1. Pengacau
Hari ini harus sukses. Rex memarkirkan coupe merahnya sembarangan di pelataran parkir kampus. Kapten tim basket Universitas Garuda Merdeka itu berusaha secepat mungkin untuk tiba di kelasnya. Di semester ini, cukup dua kali saja ia tidak mengikuti kuliah Profesor Thomas lantaran datang terlambat. Ia tidak mau ada yang ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya.
Tidak memedulikan sekitarnya, mahasiswa yang memiliki darah Sunda, darah Amerika, darah Cina, dan tentunya darah muda itu terus berlari menerobos kerumunan mahasiswa lain di lobi. Suara sepatu sneaker-nya yang beradu dengan lantai memenuhi koridor yang menjadi penghubung antar kelas.
Rex berusaha mengatur napas yang terengah-engah setelah tiba di depan kelasnya. Rambut cokelatnya yang terbebas dari efek pomade dan lebih panjang dari seharusnya tampak sedikit messy. Meskipun begitu, rambut berantakan Rex tidak mengurangi daya tarik Rex. Ia mengangkat kerah jaket denim yang melapisi kaus hitam yang dikenakannya, kemudian membetulkan posisi kaitan backpack di bahunya yang lebar.
Rex membuka pintu dengan perasaan was-was menyelimuti. Namun, akhirnya ia mengembus napas lega ketika pandangannya tidak menemukan Profesor Thomas di balik mejanya. Ia berjalan masuk dengan percaya diri. Bahkan ketika seluruh mata tertuju padanya, ia sengaja memperlambat langkah agar tampak lebih estetis. Bukan hal aneh jika ia selalu menjadi pusat perhatian. Rex gitu lho.
“Koswara!” Seruan suara berat bernada geram membuat Rex hampir melompat karena kaget.
Rex mendesah kesal. Ia paling tidak suka dipanggil dengan nama belakangnya. Menurutnya nama itu terlalu mencerminkan asal-usulnya, kurang populer, dan tidak modern. Dengan kata lain, nama itu kam-pu-ngan. Ia memalingkan pandangan ke arah sumber suara dan mendapati Profesor Thomas sudah berdiri sambil bersedekap di deretan kursi mahasiswa paling belakang. Tatapan tajam dari balik kaca mata bulat yang melorot hingga ke ujung hidungnya menciutkan, menghajar, dan membabat habis kepercayaan diri Rex. Bodoh, Rex sempat berpikir kegantengannya yang hakiki menjadi alasan teman-temannya memperhatikannya tadi. Ternyata bukan.
“Ma-maaf, saya datang terlambat, Prof,” tutur Rex sedikit gugup.
Profesor Thomas melirik arloji di tangan kirinya. “Kamu terlambat 3 menit, Kos.”
“Rex Koswara, Prof,” ralat Rex.
“Sama saja. Kali ini saya izinkan kamu mengikuti kelas saya, meskipun kamu telat.”
“Baik. Terima kasih, Prof.”
“Bagaimana mau menjadi ahli hukum yang benar kalau mahasiswanya saja tidak taat hukum dan aturan ....” ceramah Profesor Thomas menguap di telinga Rex.
Rex tidak peduli profesor itu mau bilang apa. Hati Rex berbunga bangga karena bisa mengikuti kelasnya. Wajah Rex tampak semringah saat ia duduk di kursi favorit di antara kursi kedua teman seperjuangannya. Seperjuangan mencari cinta sejati.
Jono Hartono alias Jon Hart yang duduk di sisi kanan Rex menyambut Rex dengan salam khas mereka—beradu tinju, begitupun dengan Bonar Sinaga alias Bosi yang duduk di sisi kirinya. Ketiga makhluk paling seksi di kampus Garuda sudah lengkap dan siap menebar pesona di kelas dan ke seantero kampus. Koreksi, bukan menebar pesona tapi menebar bencana seperti pagi itu.
“Tumben lu enggak telat banyak, Rex. Berapa puluh alarm lu pasang supaya elu bisa bangun pagi?” canda Jon dengan aksen Jawanya yang kental.
“Bukan alarm yang ngebangunin si Rex, tapi panggilan alam. Mules, Jon,” sambar Bosi sambil menahan tawa.
Rex tertawa tanpa suara. Ia mengubah posisi duduk lebih menyerong ke arah Jon, lalu meluruskan kaki kanannya hingga sedikit menghalangi jalan. “Gila lu berdua. Gue—“
Gedebuk!
Belum selesai Rex merespons candaan kedua temannya, tubuh subur Profesor Thomas ambruk tertelungkup tepat di samping kursinya. Mata Rex otomatis melotot dan mulutnya sedikit terbuka saking terkejutnya.
“KOSWARAAA!!!” Teriakan Profesor Thomas bergema memenuhi ruangan. Ia kemudian berguling sambil meringis dan memegangi lengan kirinya. Tubuhnya yang kelewat bohay membuat profesor paruh baya itu kesulitan untuk berdiri.
“Profesor jatuh?” pertanyaan konyol terlontar begitu saja dari mulut Rex.
“Tidak. Saya sedang main drama jadi mermaid.” Profesor Thomas memeloti Rex. “Sudah tahu saya jatuh, masih nanya lagi,” lanjutnya dengan nada super geram.
Mermaid apaan? Paus terdampar kali, ah. Rex tertawa dalam hati. “Maaf, Prof. Saya tidak sengaja.”
Rex, Jon, dan dua mahasiswa lain dengan cekatan membantu Profesor Thomas untuk kembali berdiri. Meskipun begitu, Profesor Thomas masih geram pada Rex.
“Jangan banyak alasan kamu, Kos! Saya akan laporkan perbuatan kamu ini ke dekan.” potong Profesor Thomas masih memegang tangan kirinya.
“Sumpah, Prof. Saya tidak sengaja.”
Profesor Thomas memalingkan muka. Ia lalu melihat ke arah Jon. “Tolong panggil ambulan.”
Jon melongo beberapa saat sebelum bertanya. “Untuk apa, Prof?”
“Ya, membawa saya ke rumah sakit. Nih, tangan saya sakit banget. Pasti patah.” Profesor Thomas menunjuk tangannya dengan pandangan.
“Lebay,” celetuk Rex. Ups.
“Apa kamu bilang?” tegur Profesor Thomas.
Rex menggelengkan kepala dan mengelak. “Tidak ada, Prof.”
“Prof, mending bonceng motor saya saja. Bisa lebih cepat sampai ke rumah sakit,” usul Bosi asal-asalan.
“Ide bagus. Ayo, kita berangkat!”
Bosi mengembus napas penuh sesal. Ia pikir seorang Profesor Thomas yang perfeksionis tidak akan pernah mau menghirup debu jalanan dengan naik motor. Bosi melirik Rex.
Gerakan bibir Rex yang tanpa suara mengatakan, “Rasain lu!”
Apes. Niat untuk memperbaiki nilai harus tergerus oleh peristiwa tak terduga. Kali ini Rex dijamin tidak lulus mata kuliah Hukum Acara Pidana dan harinya sangat jauh dari kata sukses.
Ucapan Profesor Thomas ternyata bukan isapan jempol semata. Dua hari kemudian Rex harus berhadapan dengan dosen PA—Penasehat Akademik—dan dekan. Andrew Koswara, papa Rex harus memundurkan beberapa jadwal meeting-nya yang padat merayap untuk membereskan masalah yang tengah dihadapi Rex.
“Kamu harus membersihkan dan membereskan buku-buku di perpustakaan selama dua minggu, Rex. Itu hukuman buat kamu,” tutur Santy, dekan sekaligus tantenya Rex, saat Rex dan papanya dipanggil ke ruangan Santy.
Rex menyatukan alis tebalnya. “Apa?!”
“Mau tidak? Kalau tidak mau, saya ganti yang lain. Kamu harus membersihkan seluruh ruang kelas fakultas Hukum selama dua minggu.” Santy memberi pilihan yang sama sekali bukan merupakan pilihan.
Ini sih namanya kerja rodi, bukan hukuman. “Sekalian saja ditambah dengan menguras kolam renang di belakang pakai sendok,” gerutu Rex.
“Kamu mau hukuman kamu ditambah dengan itu?” sergah Santy.
Rex menggelengkan kepalanya. “Enggak.”
“Nurut saja Rex daripada tantemu semakin murka,” saran papanya.
Rex cemberut papanya tidak membelanya. Ia justru mendukung hukuman yang diberikan Santy. “Tapi kan Rex tidak sengaja, Pa.”
“Belajar tanggung jawab. Kamu kan sudah 21 tahun,” timpal Andrew.
Rex mengangguk pasrah. “Ya sudah, terserah Bu Santy deh.”
“Nah, gitu dong. Bersihkan dan bereskan perpustakaan selama dua minggu.” Santy kembali menegaskan.
“Kapan Rex harus mulai, Tante. Eh, Bu Santy?”
“Malam ini. Setelah jam perkuliahan selesai.”
“Oke, siapa takut.”
Mau tidak mau, Rex harus mau menerima hukuman itu. Daripada harus menguras kolam renang pakai sendok seperti Tora Sudiro di Tiga Dara 2, ia lebih memilih membersihkan perpustakaan.
Tepat jam 21.00 setelah jam kuliah reguler dan ekstensi usai, Rex dengan semangat 45 kembali lagi ke kampusnya. Tugas negara yang diembannya kali ini cukup berat mengingat reputasi Rex sebagai mahasiswa paling populer. Sekarang, ia harus menjadi cleaning service di perpustakaan. Ia yakin sebentar lagi profesi barunya akan viral di dunia maya, dunia nyata, dan dunia gaib. Ralat, dunia yang terakhir tidak termasuk.
“Selamat malam.” Rex melongok ke ruang perpustakaan yang sudah sepi meski lampu-lampu di sana belum dipadamkan.
Rex memberanikan diri masuk. Ia tidak menemukan siapa pun. Beberapa buku tampak berantakan di atas meja Lusi, penjaga perpustakaan, yang berada tepat di samping pintu. Seharusnya Lusi masih ada di sana karena buku-buku itu masih belum disimpan ke tempatnya. Rex menduga-duga dalam hati.
“Bu Lus.” Rex memanggil Lusi.
Beberapa saat menunggu jawaban, Rex hanya mendapati kekosongan di sana. Ia berjalan melintasi deretan rak buku yang rata-rata memiliki panjang empat meter dan tinggi dua meter dengan maksud mencari Lusi. Suasana begitu sunyi hingga Rex bisa mendengar suara langkahnya sendiri dengan jelas.
“Bu Lus.” Rex memanggil sekali lagi. “Bu saya mau bersih-bersih di sini. Bu Lusi di mana sih? Saya kepengen cepet pulang nih,” imbuh Rex mengumumkan maksud kedatangannya.
Rex melirik smartwatch bermerek apel tergigit di tangan kirinya. Sudah beberapa menit terbuang hanya untuk mencari Lusi. Rex berdecak kesal. Ia melangkah lebih jauh ke ruang baca di belakang deretan rak buku.
“Ke mana sih nih orang? Enggak tahu apa jadwal gue padat malam ini. Si Kuya belum dikasih makan, tugas Hukum Ekonomi belum sebiji pun gue kerjain, belum nelepon si Emi kesayangan gue. Ampun deh,” gerutu Rex.
Langkah Rex terhenti saat hawa dingin tiba-tiba menerjang dan menyelimuti dirinya. Ia tertegum sambil mengusap-usap lengan kirinya. Setumpuk kisah horor tentang kampus seketika melintas di benaknya dan membuat Rex bergidik ngeri. Namun, semua itu terbantahkan ketika tatapan Rex menemukan dua jendela di ruang baca yang masih terbuka lebar.
Pantas dingin. Rex berjalan ke arah jendela. Sebelum menutupnya, ia melihat-lihat keluar. Suasana di belakang perpustakaan tampak seperti arena uji nyali. Cahaya minim yang didapat dari lampu ber-watt kecil membuat Gedung kosong bekas laboratorium terlihat sedikit creepy. Pihak kampus membiarkannya tidak terawat, padahal gedung itu masih bisa direnovasi dan dimanfaatkan, pikir Rex.
Rex segera menutup jendela satu per satu saat angin yang berembus dibarengi gerimis kecil menerpa kaca jendela. Ia berbalik hendak kembali ke meja Lusi di depan, namun ekor matanya menangkap seseorang di sudut ruang baca. Rex pun mengurungkan niatnya dan melangkah ke sana.
“Bu Lus ternyata di sana,” cetus Rex pelan.
Sekali lagi langkah Rex harus terinterupsi ketika ia mendengar seseorang memanggilnya dari arah lain.
“Rex!”
Rex mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Ia terperangah menatap sosok yang memanggilnya. “Bu Lusi?”
“Saya pikir kamu tidak akan datang ke sini,” ucap Lusi dari depan mejanya.
Rex mengerjap-ngerjapkan mata cokelat keemasannya. Ia lalu melihat kembali ke sudut ruang baca. Ia kaget bukan kepalang ketika tidak menemukan siapa pun di sana.
Orang tadi siapa?