Bagian 6.

1469 Words
Tak perlu mengulang masa lalu jika memang tak membuatmu memunculkan rasa rindu. ___________      Nada mengunci sepedanya di dekat pos satpam tepat di sisi sebuah pohon besar. Dia tak berani memarkir sepedanya pada tempat parkir khusus karena sebagian besar penghuni SMA Nusa Bhakti berkendara motor bahkan beberapa membawa mobil pribadi, jadi rasanya tak cocok jika sepeda milik Nada di sandingkan dengan milik mereka yang kebanyakan anak dari keluarga berada. Gadis itu menghampiri satpam yang tengah berdiri di dekat gerbang. "Pak, aku titip sepeda ya. Jangan lupa, nanti kalau hilang Bapak harus ganti pakai mobil lho," goda Nada seraya memamerkan deretan gigi putihnya yang selalu ia gosok dua kali sehari seperti aturan dokter gigi. Si satpam menoleh, "Eh iya, Neng. Pasti aman, Bapak elus-elus juga biar nggak karatan." "Makasih, Pak." Nada berlalu melangkah menuju koridor utama, dia melihat beberapa siswa tengah memainkan si kulit bundar di lapangan utama—tepat di tengah sekolah. Pasalnya jika untuk futsal ataupun basket indoor, sedangkan lapangan utama biasa untuk sesi upacara. Kakinya terus melangkah melewati beberapa anak kelas sepuluh yang teduduk di depan kelas, berdiri di ambang pintu ataupun yang baru saja datang. Bugh! "Aduh!" pekik Nada setelah sebuah bola mengenai lengannya dan membuat sweater warna pelangi yang ia kenakan sedikit terkena noda bercak cokelat akibat bola yang kotor, karena beberapa hari ini juga turun hujan dan ada kubangan kecil di lapangan. Dia tidak terjatuh sama sekali karena bola mendarat dengan pelan, tapi kesal juga bila sweater kesayangannya jadi kotor akibat sebuah tindakan ceroboh. Seorang remaja menghampiri Nada, mungkin dia adalah pelaku yang harus bertanggung jawab saat ini. "Sorry, Nad," ucap Daffa. Nada masih sibuk mengusap lengan kiri sweaternya yang terkena bola, berharap noda lekas hilang. "Lain kali hati-hati dong, gue kan nggak main bola jadi jangan dikasih operan gitu!" tegur Nada kesal. Dia menatap Daffa sekilas seraya mengerucut. "Iya maaf, tadi si Asep yang nendang. Tapi dia takut kena marah elo dan suruh gue yang wakilin maafnya." Nada menatap ke arah lapangan, laki-laki yang bernama Asep melambaikan tangannya sambil tersenyum, seolah tak berdosa. "Maaf itu nggak bisa diwakilin, Daff Belum tentu gue ikhlas maafinnya," cibir Nada. Dia memutar bola matanya tanda jengah. "Jadi lo nggak ikhlas nih. Dosa, Nad," ujar Daffa. "Iya gue maafin kok, kalau tadi gue pingsan habis lo semua." "ZADA!" Seruan itu membuat Nada dan Daffa menatap ke arah sumber suara, ternyata Zada baru datang dan bergabung bersama mereka di lapangan meski ia belum meletakan tasnya. Melihat Zada membuat Nada jadi gugup, "Ya udah, Daff. Gue mau ke kelas ya, lain kali jangan begitu lagi." Tanpa menunggu sahutan Daffa, Nada sudah berlari lebih dulu menghampiri tangga dan lekas berlalu. "Aneh tuh bocah," gumam Daffa dengan kening berkerut. __________ Sebenarnya ingin sekali Nada pindah kelas agar tak bertemu Zada, dia bukan benci tapi lebih ke arah canggung. Terlebih jika ingat lagi akan hubungan mereka yang tidak jelas saat kelas sepuluh membuat Nada sama sekali tak ingin berinteraksi dengan sosok kapten futsal SMA Nusa Bhakti itu. Nada hanya bisa diam tanpa berani menoleh ke arah kiri seolah lehernya begitu kaku, dia sangat mengharapkan waktu setahun ini akan segera berlalu agar tak melihat sosok Zada lagi tentunya. Seperti pagi ini, ketika tak ada guru di kelas maka setiap anak akan bergosip ria dengan teman lainnya. Namun, tidak untuk Nada, ketika dia hendak menepuk bahu Thalita—gadis yang duduk di depannya itu justru sibuk membaca novel dan tak ingin diganggu. Nada berdecak, dengan siapa lagi ia bicara? Sebelahnya hanya Dewa serta Zada, mana mungkin Nada mengajak Dewa bicara apalagi untuk urusan gosip. Rasanya begitu tertekan duduk pada posisi yang Nada alami sekarang, dan semua itu akan ia jalani selama setahun? Pada akhirnya gadis itu membuka buku catatan dan menuliskan rangkaian not-not balok, dia memang piawai menciptakan nada-nada untuk ia mainkan bersama piano kesayangannya di rumah. Dia ingin jadi seperti Dena yang pernah bermimpi jadi pianis besar, tapi sayangnya wanita itu kini tak bisa lagi bermimpi. Sesekali Nada melirik Zada melewati ekor matanya, dia tahu laki-laki itu kini juga sedang menulis pada bukunya. Aneh, ketika sebagian laki-laki sibuk bersenda gurau justru Zada sibuk dengan buku miliknya tanpa merasa terusik dengan suara orang-orang yang mirip seperti keramaian saat antre sembako murah. "Selamat pagi semua," sapa Bu Angel setibanya dia di kelas dan berhasil membuat semua orang berhenti bicara dan fokus padanya yang kini sudah duduk di balik meja guru. "Nada, bisa tolong ambilkan buku absensi kelas di ruang guru," perintah Bu Angel. "Iya, Bu." Gadis itu beranjak dan melangkah keluar kelas, untuk sejenak saja dia merasa lega karena jauh dari sosok Zada. Padahal ia bukan hantu, tidak menakutkan, tidak berbisa, bukan pula pencabut nyawa. Namun, bisa membuat Nada selalu ingin jauh darinya. ___________ "Jadi lo satu kelas sama Zada? Razada Rivaldo itu kan, 'Nad?" Adela mengucapkannya cukup syok, pasalnya dia juga tahu riwayat hubungan Nada dan Zada. Keduanya tengah duduk di kantin lantai satu, sebenarnya ada dua kantin di SMA Nusa Bhakti. Pertama di lantai tiga dan yang kedua di lantai satu, Nada bisa saja jajan di kantin lantai tiga—tapi jelas di sana dia akan menemukan Zada. Gadis itu menyendok bekal yang ia bawa, setiap hari Nada selalu membawa bekal. Dia ingin terus menghargai apa yang Aji usahakan untuk kehidupan mereka berdua, dan berhemat adalah hal yang harus ditanamkan sejak Dena masuk panti. Gadis itu juga perlu biaya besar untuk masuk kuliah ketika sudah lulus nanti. Nada mengangguk seraya menelan makanan yang habis ia kunyah, "Itu makanya gue juga syok sehabis lihat mading, Del. Kalau lo jadi gue gimana?" Nada menyendok lagi bekalnya. Sejak mendengar kisah Nada yang satu kelas dengan Zada membuat perhatian Adela dari mie ayam yang dia pesan teralihkan, masih utuh karena tidak tersentuh, salah satu tangan Adela menopang dagu dan begitu antusias mendengar penuturan Nada. "Kalau gue jadi elo sih?" Gadis itu menerawang sejenak. "Nggak tahu ya." Adela mengedik bahunya. Nada memamerkan raut datar, "Nggak asyik lo," kesalnya. "Nih yah, emang lo nggak pengin gitu dikasih puisi-puisi lagi sama si Zada?" Nada meletakan sendoknya lalu menatap Adela dengan serius, "Del, kok nyambung sama puisi. Nggak ada hubungannya sama puisi, ngapain lo kembali sama masa lalu sih." "Nih yah, lo ingat dong hubungan lo sama Zada pas kelas sepuluh tuh sama sekali nggak jelas. Menurut gue nggak masuk akal kalau disebut orang pacaran gitu. Kalian kayak sama-sama nyari jalan sendiri, kalau sekarang tiba-tiba si Zada mau balikan sama lo lagi buat ngulang masa lalu yang nggak jelas itu, gimana?" Nada mengumpat dalam hati, ingin sekali dia menoyor kepala Adela agar tidak berpikir macam-macam apalagi menyimpulkan seperti itu. Nada mengusap wajahnya kasar, dia berdecak. "Nggak ada yang mau balikan, masa lalu anggap aja tumpuan masa depan. Buat apa mengulang masa lalu apalagi nggak ada kenangan memorable sama dia." "Puisi, iya puisi Nad yang jadi kenangan paling memorable antara elo sama dia." Adela bersikeras. "Tau ah! Gelap!" Gadis itu memilih menyendok lagi makanannya hingga habis daripada terus menimpali ocehan Adela yang selalu menyimpulkan semuanya sendiri. "Lagian nama kalian ternyata gabung jadi satu yah? Nada sama Zada." Adela menerawang sambil tersenyum sendirian, membuat Nada menggeleng. Terkadang Adela begitu menjengkelkan, tapi dia satu-satunya teman yang paling mengerti Nada sejak SMP, hanya Adela yang tahu persis bagaimana riwayat kehidupan Nada beserta keluarganya, dia juga tahu tentang Dena yang berada di panti. ___________      Ternyata jam pelajaran berikutnya Bu Aini mulai mengatur struktur organisasi kelas, dia ingin kelas XII.IPS.2 memiliki struktur organisasi kelas yang baru, tangan kanan Bu Aini tampak sibuk menuliskan nama-nama yang sudah ia pilih sendiri sebagai ketua, sekretaris, bendahara dan seksi lainnya.      Bu Aini balik badan seraya menatap murid didiknya yang tampak antusias menunggu siapa saja yang terpilih jadi ketua, wakil ketua dan lainnya.      "Maaf kalau Ibu nggak minta kalian semua buat voting, Ibu pilih sendiri setelah mikir semalaman yang cocok siapa aja. Kalian setuju, 'kan?" Bu Aini meminta pendapat.     "Setuju!" sahut semuanya serempak.      "Oke, jadi ketua kelas Ibu mau tunjuk ...." Bu Aini melihat ke arah pojokan kelas sebelah kiri, "Razada, kamu mau 'kan jadi ketua kelasnya?"      Semua tatapan anak satu kelas tertuju pada Zada yang tampak santai tanpa terkejut sedikit pun, pasalnya semua orang tahu kalau Zada jarang bicara dan sekarang harus menjadi ketua kelas yang nantinya akan mengatur ini dan itu?      Zada menatap sekitar dan berakhir pada Nada, seketika gadis itu kembali menatap lurus ke depan. "Iya, Bu. Saya mau," sahut Zada.       Bu Aini segera menuliskan nama Zada pada kolom ketua kelas, dia kembali menatap murid didiknya. "Kalau wakilnya Daffa mau, 'kan?"      Daffa yang duduk pada urutan kedua paling kiri mengangkat tangan, "Iya, Bu. Saya mau kok."      "Yang jadi sekretaris Nada, boleh?"      Gadis itu terkesiap mendengar penuturan Bu Aini, pasalnya sejak kelas sepuluh sampai sebelas dia belum pernah jadi sekretaris kelas.      "Boleh," seru mereka serempak.      Nada menoleh ke arah Zada, ternyata laki-laki itu sedang menempelkan kepalanya di atas meja seraya menatap Nada, sejak tadi dan membuat Nada kikuk. Ia kembali menatap ke depan, s**l. — Tbc...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD