Keluarga akan tetap hangat jika dalam diri masing-masing merasa saling membutuhkan.
____________
Meski petir terus saja menggelepar di langit nan mendung sore ini, tapi Nada tidak mudah menyerah. Dia terus mengayuh sepedanya hingga masuk ke area perumahan tempat tinggalnya, dan rintik mulai menetes menyentuh puncak kepala gadis itu.
Ia turun dari sepeda ketika sudah sampai di depan gerbang kecil rumahnya yang sederhana, jika dulu Nada tinggal di rumah mewah berlantai dua—tidak untuk dua tahun ini, dia dan Aji tinggal berdua di rumah sederhana satu lantai. Buru-buru gadis itu menarik sepedanya masuk melewati gerbang yang terbuka, ada mobil putih terparkir di depan rumahnya. Dia tahu, itu mobil sewaan milik Aji yang notabene bekerja sebagai driver taksi online.
Gadis yang jarang sekali menggerai rambutnya itu memarkir sepeda di teras rumah dan bergegas masuk karena hujan makin deras menghunjam tanah, untunglah dia sudah sampai rumah.
Hidungnya mendengkus sesuatu berbau harum, dia mengikuti aroma yang menyita perhatian hidungnya itu hingga masuk ke dapur dan melihat Aji sedang memasak dengan apron menggantung di leher layaknya seorang IRT, pria itu memang seorang panutan keluarga yang baik. Nada bangga akan banyak hal yang melekat pada diri ayahnya.
Nada hanya diam di ambang pintu sambil terus memperhatikan tingkah sang ayah ketika memasak, tampak begitu cekatan layaknya seorang koki. Gadis itu mengulas senyum kecut, kasihan juga melihat Aji yang menjadi ayah sekaligus ibu untuk dirinya meski sebenarnya bukanlah single parent.
"Ehem!" deham Nada.
Sontak Aji menoleh dan mengulas senyumnya, pria berkacamata itu menghampiri sang putri lalu mencium keningnya.
"Kamu udah pulang, Nad? Gimana sekolah di hari pertama jadi kelas dua belas?" tanya Aji, mereka melangkah menghampiri kompor yang masih menyala.
"Ya kayak gitu deh, Pa. Eh, masak apa nih?" Hidung Nada begitu menikmati aroma lezat yang terhirup olehnya, sebuah sup ayam sedang diaduk oleh Aji.
"Tadi papa ke pasar, jadi pengin bikin sup buatan mama kamu. Ya, beginilah," balasnya sambil mengedik bahu.
Nada mengulas senyum dan mengangkat ibu jarinya, "Dua jempol buat Papa kesayangan, Nada langsung laper deh. Tanggung jawab ih si Papa," rengek gadis itu dengan senyum centilnya.
"Iya, iya. Kamu duduk aja dulu, sebentar lagi siap kok."
Mereka masih bisa melanjutkan hidup meski tinggal berdua, meski tak seperti dulu bukan berarti mereka akan menyerah. Semua bisa berubah jika terus berusaha, Aji yang sudah tak diterima lagi bekerja di kantor karena ia memiliki banyak hutang untuk mengobati Dena akhirnya memilih alternatif lain dengan menjadi driver online dan masih sanggup membayar biaya sekolah Nada, masih sanggup mencukupi kebutuhan rumah.
Terkadang Nada ingin menangisi keadaan mereka berdua yang sudah tidak seperti dulu lagi, tapi untuk apa terus saja menangis? Toh Tuhan tak akan memihak siapa pun pada mereka yang tak mau berusaha, kini mereka sedang menjalani masa kebangkitan meski tanpa sosok Dena sekalipun.
Aji meletakan dua buah mangkuk berisi sup yang sudah matang di atas meja makan, gadis itu telah menunggunya sejak tadi dan kini mengambil sendok untuk menyuapi dirinya sendiri. Begitu kuah sup mengalir melewati kerongkongan gadis itu, ekspresinya berubah. Dia tampak suka.
"Endes banget, Pa. Mirip sama buatan mama kok," puji Nada.
Aji yang kini sudah duduk di seberang Nada tersenyum menanggapi komentar putrinya yang cantik itu.
"Jadi rasanya benar mirip seperti buatan mama kamu, Nad?" Aji memastikan.
"Iya Pa, the best!" balasnya penuh semangat, ia menghabiskan sup itu dengan lahap.
Hujan deras di luar sana ikut merasakan kehangatan keluarga kecil mereka meski hanya tinggal berdua, tapi mereka saling melengkapi satu sama lain layaknya malam hari dan bulan.
Rintik yang jatuh secara bertahap itu membuat basah tanah yang ditumbuhi rerumputan Jepang juga beberapa buang liar yang sengaja dibiarkan hidup, ada juga pohon mangga yang selalu berbuah ketika musimnya tiba. Bersamaan dengan rintik hujan terdengar pula canda tawa mereka yang menghias rumah seolah tanpa beban.
_________
Remaja usia enam belas tahun itu duduk di rooftop rumahnya yang luas, dia memangku sebuah gitar seraya duduk bersila pada selasar rooftop yang dingin, kedua matanya menatap ke langit. Meskipun dingin karena baru turun hujan, tapi Zada memang anak yang bengal, harusnya dia memakai hoodie ketika berada di luar rumah—bukannya kaus oblong serta celana pendek.
Petikan jemari Zada pada gitar miliknya menciptakan suara yang harmonis, tapi bibirnya sama sekali tak berucap dan dia terus menatap ke langit malam yang sepi, menerawang.
"Zada, ternyata kamu di sini. Dicari sama Rebbeca tuh, Nak." Ucapan itu keluar dari bibir Rosalie—ibu Zada—yang baru saja menginjak tangga terakhir dan menghampiri putranya.
Zada menghentikan permainan gitarnya, "Buat apa?" sahutnya terdengar tidak peduli bahkan tanpa menoleh.
Kini wanita itu berdiri tepat di belakang Zada yang masih saja duduk, dia berpangku tangan.
"Ya dia nyari kamu, Sayang. Temuin gih," pinta Rosalie.
"Enggak."
"Kenapa?"
"Kan dari awal nggak mau ya enggak, kalau Mama mau temuin dia ya silakan. Aku mau di sini, sibuk." Zada memang tak peduli pada gadis bernama Rebbeca yang baginya terlalu mengganggu kehidupan Zada karena gadis itu menyukai dirinya, terlebih Rebbeca adalah putri kolega dekat sang ayah.
"Kok gitu? Mama harus kasih alasan apa ke dia biar ngerti Zada, kamu tahu sendiri kan sifat Rebbeca gimana. Gampang marah."
"Kasih aja balon, kelar." Zada mengangkat gitarnya sebelum beranjak melewati Rosalie tanpa permisi, dia sangat tidak suka bila diganggu seperti yang baru saja terjadi.
Telempap kanan Rosalie menyentuh dahinya, dia berdecak. "Aduh anak itu, bikin saya makin pusing aja. Rebbeca apalagi," gerutunya sebelum melangkah menyusul Zada.
Setelah turun dari rooftop, Zada memang menghampiri Rebbeca yang tengah duduk di kursi ruang tamu seorang diri, ada amarah dalam diri Zada yang ingin segera meletup, dan Rosalie paham betul pada sifat sang putra, jadi ia mengejarnya.
"Zada!" pekik Rebbeca begitu gembira ketika melihat laki-laki yang ia tunggu datang menghampirinya sambil menenteng gitar. Rebbeca beranjak dengan sebuah ukiran senyum.
"Mending lo pulang deh!" usir Zada tiba-tiba. Kini ia sudah berdiri tepat di depan Rebbeca dengan alis bertaut dan rahang mengatup, menegaskan amarah dalam dirinya.
Tentu saja Rebbeca terkejut mendengar penuturan Zada yang juga membentaknya, "Lho, kok kamu kasar gitu sih. Aku ke sini, kan mau ketemu kamu." Rebbeca membela diri.
"Iya, tapi gue nggak mau ketemu sama lo, lagian ngapain sih cewek malam-malam ke rumah cowok. Nggak kebalik, yah? Apa emang suka begitu?" hina Zada sarkas.
"Zada! Kamu kasar sama aku!" pekik gadis berambut panjang dengan ujung curly itu.
Zada sudah tak mau menanggapi ocehan Rebbeca lagi dan ia bergegas melangkah ke arah tangga menuju kamarnya, tak ada yang tahan berhadapan dengan gadis yang manja dan suka memaksakan kehendak seperti Rebbeca.
Dia menutup pintu cukup keras hingga menimbulkan bunyi gebrakan yang khas. Rosalie yang baru tiba di depan Rebbeca hanya mampu menarik napasnya. Zada memang sulit dipahami apalagi ditaklukan, kecuali orang itu benar-benar menguasai hatinya.
"Tante, kok Zada main pergi gitu aja sih. Aku dandan lama lho buat ke sini," keluh Rebbeca. Gadis itu mengambil ponselnya dari sling bag.
"Aduh maafin sikap Zada ya, Beca. Dia mungkin lagi capek, seharian juga ada tanding futsal." Rosalie mencoba menenangkan amarah gadis itu.
"Ya udah, Tante. Aku pulang aja deh. Besok aku ke sini lagi, aku mau ajak Zada ke kafe baru punya mama!" serunya kegirangan, selalu berharap jika Zada akan menerima setiap ajakannya. Padahal yang sering ia dapatkan hanyalah kegagalan serta rasa kecewa.
Rosalie tersenyum tipis, seseringnya dia memahami watak Rebbeca yang over pede, nekat, manja dan mudah marah. Kadang Rosalie tidak mengerti kenapa orang tua Rebbeca terlalu membebaskan anak gadisnya hingga malam tiba, tidak takutkah dengan pergaulan zaman sekarang? Dia mengedik bahu dan berlalu masuk ke kamarnya setelah sosok Rebbeca menghilang di balik pintu utama.
Tok-tok-tok!
"Apaan? Aku nggak mau diganggu, Ma!" seru Zada setelah mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Dia rebahan di ranjang seraya menjadikan lengan kanan sebagai bantalan.
"Bang Jada, Bang Jada!" seru Erik dari luar kamar, bocah usai lima tahun itu berdiri di depan pintu kamar Zada sambil memegang CD bergambar Lightning McQueen favoritnya.
Seketika Zada beranjak setelah mendengar suara keponakannya di luar kamar, segera dia membuka pintu dan menemukan wajah menggemaskan Erik yang tengah menunjukan deretan giginya, tinggi Erik hanya sebatas pinggang Zada. Laki-laki itu berjongkok dan tersenyum menatap Erik.
"Kenapa? Kok nggak tidur?" tanya Zada.
"Aku mau nonton ini, mama galak nggak mau kasih tivi sama aku. Mama galak!"
Zada melebarkan senyum, betapa lucunya bocah kecil itu jika sedang marah. Pipinya akan dikembungkan sambil berkacak pinggang seperti yang ia lihat sekarang.
Tangan Zada mencubit pipi tembam Erik. "Ayo masuk," ajaknya.
Mereka berdua akhirnya masuk ke dalam kamar dan Zada menutup rapat pintunya, ia hendak menikmati malam dengan keponakannya itu.
_____________