datang dengan segelas teh hangat. Ia lalu meletakkan gelas itu di samping mangkuk.
Rex mengangkat kedua alisnya tidak percaya. “Mukbang gimana sih? Saya harus makan ini sambil siarang langsung gitu, Mbak Wan?” Rex menunjuk ke mangkuk.
“Iyes. That’s right, Bang Rex yang guantenge puoool,” jawab Wanti dengan logat jawanya yang khas.
“Betul, Rex. Elu cukup siaran langsung di medsos sambil makan dan promosi-in soto betawi versi baru ini. Soto ini gretong buat elu. Akhir-akhir ini, banyak mahasiswa di sini pada sering makan dan nongkrong di restoran burger di depan kampur sana. Kantin jadi rada sepi,” keluh Tuti.
“Oh, ini soto betawi.” Rex menepuk dahinya lantaran baru menyadari makanan yang tersaji di atas meja itu adalah salah satu makanan favoritnya. Ia lalu mengalihkan pandangannya memperhatikan soto tersebut. “Pantes kayak pernah kenal gitu. Sekarang tampilannya beda, banyak temennya. Ada emping, tomat, daun-daunan, dan bawang-bawangan.”
Tuti tertawa menanggapi ucapan yang terlontar dari mulut mahasiswa semester empat yang dikenal sebagai mahasiswa paling populer itu. “Bisa aja lu, Rex. Ngomong-ngomong, lu kenalan di mana sama si soto sampe bisa ngomong ‘kayak pernah kenal gitu’?”
“Ya, di mari, Bu Tut. Aye kan fans berat soto betawi kantin ini.” Kali ini Rex bicara seperti Tuti menggunakan dialek betawi. “Oke deh, Bu Tut, Abang ganteng mau mukbang dulu. Semoga setelah ini, kantin bisa kembali ramai.”
“Amin.” Tuti dan Wanti mengamini ucapan Rex.
Sambil menunggu kedua sahabatnya yang mungkin masih berada di zona mager dan rebahan, Rex melakukan siarang langsung sambil makan soto betawi di akun media sosialnya. Dalam hitungan menit setelah siarang langsung itu berakhir, kantin mulai ramai oleh para mahasiswa yang datang dengan tujuan berbeda-beda. Ada yang sengaja ke kantin hanya untuk melihat Rex Koswara dari dekat, ada yang sekadar singgah sebentar untuk mengisi waktu menunggu pergantian kelas, ada yang ingin mencicipi rasa soto betawi versi baru, dan lainnya lagi. Terlepas dari semua itu, Rex berhasil dengan usahanya meramaikan kantin.
○○○
Setelah nongkrong bersama Jon dan Bosi di warung burjo ‘bubur kacang ijo’ seusai jam kuliah mereka, Rex kembali melaksanakan tugasnya menjadi petugas clening service di perpustakaan. Seperti malam sebelumnya, Rex mengambil kunci perpustakaan di pos satpam. Malam ini ia tidak lagi se-paranoid malam kemarin. Ia berhasil mengenyahkan seluruh rasa takut yang menyelimuti dirinya.
Berjalan santai dan tidak takut akan gelap, Rex berhasil mencapai perpustakaan dengan hati tenang. Namun, selalu ada saja yang membuat malamnya diisi oleh ketegangan. Ketika ia memutar kunci untuk membuka pintu, tiba-tiba gadis berblus merah sudah ada di sampingnya. Rex hampir melompat karena kaget. Meskipun suasana di sana gelap, tapi cahaya bulan masih menrangi dan membuat mata Rex yang masih normal bisa melihat keberadaan gadis itu.
“Ya, Lord! kamu ngagetin aku aja sih,” omel Rex sambil menatap kesal ke arah gadis itu.
“Masa kamu tidak mendengar langkahku? Budek ya? Makanya kalau sedang mengerjakan sesuatu, jangan melamun,” protes gadis itu.
Rex memilih diam mengalah daripada menanggapi seorang gadis yang sedang marah. Ia segera membuka pintu lalu menyalakan lampu. Selama beberapa saat Rex berdiri mematung di samping pintu. Ia mengamati pakaian gadis yang masuk ke perpustakaan bersamanya.
Kayaknya nih cewek enggak punya baju lain, batin Rex. Namun, masa bodoh dengan pakaian gadis itu. Ia hanya perlu menyelesaikan tugasnya, menyapu, mengepel lantai, mengelap rak-rak buku, dan selesai sudah, pikirnya.
“Aku titip tasku ya,” tutur Rex sambil meletakkan tasnya di atas meja Lusi lantaran ia malas menyimpan tas di loker yang berada di sudut depan ruangan. “aku harus segera membersihkan ruangan ini.”
Si gadis menatap Rex dari tempat duduknya di balik meja Lusi. Tatapan gelapnya menembus iris cokelat Rex dan menstimulasi getaran-getaran aneh dalam diri Rex yang membuat Rex sedikit merinding. Hanya sesaat setelah rasa takut mulai merayap ke punggungnya, Rex kembali disuguhi wajah cantik dan senyuman manis gadis itu.
“Silakan,” ucap si gadis dengan lembut.
“Terima kasih.”
Rex segera menuju ke ruang perlengkapan untuk mengambil sapu dan peralatan pel. Ia kembali ke bagian depan perpustakaan dengan peralatan itu. Tanpa banyak kata, ia segera mengerjakan tugasnya. Selama lebih dari satu jam, Rex dan gadis itu hanya saling diam. Rex sibuk dengan pekerjaannya dan si gadis sibuk dengan buku bacaannya.
Lantai sudah licin dan bersih saat Rex harus menyelesaikan bagian akhir tugasnya: memeriksa kondisi tiga puluh loker yang berada di depan deretan rak, di sudut depan ruangan, dan membersihkan lima belas meja study carrel di ruang baca. Sambil mengelap meja, diam-diam Rex memperhatikan judul buku yang sedang dibaca dan dibentangkan di atas meja oleh gadis itu “Sherlock Holmes: Melacak Sang Pembunuh Misterius” karya Sir Arthur Conan Doyle.
Rex pikir di perpustakaan Fakultas Hukum ini tidak menyediakan bacaan n****+ seperti itu. Selama ia membersihkan ruangan yang luasnya mencapai 10 meter persegi tersebut, ia belum pernah menemukan n****+ fiksi sejenis. Namun, Rex berpikir ulang. Diantara sekian banyak buku, kemungkinan itu ada. Mungkin ia yang tidak tahu. Toh, selama ini kan Rex paling malas ke perpustakaan.
Tiba-tiba si gadis menutup bukunya dengan kencang hingga terdengar bunyi “dug” dan membuat Rex terperanjat. Jantung Rex hampir melompat keluar melihat reaksi dadakan si gadis yang seakan mengetahui aktivitasnya. Apalagi ketika gadis itu berdiri dan berjalan ke arahnya, Rex rasanya ingin mengambil langkah seribu sesegera mungkin.
Tidak. Rex bertahan di tempatnya beraktivitas. Ia tetap melanjutkan kegiatannya mengelap meja dan berpura-pura kuat, meskipun jantungnya berdegup lebih kencang. Ia tidak takut pada hantu. Yang ia takutkan adalah orang yang berkelakuan seperti hantu.