Tak Diinginkan
"Tanda tangani ini segera!" Nyonya Rose melempar secarik kertas tepat mengenai wajah Ruby. Kertas tersebut tak lain adalah surat pengajuan perceraian. Tatapan penuh kebencian terlihat jelas di mata Nyonya Rose untuk Ruby, sosok menantu yang sangat tak ia inginkan.
Surat pengajuan perceraian tersebut akhirnya jatuh di dekat kaki Ruby, tanpa ada niat sama sekali dari Ruby untuk memungutnya. Perempuan muda itu hanya menghela napas sejenak sambil menatap ke arah Nyonya Rose dengan sorot mata yang tak dapat diartikan. Tentu saja bagi Nyonya Rose hal itu adalah sebuah tindakan kurang ajar. Meski Ruby hanya diam dan tak mengatakan apapun, tapi jelas terlihat perlawanan dari tatapan matanya.
"Ambil dan tanda tangani surat perceraian itu!" Nyonya Rose mengulangi perintahnya dengan nada menyentak. Kali ini jika Ruby masih memilih diam, maka kesabaran Nyonya Rose pasti akan benar-benar habis.
"Saya tidak mau." Akhirnya Ruby menjawab. Sebuah jawaban yang tentu saja membuat Nyonya Rose merasa amat murka.
"Tidak mau katamu?" Nyonya Rose bertanya dengan rahang yang mengeras karena emosi.
"Tidak ada alasan bagi saya untuk bercerai dari Arslan. Hubungan kami baik-baik saja. Saya bisa memahami jika saat ini Anda belum bisa menerima saya sebagai menantu, tapi tentu saja Anda tidak bisa membuat kami bercerai sesuka hati seperti ini." Ruby menjawab Nyonya Rose dengan tenang.
Sorot mata Nyonya Rose terlihat semakin nyalang. Napasnya terlihat mulai naik turun secara tak beraturan, menandakan jika Nyonya Rose telah tersulut emosinya. Sebagai seorang nyonya besar yang kata-katanya tak pernah diabaikan, tentu saja jawaban Ruby barusan terdengar seperti sebuah penghinaan yang luar biasa.
"Kau!" Telunjuk Nyonya Rose ngarah telat di wajah Ruby. "Kau benar-benar manusia paling tak tahu malu yang pernah aku temui!"
Ruby mengatup mulutnya dengan perasaan yang bergemuruh hebat. Sekuat tenaga dia berusaha untuk tak terlihat rapuh di hadapan Nyonya Rose. Dia sudah bertekad untuk menerima segala konsekuensi dari keputusannya menikah dengan Arslan.
"Dengarkan aku selagi aku masih mengatakannya secara baik-baik seperti sekarang. Tanda tangani surat perceraian ini dan pergilah sejauh mungkin dari sisi putraku. Aku akan memberimu uang sebanyak yang kau inginkan. Aku tahu, kau menjerat putraku demi kemewahan, tapi kau terlalu serakah jika menginginkan posisi nyonya muda Dominic. Ingatlah siapa dirimu! Ingatlah siapa kedua orang tuamu! Keluargaku sudah berbaik hati mempekerjakan kedua orang tuamu, sehingga mereka bisa membesarkan dirimu dengan layak. Tapi apa yang kau lakukan? Kau malah menjerat putraku!" Nyonya Rose menghela napasnya sejenak, berusaha untuk meredam emosinya. Sebagai seorang nyonya dari keluarga terhormat, tentu dia harus tetap bermartabat meski dalam keadaan marah.
"Saya tidak menjerat Arslan, Nyonya. Kami saling mencintai–"
"Tutup mulutmu!" Nyonya Rose menyentak marah sebelum Ruby menyelesaikan ucapannya.
"Kau pilih sendiri, akhiri hubunganmu dengan Arslan sekarang dan pergi dengan sejumlah uang yang aku berikan. Atau jika kau masih bersikeras, Arslan sendiri yang akan membuangmu! Aku memberi pilihan karena masih memiliki hari nurani. Tapi jika kau masih memilih untuk serakah, maka jangan salahkan aku jika kau akan dibuang dengan cara yang kejam dan tak pernah kau bayangkan." Nyonya Rose menambahkan dengan nada mengancam.
Mata Ruby sedikit melebar mendengar ancaman itu. Tentu saja ada terbesit rasa takut dan khawatir di hatinya, tapi dia tetap menguatkan diri karena telah berjanji pada Arslan untuk tak goyah sedikitpun, meski harus menghadapi sebuah badai sekalipun.
"Saya sudah berjanji pada Arslan untuk tidak mudah menyerah. Kami saling mencintai, Nyonya. Kami akan menghadapi apa saja asalkan bisa tetap bersama," sahut Ruby, berusaha untuk tak gentar.
"Saling mencintai? Cih, omong kosong! Putraku saat ini mungkin sedang tertarik padamu, tapi terlalu menggelikan jika kau bilang kalian saling mencintai. Kau tidak mencintai Arslan, tapi hanya menginginkan status sosial yang tinggi serta kemewahan yang dimiliki oleh putraku itu. Dan Arslan, apa kau pikir dia peduli dengan cinta? Kau bermimpi terlalu tinggi, Ruby! Dan kau terlalu tak tahu diri. Hanya karena Arslan sedang menyukaimu, beraninya kau mengambil kesempatan untuk memaksa masuk ke dalam keluargaku. Kau pikir, kau pantas menyandang nama Dominic?" Nyonya Rose tersenyum miring dengan sorot mata penuh penghinaan.
Ruby hanya bisa menghela napas panjang, meredam gemuruh yang terasa semakin menyesakkan d**a. Dirinya memang bukan apa-apa jika disandingkan dengan keluarga Dominic. Mendiang ayahnya hanyalah sopir pribadi yang mengabdi pada keluarga tersebut. Sedangkan ibunya adalah seorang pelayan yang setiap harinya bertanggung jawab membersihkan setiap sudut rumah keluarga itu.
Benar yang dikatakan oleh Nyonya Rose tadi. Berkat pekerjaan tersebut, kedua orang tua Ruby bisa menyekolahkan dirinya. Berkat itu pula, Ruby bisa mendapatkan gelar dan bergabung di perusahaan Dominic, meski sebagai karyawan biasa. Sampai akhirnya, karena kinerjanya yang luar biasa, Ruby diangkat menjadi sekretaris pribadi Arslan Dominic, sang wakil direktur dari perusahaan tersebut sekaligus sang putra mahkota yang akan segera menggantikan kedudukan direktur saat ini.
Dari sanalah kisah antara Ruby dan Arslan dimulai. Mungkin karena sering menghabiskan waktu bersama dan merasa nyaman, keduanya saling jatuh cinta. Awalnya, Ruby menolak jalinan cinta itu karena menyadari jurang perbedaan di antara mereka. Tapi Arslan terus meyakinkan jika mereka bisa menghadapi semua perbedaan yang ada. Arslan yang begitu dingin pada perempuan lain, tapi begitu penuh perhatian kepada Ruby. Lalu bagaimana bisa Ruby tak luluh dibuatnya?
Salahkah jika pada akhirnya mereka memilih mengabadikan perasaan cinta itu dalam sebuah ikatan pernikahan? Apakah itu termasuk ke dalam sebuah keserakahan?
"Ini peringatan terakhir dariku, Ruby, sekaligus kesempatan satu-satunya yang aku berikan untukmu. Jika kau tetap bersikeras pada keputusanmu saat ini, maka siap-siap saja menghadapi konsekuensinya. Bersedia atau tidak kau menandatangani surat cerai saat ini, aku pastikan Arslan tetap akan meninggalkanmu. Hanya saja, aku memberimu penawaran karena sedikit rasa simpatiku padamu." Ucapan sinis Nyonya Rose kembali terdengar, membuyarkan lamunan Ruby.
Ruby sedikit mendongakkan wajahnya. Dari raut wajah Nyonya Rose saat ini, jelas terlihat jika perempuan paruh baya itu tak main-main dengan ucapannya. Nyonya Rose pasti akan melakukan segala cara untuk memisahkan Ruby dan Arslan.
"Semoga kau tak menyesali tindakanmu hari ini yang menolak tawaranku. Jangan salahkan siapapun atas apa yang terjadi nanti, karena aku sudah memberimu peringatan serta penawaran." Nyonya Rose sekali lagi menekankan dengan nada tajam sebelum akhirnya meninggalkan kamar apartemen yang kediaman Ruby dan Arslan selama beberapa waktu terakhir.
Sepeninggal Nyonya Rose, Ruby tampak bersandar di balik pintu apartemen dengan wajah yang sedikit menengadah. Hatinya risau dan perasaannya menjadi bimbang. Harga dirinya jelas terhina, tapi di samping itu, yang lebih menakutkan adalah membayangkan apa yang akan Nyonya Rose lakukan pada dirinya dan juga Arslan. Benarkah Arslan akan meninggalkannya demi sang ibu dan mengingkari janji pernikahan yang telah mereka ikrarkan di hadapan Tuhan?
Baru dua minggu Ruby dan Arslan menikah. Harusnya saat ini mereka sedang menikmati bulan madu dan menghabiskan waktu romantis berdua. Tapi apa mau dikata, kepahitan demi kepahitan harus Ruby telan. Arslan bahkan sudah dua hari tidak pulang karena ada hal yang begitu mendesak di perusahaan. Lalu sekarang ibu mertuanya juga datang dengan membawa sebuah peringatan.
Apakah semua ini adalah awal dari penderitaan yang harus Ruby tanggung karena berani menerima pinangan seorang lelaki sempurna seperti Arslan?