(B)ART 9 – Penerimaan

1145 Words
Syahla diantarakan menuju sebuah rumah besar yang terlihat begitu megah. Syahla benar-benar tidak mengira kalau Jakarta yang menurut teman-temannya sangatlah keras ternyata masih menyisakan orang-orang baik.untuk dirinya.   Syahla menunggu di luar rumah besar karena Satpam tersebut sudah masuk ke dalam sebuah rumah besar terlebih dahulu.   "Aduh, panas-e." gumam Syahla sambil mengipasi lehernya dengan menggunakan tangannya.   Syahla belum bisa menyesuaikan keadaan di kampungnya dan di kampungnya. Di Jakarta terasa sangat panas mendurut dirinya yang biasa tinggal di daerah pegunungan.   "Ngapain lo di situ?" seru seseorang.   Syahla menoleh ke asal suara.   Syahla pun bangun dari duduknya. Namun, seketika matanya membelalakkan matanya. Laki-laki itu adalah laki-laki yang dia teriaki tadi di pos satpam karena berkelakukan tidak sopan kepada satpam yang sedang mengantar dirinya.   "Kok Mas-e dari dalam?" tanya syahla bingung.   "Lo nggak liat ada tulisan pengemis dilarang masuk?" tanya Marko dengan sadis.   "Eh, Nyong bukan pengemis ya. Mas-e jangan nuduh sembarangan. Cantik-cantik gini kok dibilang pengemis. Matanya bermasalh nih." kata Syahla sambil merapikan rambutnya.   "Ck, nggak guna." jawab Marco yang langsung menrut pagar dan langsung masuk ke dalam rumahnya lagi.   Syahlapun mengerucutkan bibirnya dengan kesal.   Eh? -pekik Syahla seketika.   Syahla merasa ada yang aneh. Dia pun mencoba memikirkan apa yang terjdai dan otak warasnya mengatakan kalau laki-laki tadi sepertinya anak dari pemilik rumah ini.   "Ah, ngerti kaya kue. Nyong ngomonge sing bener. (Ah, tau begitu. Aku akan ngomong yang benar)." kata Syahla yang merutuki dirinya ternyata sudah memarahi dan mengibarkan bendera perang dengan anak dari calon majikannya.   Syahla rasanya ingin pergi saat itu juga namun egonya berkata kalau dirinya harus berada di sana, sebab di luar sana, ntah siapa yang akan menolongnya lagi. Pertemuan diirnya dengan Satpam tersebut adalah rezeki dan mungkin saja petunjuk dari Yang Mahakuasa untuk dirinya sehingga dirinya pun merasa kalau dia harus bertahan.   Tak lama kemudian Pak Satpam yang mengajak Syahla ke rumah tersebut pun langsung keluar dari gerbang.   “Ini, Nyonya. Anak yang ingin melamar jadi pembantu.” Kata Pak Satpam tersebut.   Seketika orang yang dipanggil Nyonya tersebut terkejut saat melihat wajah Syahla. Ntah bagaimana caranya dia seperti melihat orang yang sangat beliau kenal dalam wajah itu.   Syahla tersenyum lalu menyodorkan tangannya ke arah Calon Nyonya-nya, “Ibune …” katanya menyapa duluan.   Namun, tangan itu terus mengambang di udara, tidak ada sambutan karena Nyonya tersebut masih sibuk mengamati wajah Syahla. Syahla bahkan sampai bingung kepada Nyonyanya tersebut.   Syahla yang mulai bingung langsug menoleh kepad Pak Satpam.   Pak Satpam itu mengisyaratkan Syahla untuk tdak mengajak salaman karena mereka berbeda kelas. Syahla yang tidak mengerti isyaratkan tangan Satpam tersebut hampir salah tanggap. Namun, Pak Satpam itu membuat huruf X agar Syahla tidak mendekati Sang Nyonya.   Oh, maksud-e ndak boleh salaman? -batin Syahla.   Syahla pun hendak menarik tangannya, “Maaf, Nyonya. Saya ndak tau kalau sama orang kaya ndak boleh salaman.” Kata Syahla dengan wajah polosnya.   “Eh, siapa bilang?” tanya Nyonya tersebut.              Syahla pun melirik Satpam karena dia mulai tidak mengerti harus berbuat apa. Nyonya yang melihat bagaimana tingkah Syahla pun langsung terkekeh lalu menyodorkan tangannya, “Saya Margaretha.” Kata beliau sambil mengulurkan tangan dengan ramah.   Bagi Syahla, nama tersebut sangatlah asing di telinganya. Dia bahkan tidak mengingat nama itu jika diminta untuk mengulang nama beliau. Namun, Syahla tentu tahu sopan santun. Dia tidak berani meminta Margaretha untuk menyebutkan namanya kembali. Lagi pula tidak sopan menyebut nama orang tua.   Syahla buru-buru menjabat tangan Margaretha sebelum Margaretha berubah pikiran. “Nami kulo Syahla Fitriyani Haura.” Kata Syahla sambil mencium tangan Margaretha.   Pak Satpam di tempatnya mengaduh dalam hati karena Syahla berani menicum punggung tangan orang terkaya di kompleks tempatnya berjaga, padahal kompleks tersebut termasuk kompleks yang sangat elit.   “Nama yang bagus. Nama panggilannya siapa?” tanya Margaretha.   “Di kampung saya biasa dipanggil Ani, Bu.” Kata Syahla.   Margaretha pun menganggukkan kepalanya, “Oke, Ani. Kamu benar mau kerja?” tanya beliau.   Syahla mengangguk mantap, “Benar ibune.” Kata Syahla.   “Kamu mau kerja apa?” tanya Margaretha.   “Apa saja, Ibune. Bersih-bersih, cuci baju, cuci piring, apapun saya mau ibune.” Kata Syahla dengan mata yang berninar-binar. Dia mengatakannya bahkan dengan penuh semangat.   “Kenapa kamu mau bekerja? Kamu kan masih muda.” Kata Margartha.   Syahla menggaruk kepalanya. Dia merasa bingung harus menjawab apa. Dia tidak tahu apakah dia akan mengatakan hal yang sejujurnya atau tidak kepada calon Nyonyanya itu.   “Kalau kamu tidak memiliki alasan yang jelas, mohon maaf saya tidak bisa terima kamu.” Kata Margaretha.   “Eh, ibune-ibune. …” kata Syahla yang mulai panik.   Margaretha tersenyum tipis, beliau mulai menunggu jawaban dari Syahla. Syahla pun mulai bertekad untuk mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Nyonya besar yang ada di hadapannya tentulah orang asing baginya. Jadi menurut Syahla tidak ada salahnya bila dia menceritakan apa yang terjadi saat ini.   “Sebetulnya, kulo sedang mencari orang tua kulo, Ibune.” Kata Syahla.   “Mencari orang tua?” tanya Margaretha yang mulai tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Syahla.   “Iya, Ibune. Kulo ndak seberuntung anak-anak lain. Waktu kulo kecil, kulo sama adik-adik kulo ditinggal di kampung. Kami ndak tahu siapa orang tua kami. Jadi, karena kulo ndak tega lihat adik-adik sengsara sama karena kulo ndak mau dinikahin sama Juragan tua di kampung, makanya kulo ke Jakarta, pengan cari orang tua kulo aja.” Kata Syahla.   Margaretha terdiam. Hatinya seperti terasa tercubit. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskannya kini hadir begitu saja.   “Maaf ya, Ibune. Kulo ndak pintar cerita.” Kata Syahla sambil nyengir lebar.   Syahla menceritakannya tanpa meneteskan air mata sedikitpun. Dia sudah terbiasa dengan kepahitan hidup. Air matanya seakan kering hingga dia mulai tidak mengetahui bagaimana cara menitikkan air mata.   “Ada berapa adikmu?” tanya Margaretha.   “Ada dua ibune. Satu laki-laki dan satu perempuan.” Jawab Syahla dengan jujur,   Syahla pun menatap nyonya besar di hadapannya dengan pandangan bingung. Namun, dia merasa kalau Maragaretha sangat tertarik dengan apa yang dia ceritakan.   Syahla melirik Pak Satpam yang matanya terlihat berkaca-kaca. Dia pun hanya bisa menggarukkan kepalanya dengan bingung.   “Bapake, kesambet?” tanya Syahla dengan cengiran jailnya.   “Hus!” kata Pak Satpam.   Syahla yang awalnya nyengir lebar langsung mengerucutkan bibirnya. Namun, seketika dia teringat kalau dirinya kini tengah berada di hadapan calon majikannya. Dia pun menunduk menyesal karena tidak bisa menahan sikap isengnya.   “Maaf bapake, ibune.” Kata Syahla.   Di luar dugaan, Margaretha pun tertawa. Syahla seketika langsung mendongak dan mulai mengamati wajah beliau dengan bingung namun seketika Syahla ikut tertawa.   “Baiklah. Baiklah.” Kata Margaretha.   “Baiklah opo toh, Bu?” tanya Syahla.   “Kamu diterima di rumah saya.” Kata Margareta.   “Alhamdulillah. Makasih ya, Ibune.” Kata Syahla lalu mencium tangan Margaretha.   Lalu Syahla menatap Pak Satpam yang sudah tersenyum di tempatnya.   “Makasih bapake.” Kata Syahla yang juga mencium tangan Pak Satpam tersebut.   “Kalo kerja yang benar ya, Nduk. Yang jujur.” Kata Pak satpam tersebut.   “Siap. Bapake.” Kata Syahla sambil nyengir lebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD