Bagian 1.
Banyak hal yang ingin kutuju, hanya saja bukan bertemu denganmu.
—Nada Cassandra—
__________
Langkahnya kian ia percepat setelah menginjak anak tangga teratas hingga tiba di lantai tiga, bukan tanpa sebab setelah sepasang eboninya menangkap kerumunan murid lain di depan mading khusus anak kelas dua belas. Nada tahu apa penyebabnya, mereka sibuk mencari nama masing-masing pada beberapa lembar kertas yang tertempel di mading—berisi tentang daftar nama yang diacak untuk kelas berbeda.
Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas selama hampir tiga mingguan, akhirnya Nada dapat menginjakkan kaki di lantai tiga—di mana dia akan menghabiskan tahun terakhirnya bersekolah di SMA Nusa Bhakti. Setelah sampai di dekat mading, Nada berdecak seraya bersidekap, pasalnya terlalu sulit menembus pertahanan murid lain yang masih sibuk meneliti nama mereka pada daftar kelas.
Lagipula harus butuh berapa lama sekadar meneliti nama dan memberi ruang untuk anak lain? Nada sampai merasa kakinya pegal, dia sudah gemas dan memilih menerobos sedikit celah meski harus memaksa lewat di antara kerumunan orang-orang. Aneh, padahal mereka bukan patung, tapi kenapa tak mau bergerak sedikit saja untuk mundur.
"Minggir! Minggir! Gue juga mau lihat kali!" gerutunya kesal pada orang-orang yang masih bertahan di sana.
Akhirnya ia berhasil dan bisa berdiri paling depan bersama beberapa anak lain, kini di depan Nada sudah ada beberapa lembar kertas betuliskan daftar kelas IPA dan IPS, ia meneliti kelas IPS sebab sejak kelas sepuluh Nada sudah masuk jurusan itu, dia suka akuntansi daripada masuk laboratorium dan bergulat dengan senyawa-senyawa yang rumit. Lagipula akuntansi terasa lebih mudah daripada matematika. Telunjuk kanannya menempel pada bagian kelas IPS, ikut bergerak turun mencari namanya hingga berhenti pada sebuah nama Nada Cassandra yang masuk daftar kelas IPS dua.
"Yeay!" serunya girang tanpa peduli tatapan orang-orang di sekitarnya.
Nada meneliti lagi nama-nama lain yang akan satu kelas dengannya, siapa tahu dia satu kelas dengan Adela—teman dekatnya. Namun, ketika menjumpai huruf R telunjuk Nada bergetar, dia menelan saliva dan mendelik seolah baru saja melihat sesuatu yang mengerikan. Mata Nada bisa menangkap dengan jelas barisan huruf yang menyatu menjadi sebuah nama yakni Razada Rivaldo Damarez, setelah itu Nada memilih keluar dari kerumunan dan melangkah pelan sambil melamun. Dia tak ingin percaya dengan apa yang baru dilihatnya, tapi ia yakin bola matanya masih sehat.
"Jadi, jadi gue satu kelas sama Zada?" gumamnya lirih, dia mengutuki nasibnya yang kurang beruntung, Nada merasa kelas itu tak cocok lagi untuknya.
"Woy!" seru Adela sengaja mengagetkan Nada yang berdiri tepat di depannya.
Namun, temannya itu bergeming seraya sibuk melamun—melewati Adela begitu saja—membuatnya menggaruk kepala meski tidak gatal, Adela memilih mengikutinya.
"Nada! Lo kenapa?" Tangan kanan Adela merangkul bahu Nada.
Sahabatnya menoleh bersama rona abu-abu. "Gue nggak mau sekolah lagi, Del," ucapnya penuh kesedihan
Adela mengernyit. "Maksud lo apaan sih, Nad? Udah kelas dua belas mana boleh pindah? Lo ada masalah?"
"A big problem."
"Apaan? Nggak mau kasih tahu gue?"
Nada memilih duduk pada kursi panjang di depan kelas dengan plakat kecil di atas pintu bertuliskan XII.IPA.1, Adela ikut duduk di sebelahnya. Nada menarik napas panjang, dia merasa kesialan datang menghampiri. Pikiran Nada mulai melayang menuju masa lalu yang baginya aneh.
"Nad," panggil Adela dengan suara rendah.
Namun, gadis itu tetap diam, Nada melamun diwakili tatapan kosongnya seolah sang jiwa sedang bekelana jauh dari si tubuh. Adela mendekatkan wajah pada sisi wajah Nada, dia masih bisa mendengar desah napas itu, d**a Nada juga naik turun, artinya dia memang masih hidup. Konyol sekali tiba-tiba Adela berpikiran seperti itu.
"Nad, lo masih hidup?" tanya Adela tanpa canggung.
Seketika Nada menoleh seraya mendelik pada Adela yang refleks menjerit dan membuat semua orang di sekitar melihat ke arah mereka.
"Setan lo, setan! Nada jadi setan!" pekik Adela sekeras mungkin.
Nada yang gemas membekap mulut gadis itu, dia menoleh ke belakang dan melihat orang-orang menatapnya aneh. Semua salah Adela yang bertingkah berlebihan.
"Diam sih!" tegur Nada sebelum melepas bungkamannya, Adela kini mengatur napas yang memburu, ia pikir Nada baru saja akan membunuhnya, lagipula siapa yang tidak takut ditatap seperti itu.
"Lo kenapa sih, Del. Berisik banget. Gue tuh lagi banyak pikiran," gerutu Nada seraya menggaruk kepalanya.
"Maaf deh, Nad. Habisnya tatapan lo itu udah kayak setan tahu nggak! Kayak di film-film horor gitu."
"Halah, lo aja kali korban sinetron."
Adela mencebik, "Lagian ada apa sih, Nad? Kenapa tiba-tiba mau pindah sekolah? Lo nggak suka lagi yah sahabatan sama gue. Kok lo jahat banget sih, Nad. Gue salah apa?" ucap Adela panjang lebar, sedangkan kini Nada mendelik lagi.
"Please, Del. Kasih gue waktu buat berpikir. Nanti gue pasti cerita kok sama lo, gue perlu jernihin pikiran nih. Gue mau ke bawah dulu ya, maaf, Del." Usai berkata demikian Nada beranjak meninggalkan Adela dengan segala rasa ingin tahunya.
Adela mengernyit sambil menatap punggung temannya itu, "Lo kenapa sih, Nad? Kok aneh," gumam Adela.
***
Meski ragu, kaki jenjang Nada tetap melangkah perlahan menghampiri kelas barunya, sebenarnya dia tak masalah akan ditempatkan di kelas mana, tapi satu hal yang ia tak suka yakni ada Zada yang satu kelas dengannya. Kakinya tepat berhenti di depan sebuah pintu kelas bercat cokelat dengan plakat kecil di atasnya bertuliskan XII.IPS.2, itulah kelas baru tempat Nada menghabiskan tahun terakhirnya di SMA Nusa Bhakti.
Dia masih mematung di sana sambil sesekali menghela napas panjang, lalu merapikan seragam dan rambutnya. Dia hanya ingin bersiap untuk segala hal ketika masuk ke kelas nanti.
"Ngapain masih di situ? Masuk gih." Suara seseorang terdengar di belakang Nada, ia memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Rezal—si jangkung kapten basket SMA Nusa Bhakti.
"Rezal, sorry. Silakan kalau mau masuk duluan." Nada menggeser tubuhnya agar Rezal bisa lewat.
"Kenapa lo nggak masuk juga, malu ketemu sama teman baru? Semua pasti udah kenal sejak kelas sepuluh, kan? Bukannya udah biasa diacak gini."
Ya, Nada tahu. Namun, bukan itu alasannya dia berlama-lama di depan pintu, Nada hanya sedang menata pikiran dan hati ketika menghadapi situasi di dalam kelas nantinya. Dia cukup mengenal Rezal, mereka pernah satu kelas.
"Gue, gue lagi tunggu teman aja kok. Lo duluan gih yang masuk," sahut Nada tergugu. Dia menyelipkan anak rambutnya yang tergerai ke belakang telinga.
"Ya udah, gue mau masuk dulu."
Nada tersenyum tipis ketika Rezal melewatinya, dia bernapas lega karena kini sendiri lagi. Namun, mata Nada menangkap sosok kepala sekolah yang kini melangkah ke arahnya dan membuat gadis itu buru-buru masuk ke kelas.
Sepasang matanya menemukan begitu banyak wajah baru—juga wajah lama yang sudah ia kenal—bahkan pernah satu kelas dengannya, tapi sosok yang ia pikir sudah berada di sana—rupanya tak ada di antara mereka dan membuat Nada bernapas lega, gadis itu duduk sendirian di kursi kosong paling belakang karena kursi bagian depan serta tengah sudah terisi penuh. Semua itu salahnya sebab tak langsung masuk kelas dan berebut kursi lebih dulu. Sistem sekolah juga selalu mengatur bangku anak kelas dua belas yang harus duduk sendirian.
Nada meletakkan ransel putih favoritnya di laci meja, ia mengedar pandang layaknya seseorang yang sedang mengawasi. Nada menyandarkan tubuhnya, jika ia sedang cemas pasti selalu menggigit ibu jari tangan kanan, Nada sedang melakukan itu sekarang. Nada memang begitu cemas untuk hari ini—bahkan mungkin selanjutnya sampai lulus nanti, dia tak bisa menggambarkan perasaannya yang tidak karuan setelah teringat lagi akan masa lalu dan membuatnya ragu bertemu Zada.
"Selamat pagi semua," sapa Bu Aini setelah masuk ke kelas.
"Pagi, Bu," jawab semuanya serempak.
Bu Aini adalah guru Bahasa Indonesia, tapi untuk kelas sebelas dan sepuluh dia merangkap jadi guru kesenian.
Untuk saat ini rasa cemas Nada mulai berkurang, dia duduk tegap dengan tenang, ia merapal doa semoga Zada tidak masuk atau paling tidak tulisan pada mading itu juga salah.
Tok-tok-tok!
Perhatian semua orang tertuju pada pintu kelas yang baru saja diketuk, dan si pelaku adalah laki-laki yang tak pernah Nada harapkan kedatangannya. Apa langit runtuh pagi ini?
Sepasang netra cokelat milik Nada melebar, ternyata dia salah duga. Laki-laki itu datang juga—bahkan lebih cepat dari yang ia perkirakan, Nada meraup wajahnya. Cobaan apalagi ini, batin Nada.
"Kamu baru datang? Ya udah pilih aja bangku yang masih kosong," perintah Bu Aini sambil menatap Zada yang masih berdiri di ambang pintu.
"Iya Bu, makasih."
Nada menoleh ke segala arah, ia makin mendelik setelah tahu satu-satunya kursi yang masih kosong terletak di sebelah kanannya alias posisi paling pojok. Tangan kanan Nada terulur ke depan dan menepuk bahu gadis yang duduk di sana.
"Eh, pindah posisi dong, please. Gue nggak mau duduk di sini, tolongin dong," rengek Nada seperti anak kecil yang takut saat pertama masuk sekolah.
Thalita menoleh. "Lo kenapa sih, Nad? Gue nggak suka duduk di belakang, lagian elo telat masuk dah jadi kebagian di situ."
Nada menggaruk kepalanya, dia sangat gemas dengan keadaan berlangsung sekarang—padahal tak mempertaruhkan hidup matinya.
"Sehari doang deh sehari, Tha. Please, gue nggak mau duduk di sini." Gadis itu terus saja merengek seolah tak punya pilihan lain untuk memohon.
"Thalita, Nada. Kalian debat apa?" tegur Bu Aini hingga Nada memutuskan tak mengusik Thalita lagi. Kini dia sudah pasrah atas segala kehendak Tuhan yang terjadi di kelasnya barunya.
Sosok Zada yang memakai hoodie hitam serta tas punggung dengan salah satu sling yang menggantung di bahu kiri berjalan santai menghampiri kursi kosong terakhir di kelas, Nada hanya bisa menunduk sambil mengatur napasnya. Andai tak ada Bu Aini pasti dia sudah berlari keluar dari kelas karena tak kuat berlama-lama di sana.
________