Keesokan harinya, Garcia pun membawa pulang Ruby ke rumah utama yang saat ini menjadi tempat tinggalnya sekembali ia dari luar negeri. Sebuah rumah yang mewah dan memiliki banyak pelayan, meski memang tak semegah mansion milik keluarga Dominic. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah tersebut, Garcia menceritakan latar belakangnya kepada Ruby.
Rupanya, setelah bercerai dengan mantan suaminya, Garcia memiliki kisah hidup yang cukup dramatis. Dia bertemu dengan seorang pengusaha kaya saat bekerja di sebuah club malam, lalu lelaki itu jatuh cinta padanya dan menikahinya begitu saja. Dalam sekejap, hidup Garcia berubah. Dia yang hanya seorang janda miskin, tiba-tiba menjadi seorang nyonya terhormat. Akan tetapi, dia jadi tak bisa bertindak sembarangan karena menjaga reputasi suami barunya, juga harus mempelajari banyak hal untuk menjaga martabatnya.
Saat suaminya itu meninggal, Garcia mendapatkan banyak warisan. Dia memilih untuk memindahkan sebagian besar asetnya ke tanah air dan mulai membangun koneksi, sampai akhirnya, sekarang dia bisa kembali. Lalu mengenai selama ini Garcia tak bisa berkomunikasi dengan ibunya Ruby, itu semua karena orang tua Ruby bekerja pada keluarga Dominic. Mendiang suami Garcia kebetulan pernah bersinggungan dengan keluarga tersebut dan memiliki hubungan yang buruk. Garcia diperingatkan untuk tak berhubungan dengan apapun yang berkaitan dengan keluarga tersebut, termasuk sahabat lamanya yang merupakan pelayan keluarga Dominic.
"Selamat datang di rumah, Nyonya dan Nona." Seorang lelaki paruh baya berpenampilan rapi menyambut kedatangan Garcia dan Ruby. Lelaki tersebut merupakan kepala pelayan di kediaman utama Garcia.
Di dalam rumah, Garcia langsung mengumpulkan para pelayan yang jumlahnya belasan orang, lalu memperkenalkan Ruby sebagai putrinya, juga memberitahukan Ruby akan tinggal di rumah tersebut mulai dari sekarang. Melihat reaksi para pelayan yang tak menunjukkan keterkejutan, sepertinya mereka telah diberitahu sebelumnya oleh Garcia. Sambutan yang begitu hangat juga dirasakan oleh Ruby, membuat hati wanita itu kembali dipenuhi perasaan yang tak perlu.
"Bill, antar Ruby ke kamarnya. Dia pasti lelah karena menempuh perjalanan jauh," perintah Garcia kepada kepala pelayan.
"Baik, Nyonya." Lelaki paruh baya bernama Bill itu mengiyakan sembari membungkuk hormat, kemudian ia beralih kepada Ruby. "Mari, Nona, saya antar ke kamar Anda."
"Baiklah." Ruby pun mengikuti Bill naik ke lantai atas. Ia lalu menghentikan langkahnya saat Bill berhenti di depan sebuah kamar.
"Ini kamar Anda, Nona. Semua keperluan Anda dan putra Anda sudah disiapkan di dalam. Kalau ada yang kurang atau Anda membutuhkan hal lain, Anda tinggal bilang pada pelayan," ujar Bill.
"Iya. Terima kasih, Pak Bill," sahut Ruby.
"Panggil Bill saja, tidak perlu pakai Pak. Nona adalah putri kandung Nyonya satu-satunya, itu berarti Nona juga majikan saya. Tidak perlu berbicara terlalu formal pada saya," ujar Bill lagi mengoreksi.
"Ah ...." Untuk sesaat, Ruby seperti kehilangan kata-kata. Jika sudah seperti ini, sepertinya dia benar-benar telah menjadi anaknya Garcia, terlalu serius untuk dibilang sekedar berpura-pura. Ruby seolah diingatkan jika dirinya harus memainkan peran dengan baik.
"Baiklah, terima kasih, Bill," ujar Ruby akhirnya, meralat panggilannya pada Bill.
"Kalau begitu, saya permisi dulu. Selamat beristirahat, Nona." Bill sedikit membungkuk di hadapan Ruby, lalu undur diri.
Ruby sendiri tercenung sejenak di depan pintu kamar hingga Bill menghilang dari pandangannya, barulah kemudian dia masuk ke dalam kamar. Untuk ke sekian kalinya, Ruby dibuat terperangah. Kamar yang disiapkan untuknya itu benar-benar luas, bahkan jauh lebih luas daripada kamar di apartemen yang digunakan oleh Ruby dan Arslan dulu. Semua barang keperluan Ruby dan Arthur telah tersedia, juga ada sebuah tempat tidur untuk bayi yang diletakkan tak jauh dari tenpat tidur Ruby.
Segera Ruby merebahkan Arthur yang terlelap di tempat tidur bayi tersebut. Setelah itu, Ruby juga ikut duduk di pinggiran tempat tidur miliknya. Untuk sejenak, dia kembali melamun, masih tak menyangka dengan banyaknya hal baik yang ia dapatkan setelah dicampakkan oleh Arslan. Bisa dibilang, kedatangan Garcia ke dalam hidupnya adalah sebuah anugerah. Terlepas dari apakah wanita itu memiliki motif tersembunyi atau tidak terhadap Ruby, yang jelas Ruby sudah merasa sangat terbantu. Selamanya Ruby akan mengingat Garcia sebagai penyelamatnya.
Setelah Ruby beristirahat selama beberapa saat, seorang pelayan datang ke kamar Ruby, memberitahukan jika Garcia telah menunggu Ruby di meja makan untuk makan siang bersama. Ruby pun bersiap dan turun ke lantai bawah dengan membawa serta Arthur.
"Halo, cucu Oma. Apa tidur siangmu di kamar baru nyenyak, Sayang?" Garcia langsung mengambil alih Arthur.
Arthur menanggapi sapaan Garcia dengan tertawa riang dan mengoceh tak jelas.
"Kamu makanlah lebih dulu, Ruby. Biar Mama yang menjaga Arthur lebih dulu," ujar Garcia kemudian pada Ruby.
Ruby ingin menolak, tetapi pada akhirnya dia menuruti kata-kata Garcia saat melihat betapa riangnya Arthur berada dalam gendongan wanita paruh baya itu, seolah menganggap jika Garcia memang neneknya.
Ruby pun menyantap makan siangnya dengan tenang. Setelah dia selesai, barulah ia mengambil kembali Atrhur dari pangkuan Garcia agar Garcia juga menyantap makan siangnya.
"Ruby, siang ini, lakukanlah perawatan di salon dan pergilah ke butik untuk membeli sebuah gaun," titah Garcia sembari memasukkan satu suap makanan ke dalam mulutnya.
"Ya?" Ruby tampak sedikit bingung karena tak pernah sebelumnya Garcia memerintahkan hal seperti itu padanya.
"Tadi Tuan Grey menghubungi dan ingin bertemu denganmu malam ini," lanjut Garcia lagi.
"Tuan Grey?" ulang Ruby lagi, kali ini sembari sedikit mengerutkan keningnya. "Siapa Tuan Grey, Ma?" Sebutan mama masih begitu canggung keluar dari mulut Ruby.
"Calon suamimu." Garcia menjawab tanpa beban, sementara Ruby tampak hampir saja tersedak mendengar ucapannya.
"Apakah ini tidak terlalu cepat?" tanya Ruby kemudian setelah menetralkan raut wajahnya.
"Tuan Grey tidak ingin membuang-buang waktu. Kita juga tidak bisa melepaskan kesempatan ini."
Ruby menoleh ke kikri dan kanan, memperhatikan sekitanya. Dia merasa sedikit khawatir mendengar Garcia berbicara segamblang ini, padahal bisa saja pelayan mendengar. Tetapi rupanya para pelayan telah menjauh dan tak kelihatan satu pun setelah tadi menyiapkan menu makanan di meja makan.
"Apa dia tahu kalau saya memiliki seorang anak?" tanya Ruby lagi. "Terus terang, saya tidak sanggup jika harus mengorbankan anak saya."
"Aku sudah mengatakan padanya jika kamu memiliki bayi berusia tiga bulan. Sepertinya, dia tak mempermasalahkan hal itu. Dia bahkan tak berkeberatan menjadikan anakmu sebagai anaknya juga secara hukum, asalkan kamu bisa benar-benar diajak bekerja sama." Garcia menyahut.
Ruby terdiam dan tampak tak percaya dengan kata-kata yang Garcia ucapkan barusan.
"Benarkah seperti itu?" Ruby bertanya setengah bergumam.
"Kamu harus menemui lelaki itu sendiri dan berbicara secara langsung dengannya," saran Garcia. "Jika kalian benar-benar menikah, maka akan banyak keuntungan yang kamu dapatkan. Semua itu juga akan baik untuk Arthur."
Ruby kembali terdiam seolah sedang mempertimbangkan. Sepertinya, dirinya memang harus menemui lelaki bernama Tuan Grey itu untuk memberikan penilaian secara langsung.