(B)ART 1 – Awal
Langit semakin gelap menandakan hari akan hujan. Seorang gadis cantik kini tengah berlari sambil sesekali menoleh ke arah belakang. Dua orang berbadan besar, tegap, dan berkumis lebat kini tengah mengejarnya hingga dia terus menerus berlari.
“Bapane sapa sih? Melayune gitir nemen! (Bapaknya siapa sih? Larinya kenceng banget!)” serunya dalam hati.
Gadis itu bernama Syahla Fitriyani Haura, usianya tujuh belas tahun dan dia kini duduk di bangku SMA kelas sebelas. Dia adalah gadis yang cantik meski otaknya tidak secantik wajahnya karena dia sedikit tidak bisa mengimbangi pelajaran di sekolahnya.
Sebetulnya hal ini tidak sepenuhnya karena otaknya tidak mampu melainkan kegiatannya di luar sekolah yang sangat berat membuat dirinya selalu merasa mengantuk di sekolah dan tidak pernah bisa berkonsentrasi saat mendengarkan gurunya.
“Duh! Aja udan disit mbarah! (Duh, jangan hujan dulu dong!)” gumamnya.
Syahla mempercepat larinya. Syahla sebetulnya tidak merasakan kesulitan saat berlari menghindari dua laki-laki yang mengejarnya tersebut karena dirinya memang sudah terbiasa berlarian ke kebun karena disuruh mengambil ini dan itu oleh keluarganya.
Syahla tidaklah berasal dari keluarga yang berkecukupan. Dia hanyalah seorang anak buangan yang kemudian diangkat oleh seorang keluarga miskin di sebuah desa bernama Desa Watu yang berada di sebuah pedalaman Jawa Tengah.
“Iya! Secuwil maning! (Iya! Sedikit lagi!)” seru Syahla.
Syahla semakin semangat mempercepat laju larinya karena melihat kampungnya sudah terlihat oleh matanya. Dirinya sangatlah paham, meski kedua orang yang mengejarnya dari pasar tersebut mengejarnya tanpa alasan, namun dirinya tahu dan paham kalau kedua orang terebut tidak akan berani mengejarnya sampai di kampungnya.
Kampung Syahla dengan pasar dihubungkan oleh sebuah hutan yang masih cukup lebat. Itulah mengapa penjahat tersebut berani mengejarnya. Bila berada di perkampungan yang dipadati oleh warga, penjahat tersebut tentulah tidak berani mengingat mereka berdua kalah jumlah dan solidaritas warga kampung yang terlihat sangatlah kuat, membuat penjahat itu berpikir kalau mereka tidak akan bisa melakukan apapun.
“Anjog! (Sampai!)” seru Syahla.
Di dalam gapura kampungnya, rumah warga sudah terlihat dan beberapa warga terlihat sedang menjemur padi dan ada juga yang sedang menjemur ‘gadung’ (Salah satu umbi yang bisa membuat orang mabuk atau keracunan bila dimakan secara langsung).
Syahla berdiri dan berbalik menatap penjahat yang mengejarnya yang terlihat menghentikan langkahnya jauh di sana, tidak berani mendekat, melihat nyali mereka yang hanya sebatas sana membuatnya senang dan bahagia.
Untuk mengungkapkan rasa kesalnya, Syahla bahkan sambil memeletkan lidahnya kepada kedua penjahat itu dan langsung berjoget gergaji sambil tertawa gembira karena merasa menang lomba lari melawan penjahat.
“Hahahahaha gundul tok ora bisa melayu hahahaha! (Hahahahaha botak doang gak bisa lari hahhaha!)” kata Syahla.
Syahla mengabaikan bagaimana wajah dua penjahat botak yang berada jauh di sana yang sudah mengeras rahangnya, tangan mereka bahkah sudah mengepal namun Syahla tidak mengindahkannya, dia malah sibuk joget-joget dan memantati penjahat tersebut, “Keh silit keh silit! (Nih p****t nih p****t!)” katanya sambil tertawa.
“Heh, Ani!” seru seorang warga.
Syahla menghantikan aktivitasnya mengejek penjahat tersebut dan langsung menoleh ke asal suara.
“Eh, Man Tarman.” kata Syahla.
“Ko sih lagi apa? Edan? (Kamu itu lagi ngapain? Gila?)” tanya Pak Tarman salah satu warga.
Sebagaimana warga kampung biasanya, mereka tentulah saling mengenal satu sama lain, dari ujung kampung sampai ujung kampung yang lainnya. Begitu juga dengan Syahla, semua orang mengenalnya dan begitu juga dengan Syahla yang mengenal semua orang di kampungnya.
Warga di kampunganya mengenal Syahla dengan nama Ani.
“Ora Man, kie lagi olah raga. Siji loro siji loro (Enggak, Paman, ini lagi olah raga. Satu dua satu dua.).” kata Syahla mengelak. Syahla kini mulai berpose seperti orang sedang berolah raga.
“Wong edan. (Orang gila).” kata Man Tarman.
Syahla hanya bisa tertawa menanggapi kata-kata Pak Tarman karena dirinya tahu kalau Pak Tarman hanya bercana saja, cara bicaranya memang seperti itu.
“Balik disi ya, Man? (Pulang dulu ya, Paman?)” kata Syahla sambil berjogging.
“Ya wis, mana! (Yaudah sana!)” kata Pak Tarman.
“Yakin, gadung-e ireng nemen kayak wonge. Bahahaha. (Beneran, gadungnya item banget kayak orangnya. Bahahahaha.)” kata Syahla sambil tertawa terbahak-bahak.
“Dasar bocah badeg! (Dasar anak nakal!)” seru Pak Tarman.
Syahla langsung berlari sambil tertawa terbahak-bahak karena mendengar apa yang dikatakan oleh Pak Tarman sebelumnya. Waktu masih menujukkan pukul 08.00 WIB.
Tiba-tiba saat sedang asyik berjogging ria, seseorang ikut berlari di sampingnya, kebetulan rumah Syahla memang berada di ujung kampung jadi dirinya masih harus berjalan lagi dan Syahla memilih untuk berlari agar bisa sampai lebih cepat.
“Ko sih sing ndi? (Kamu dari mana?)” tanya Desi, gadis sebaya Syahla yang tiba-tiba ikut berlari bersama Syahla.
“Olah raga lah, emange kayak ko. Hahaha. (Olah ragalah, emang kayak kamu.)” kata Syahla.
“Nyanyi ah, Bah! (Nyanyi dong!)” seru Desi.
“Ji ro lu pat, takitak itak hae. Cendol dawet, cendol cendol! …” kata Syahla yang menuruti keinginan konyol Desi.
Membuat ulah sebetulanya bukan hal baru lagi untuk mereka. Bahkan kadang urat malunya seperti sudah putus. Warga kampung pun sudah mengetahui hal tersebut.
Syahla mengepalkan tangannya dan langsung mengarahkannya ke dagu Desi seperti microfone.
“Cawet, cawet…”
“Cendol, cendol!”
“Cawet, cawet!” seru Desi.
Syahla sontak menoyor kepa Desi, “Badeg nemen yakin! Hahahahaha (Nakal baget asli! Hahhaha)” kata Syahla sambil tertawa ngakak.
Desi adalah satu-satunya teman Syahla yang snagat dekat dengannya di kampung tersebut. Bukan berarti Syahla tidak memiliki atau tidak kenal dengan teman-teman sebayanya, hanya saja teman yang benar-benar satu freskuensi dengan Syahla hanyalah Desi.
Syahla bahkan selalu bisa tertawa dengan apapun yang dilakukan sahabat ajaibnya tersebut yang suka bicara asal-asalan. Namun, ceplosan-ceplosan Desi memang sangat mengundang tawa, hal itu bisa mengobati rasa sedih Syahla dalam keadaan apapun.
“Kie kari Abah Haji krungu, bahhhh, ko dirukiah, Des! (Ini kalo Abah Haji denger, kamu pasti udah dirukiah, Des!)” kata Syahla.
“Maning bah, ben krungu! (Lagi dong biar denger!)” seru Desi menantang.
Belum sempat Syahla menjawab kata-kata yang keluar dari bibir Desi tiba-tiba sebuah tangan sudah ada di kuping kiri Desi dan kuping kanan Syahla, mereka berdua tentu tahu siapa orang yang berani melakukan hal tersebut.
“Kie bocah ya! (Ini bocah ya!)” seru Abah Haji.
Ya, orang yang menjewer kuping mereka berdua adalah Abah Haji, satu-satunya warga desa yang sudah bergelar sebagai haji dan sudah menginjakkan kaki di tanah suci pastinya.
“Bah, ampun, Bah, ampun!” seru Syahla dan Desi karena merasakan telinganya sakit karena dijewer.
“Maning kayak miki maning ora? (Mau kayak tadi lagi ga?)” tanya Abah Haji.
“Ora, Bah. Ora. (Enggak, Bah, Enggak).” kata Syahla dan Desi.
Meski sudah mengatakan tidak, Abah Haji masih belum mau melepaskan tangannya. Desipun tidak kehabisan akal. Desi melirik Syahla dengan penuh makna. Syahla mengangguk mengerti.
“Abah! Kae warunge ana sing tuku! (Abah, itu warungnya ada yang beli!)” seru Desi.
Sontak mendengar warungnya ada yang beli, Abah melonggarkan tangannya di telinga Syahla dan Desi. Di saat itulah Desi dan Syahla langsung berlari sekencang-kencangnya sambil tertawa terbahak-bahak membiarkan Abah Haji berseru kepada mereka di belakang.