Bagian 4. (flashback)

1180 Words
_________ Benar saja, ketika bel istirahat berbunyi, Nada bergegas keluar kelas. Meski Adela sudah memanggilnya di depan pintu, tapi gadis itu tetap berlari di koridor dan enggan menoleh, dia hanya ingin Adela tak tahu apa yang akan ia lakukan nanti, cukup repot jika Adela tahu kalau Nada akan menemui seseorang yang sudah memberinya puisi selama beberapa bulan terakhir. "Si Nada kenapa, sih. Kok aneh? Kayak ada yang diumpetin," gumam Adela sambil menatap punggung temannya yang makin jauh dan berbelok ke arah belakang sekolah. Ketika sampai di halaman belakang sekolah—seperti yang sudah dijanjikan oleh si pengirim puisi, Nada menghentikan larinya. Dia melangkah biasa seraya menstabilkan napasnya karena terengah setelah berlari kalang-kabut, Nada sudah lama mempersiapkan diri untuk hari ini—saat di mana dia akan mengucapkan terima kasih kepada ia yang selalu memberi warna tersendiri dalam harinya sejak masuk SMA Nusa Bhakti. Gadis itu mengedarkan pandang, tampak sepi. Tempat itu jarang sekali dijamah penghuni sekolah kecuali tukang kebun karena kondisi tampak bersih dan hanya meninggalkan beberapa daun berjatuhan menghiasi tanah yang ditumbuhi rerumputan khas jepang itu, tak ada tempat untuk duduk di sana, jadi Nada memilih berdiri di sisi sebuah pohon besar sambil menunggu si pengirim puisi. Rasanya mulai campur aduk, ada deg-degan, canggung, panas dingin dan entah apa lagi yang bisa menggambarkan suasana hati Nada saat itu. Sesekali dia menyeka sebutir peluh yang keluar dari dahinya setelah marathon sendirian, gadis itu juga menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Udara di halaman belakang sekolah cukup segar karena ditumbuhi banyak pepohonan seperti mangga, beringin, bahkan jambu biji. Tentu saja anila datang menyapu wajah gadis itu. "Maaf, saya nggak lama, kan?" tanya seorang remaja laki-laki yang kini berdiri di belakang Nada. Gadis itu lekas menoleh dan tertegun di tempatnya, Nada menelan saliva ketika berhadapan langsung dengan pemilik manik teduh itu, jantungnya mulai berpacu lebih cepat, muncul awkward di sana—padahal ia sudah mengharapkan momen itu sejak lama. Laki-laki itu mengulurkan tangan kanannya. "Saya Zada. Apa kabar, Nada?" Bibir Nada terasa kelu untuk berucap, persendiannya juga terasa kaku untuk ia gerakan seolah otaknya juga ikut terhipnotis oleh tatapan laki-laki itu dan tak sanggup memerintah Nada untuk bergerak. Zada tersenyum melihat sikap Nada yang tak meresponnya, tapi ia juga punya inisiatif dan menarik tangan kanan Nada agar bersalaman dengannya. Kesan pertama yang Zada rasakan ketika menyentuh tangan Nada adalah dingin, pasti gadis itu makin gugup. "Nada, Nada Cassandra anak kelas sepuluh satu, benar?" tanya Zada memastikan sebelum Zada melepas tangan Nada. Gadis itu mengumpat dalam hati, betapa bodohnya dia. Harusnya dia yang memperkenalkan dirinya sendiri—bukan Zada yang ternyata cukup tahu tentang dirinya. Kali ini peluh kembali menetes. Nada menarik napasnya dalam-dalam, dia butuh banyak udara untuk menetralisir rasa gugupnya berhadapan dengan wujud si pengirim puisi, gadis itu memberanikan diri untuk berucap. "Iya, aku Nada." Salah satu telunjuk Nada terangkat. "Jadi kamu ... kamu yang kasih aku puisi selama ini?" Nada mengucapkannya skeptis. Remaja di depan Nada tersenyum miring, "Iya, itu saya. Maaf saya baru bisa kasih tahu kalau itu semua puisi saya, maaf saya baru berani bicara sama kamu, saya perlu waktu," terang Zada tanpa melepas tatapan teduhnya pada Nada. Nada menunduk, lalu menengadah lagi menatap laki-laki itu. "Jadi maksud kamu sebenarnya apa sering kasih aku puisi, dan kamu pintar ya sampai aku nggak pernah bisa temukan pelakunya." "Pasti kamu bisa simpulin sendiri maksud dari semua puisi yang saya tulis buat kamu, pasti kamu paham, kan?" "Kamu suka sama aku?" Hening, tidak Nada ataupun Zada keduanya sama-sama menunduk. Mungkin Zada tengah persiapkan sesuatu yang lama ingin dia buka, sekarang waktunya, gadis itu sudah di depannya. Sedangkan Nada—dia salah tingkah lagi, ingin menampar bibir sendiri yang tiba-tiba menyimpulkan langsung segala keresahannya dari semua puisi yang Zada beri. "Kamu ingat sesuatu?" tanya Zada. Nada menengadah. "Apa?" "Kamu ingat pesawat kertas yang jatuh di dekat kaki kamu pas di depan minimarket?" pancing laki-laki itu. Gadis itu menerawang. "Yang itu, iya aku ingat. Itu dari kamu?" "Iya, awal saya lihat kamu biarpun kita satu sekolah. Mungkin saya yang terlalu sibuk sama dunia futsal sampai nggak sadar ada yang harus lebih diperhatikan." "Kamu bukannya kapten futsal kelas sepuluh, kan? Razada-Razada itu, betul?" Nada mencoba menerka. Zada mengangguk sambil mengulas senyum. "Kamu tahu hal lain yang buat saya makin suka sama kamu?" Ucapan itu tentunya membuat Nada menggeleng. "Ada lagi?" "Nama depan kita sama, huruf Z kalau diputar sedikit bisa jadi huruf N dan sebaliknya." Nada tertegun tak percaya, sampai sedetail itukah yang Zada pikirkan. Hanya sebuah inisial nama panggilan? Tanpa mereka sadari seseorang memperhatikan mereka dari jauh, bahkan gadis itu tersenyum ketika melihat Nada dekat dengan seorang laki-laki meski akhirnya Adela memilih pergi dari tempatnya menguntit Nada—yakni di balik sebuah tembok, dia tak ingin jahil kali ini. Semilir angin terus menyapu keduanya, hening kembali tercipta. Hanya tatapan yang beradu tanpa sepatah kata, mereka tengah meresapi perasaan masing-masing. "Aku udah janji sama diri sendiri, aku mau bilang terima kasih kalau udah ketemu sama si pengirim puisi, dan kalau itu benar kamu, makasih." Setelahnya Nada mengulurkan tangan kanan. "Makasih untuk rangkaian kata puitis yang selalu buat aku penasaran sama siapa sosok kamu," imbuhnya. Zada menatap tangan Nada dan membalas uluran tangannya. "Jadi sekarang kita gimana, deal, kan?" Nada tersenyum miring, "Deal!" balasnya mantap. ____________ Namun sayang, ketika mereka sudah bersama ada yang aneh. Keduanya tak pernah bertemu dan jarang berkirim chat, Zada yang sibuk dengan urusan futsal karena harus mengikuti beberapa lomba di Jakarta membuatnya lebih sering menghabiskan waktu di lapangan futsal. Begitu juga dengan Nada, dia sibuk dengan urusan belajarnya dan mengikuti les private ketika pulang sekolah—juga kala Minggu tiba meskipun baru kelas sepuluh. Mereka benar-benar tak punya arah untuk saling menemukan, tak ada lagi puisi yang hinggap pada loker Nada, mereka sudah bersama, tapi tidak terlihat seperti itu. Bahkan banyak yang tidak tahu kalau mereka pacaran, alasan keraguan itu muncul ketika orang lain saja tahu keduanya sama-sama sibuk dan mustahil menjalin hubungan khususnya Nada yang sejak awal tidak terlalu mengenal Zada. Terutama setelah Malla memutuskan untuk pergi dari dunia, gadis itu depresi setelah dilecehkan kekasihnya dan memilih gantung diri di kamar hingga menghilangkan nyawanya. Keadaan berubah begitu drastis setelah kepergian Malla, Nada benar-benar tak bisa memikirkan hal selain mengurus ibunya yang mulai terguncang. Aji—sang ayah—mulai kehilangan segalanya dan berhutang ke kantor tempatnya bekerja demi membawa Dena ke luar negeri untuk berobat di sana, tapi semua itu tak membuahkan hasil, mereka sudah cukup pasrah dan sangat tak menginginkan Dena menjadi gila. Namun, semua usaha Aji tak membuahkan hasil hingga akhirnya dia memasukkan sang istri ke sebuah panti khusus orang-orang depresi, entah sudah berapa banyak air mata yang Nada tumpahkan saat itu. Dia sangat sakit ketika sudah kehilangan Malla ditambah dengan kondisi sang ibu yang tak kunjung membaik. Tanpa sadar Zada dan Nada benar-benar memilih jalan masing-masing meski tidak berucap perpisahan, mereka sudah tak peduli dengan orang lain karena terlalu sibuk pada dunia mereka. Tidak pernah bertemu, bahkan jarang melihat di sekolah membuat Nada akhirnya melupakan sosok Zada. Hingga semua pemahaman akan puisi yang Zada bagi lenyap seketika, tanpa bekas. ___________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD