Hidup adalah tentang kita yang merangkai rasa, warna dan jutaan cerita.
____________
Derap kakinya cukup teratur ketika menyusuri lorong sepi di lantai dua, pasalnya kebanyakan penghuni SMA Nusa Bhakti sudah pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan Nada, dia masih sibuk mencari sesuatu ketika keadaan sudah cukup sepi. Gadis itu berbelok masuk ke lorong lain—tempat khusus ekskul musik yang lumayan sepi bahkan terkesan begitu gelap, mungkin hanya ia yang melangkah ke arah sana.
Kakinya berhenti tepat di depan sebuah pintu kayu bercat cokelat dengan papan keterangan di atasnya bertuliskan Ruang Musik. Nada menatap sekitar—berharap tak ada yang melihatnya di tempat itu. Setelah mengembuskan napas pelan, tangan Nada terulur menyentuh kenop pintu. Meski ragu dia menariknya ke bawah dan terbukalah ruang ekskul musik yang cukup luas itu.
Dia menyeret kakinya masuk meski tampak gelap, Nada menghampiri jendela dan menarik tirainya agar memberikan sedikit cahaya untuknya. Dia menatap sekeliling, masih tertata rapi dan lengkap alat musik seperti drum, perkusi, celo, seruling, gitar listrik atau pun kayu, bass, piano dan masih banyak lagi. Nada mendekati piano yang berada di pojokan ruangan gelap itu, dia meniup permukaan piano yang tertutup itu agar debu menghilang.
Lama, Nada tak menginjakkan kakinya di tempat itu. Terakhir kali saat akhir semester kelas sepuluh, saat itu dia sudah kehilangan semangat dalam hal belajar ataupun kegiatan ekskul di sekolah, Nada terlalu sibuk dengan Dena yang sudah terguncang kala itu.
Dia membuka penutup piano dan duduk di depan benda itu, tapi kedua tangan Nada hanya diam. Dia memejamkan mata perlahan lalu menarik mundur memori otaknya ketika ia masih kecil, saat usianya sekitar tujuh tahun.
Nada melihat Dena duduk di depan piano bersama Malla, Dena tampak antusias mengajari salah satu putrinya yang sudah berusia sembilan tahun itu. Mereka ada pada sebuah ruang khusus tempat menyimpan beberapa alat musik, saat itu Nada kecil hanya diam di ambang pintu seraya memperhatikan kedua orang itu menekan tuts-tuts piano hingga menimbulkan melodi yang cukup mengalun.
"Nanti Malla kalau ikut lomba juara satu ya, Nak?" Dena membelai kepala putrinya lalu mengecup dahinya dengan lembut.
Malla menoleh dan tersenyum bahagia, "Iya Ma, makasih udah mau ajarin aku main piano. Nanti pasti harapan Mama bisa terwujud kok." Malla berjanji pada sang ibu.
"Kok aku nggak diajarin sih, Ma?" protes Nada kecil yang masih berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang seraya mengerucut, dia tampak kesal.
Keduanya menoleh dan beranjak menghampiri Nada, Dena tersenyum melihat Nada yang menggemaskan itu meskipun dia sedang marah.
"Dari tadi kamu di situ? Kenapa nggak masuk aja sih, Kakak lagi main piano lagi sama Mama," terang Malla menatap adiknya yang tampak tidak peduli. Justru dia mengalihkan pandang-sengaja agar akting marahnya makin memuaskan.
Dena berjongkok di sisi Nada, lalu mengusap lembut rambut panjang gadis itu. "Sayang, ayo kita main sama-sama. Pasti Nada juga mau pinter seperti Kak Malla, iya?" tutur Dena dengan lembut, "nanti kalau Nada udah pinter juga bisa ikut lomba, bikin Mama sama Papa bangga, Nak."
"Iya Nad, nanti kalau menang lomba pasti dapat hadiah dari Mama sama Papa. Kamu nggak mau dapat hadiah tiga sekaligus?" Malla mencoba meyakinkan adiknya itu dan barulah Nada mau menoleh, dia menatap dua orang itu bergantian. Binar pada eboni itu kontras terlihat. "Beneran dapat tiga, Kak? Dari siapa aja?" Dia mulai tertarik.
"Dari juri lomba, Mama, sama Papa." Malla menjelaskan.
"Tapi kenapa Kak Malla nggak kasih Nada hadiah?" protes bocah tujuh tahun itu dengan polosnya-membuat Dena dan Malla saling tatap, mereka tersenyum menanggapi ocehan Nada.
Gadis itu mulai sesenggukan sambil menumpu kepala dengan kedua tangan meski di atas piano, air matanya yang hangat tak mau berhenti mengalir ketika teringat lagi salah satu dari ribuan kenangan memorable akan masa kecilnya.
Isak tangisnya makin mengurai, kerongkongan Nada terasa begitu sakit ketika dia masih saja sesenggukan. Jangkarnya masih bertahan di sana-rasa rindu pada Dena dan Malla. Dia jadi teringat sosok Dena yang mengajarinya cara melangkah, meniup luka pada siku serta lututnya ketika ia terjatuh akibat latihan mengayuh sepeda di sekitar komplek, Dena yang selalu menyuapinya makan setiap pagi ketika akan berangkat sekolah, Dena yang selalu membacakan dongeng ketika dia dan Malla hendak tidur.
Bahkan Nada juga rindu melompat di atas lingkaran trampolin bersama Malla di halaman belakang rumah saat mereka kecil, rindu pada Malla yang suka membawakan tas adiknya ketika kelelahan saat pulang sekolah, rindu pada Malla yang suka memarahinya ketika ia masih saja memakan permen serta ice cream.
Seluruh kenangan itu sangat menyiksa dirinya, dia ingin kembali seperti dulu ketika memiliki keluarga yang utuh dan bahagia. Salahkah mimpi seorang Nada?
Tanpa ia sadar sejak dirinya masuk ke ruang musik-seseorang sudah memperhatikannya dari ambang pintu, melihat gadis itu menangis membuat Zada makin tak mampu bergerak dan hanya mengawasinya dari jauh. Zada juga tak berani mendekat, dia tak ingin mengganggu gadis yang tengah bersedih itu. Sesekali Zada menelan saliva seraya menyugar rambutnya.
Hingga akhirnya Zada bisa beranjak pergi ketika Nada mulai mengusap air matanya, Zada tidak tahu apa yang gadis itu alami, tapi dia bisa menegaskan bahwa Nada sedang terluka sampai menangis begitu sendu. Dia melangkah keluar dari lorong tempat ekskul musik berada sambil menenteng kaus futsal kebanggan sekolah pada tangan kirinya.
"Lo ikutin gue, iya?"
Suara itu menghentikan langkah Zada dan membuatnya menoleh, dia menemukan Nada yang berdiri dengan jarak dua meter di belakangnya sambil menunjukan sembab yang cukup jelas.
Zada berpikir bagaimana caranya menjelaskan pada Nada kalau ia tidak sengaja melihat gelagat mencurigakan dari gadis itu ketika ia baru keluar dari toilet lantai dua, "Nggak sengaja kok, kebetulan aja lewat," elak Zada.
"Benar? Nggak lagi nguntit, 'kan? Pasti lo lihat gue nangis di dalam sana, iya, 'kan?" cecar Nada sedikit kesal, entah datang dari mana keberanian untuk berbicara lagi dengan Zada setelah mereka putus saat kelas sepuluh.
"Tenang, saya bukan tukang gosip sekolah kok. Jadi nggak mungkin bilang ke orang-orang kalau kamu nangis di ruang musik siang ini," ujar Zada.
"Bagus lah kalau begitu." Nada mulai melangkah dan melewati Zada begitu saja, Nada tak berani membalas tatapan Zada.
"Nada," panggil Zada begitu lirih ketika jarak mereka sudah terpaut tiga langkah.
Nada menghentikan langkahnya, "Kenapa?" ucapnya tanpa menoleh.
Zada balik badan melihat punggung gadis yang tengah membelakanginya. Dia menarik napasnya lalu mengembuskan perlahan.
"Apa kabar?"
Seketika hening, Nada memejamkan mata seraya menelan saliva. Dia tak pernah berpikir jika Zada akan bertanya hal itu setelah sekian lama mereka tidak saling sapa. Bibirnya terasa kelu untuk berucap, ternyata Nada memilih melanjutkan langkahnya daripada menjawab pertanyaan Zada. Laki-laki itu memilih diam, dia mencoba memahami situasi dan garis yang cukup tebal antara keduanya. Zada tak mengejar gadis itu atau mengikutinya, dia biarkan Nada terus melangkah hingga berlalu di tangga menuju lantai satu.
Buru-buru Zada bergerak ke arah pembatas lantai dua yang tingginya setara dengan pusar lalu melihat ke bawah menunggu gadis itu hingga benar-benar terlihat.
Beruntung, Nada sudah terlihat melangkah ke arah pos satpam atau lebih tepatnya pohon di mana dia meletakan sepedanya dengan aman. Terlihat gadis itu berjongkok saat membuka gembok yang melilit ban depan sepeda. Zada tersenyum tipis lalu meninggalkan lantai dua, sedangkan Nada kini sudah mengayuh sepedanya menjauh dari sekolah.
_________________
Sekitar pukul delapan malam Aji baru sampai di rumah, dia membuka pintu kamar Nada dengan pelan agar tak menimbulkan suara yang terlalu keras. Ternyata gadis itu belum tidur dan masih berkutat dengan buku di balik meja belajarnya yang menghadap langsung ke arah jendela berpelindung tralis besi itu, Nada duduk membelakangi sang ayah.
Aji mengulas senyumnya dan menarik lagi kenop pintu agar menutup.
"Papa baru pulang?" Ternyata Nada menoleh dan mendapati sang ayah yang baru menengoknya.
Aji membatalkan tutup pintunya, ia membuka lagi dan melangkah menghampiri Nada. "Iya, kamu belum tidur?"
Nada menatap ke arah jam bundar di atas pintu, "Baru jam delapan," katanya.
Aji duduk di atas tempat tidur Nada yang berukuran single, "Tadi Paoa baru tengok mama kamu."
Gadis itu beranjak dari kursi dan duduk di sebelah ayahnya, dia mengulas senyum tipis. "Makasih kalau Papa masih selalu tengok mama, andai ...."
"Andai apa?"
"Andai keadaan nggak begitu, Pa." Nada terlihat sedih, dia menarik napasnya pelan.
Aji menepuk bahu Nada, "Dengarkan Papa, hidup ibaratnya roda pedati. Kamu pasti paham, 'kan? Kamu harus selalu siap di mana posisi kamu sekarang, Nada."
Nada menatap Aji seraya mengangguk pelan, "Iya, Pa. Nada paham."
"Kita cuma berdua, kita pasti masih bisa utuh. Kamu titipan Tuhan sekaligus titipan Mama, sekarang Papa cuma punya kamu, Nad. Kalau nggak ada kamu mungkin Papa juga pilih cara seperti Malla."
"Nggak boleh begitu, aku di sini sama Papa, kita sama-sama hadapi semuanya. Kita kuat, Pa." Nada tersenyum tulus, membuat Aji memeluk putrinya.
"Makasih, Pa. Makasih buat semua yang udah Papa usahakan buat keluarga kita yang nggak utuh ini." Mata Nada menatap ke arah pigura besar yang menempel pada dinding kamarnya, terlihat foto keluarga Nada. Ada Dena yang sedang berdiri bersebelahan bersama Aji, serta kedua putrinya yang masih remaja berdiri di depan mereka sambil tersenyum menatap ke arah kamera dengan latar belakang sebuah kebun binatang.
"Apa pun Nad, semua akan Papa usahakan demi kita."
________