Sebuah Kesepakatan

1056 Words
"Mia, selamat datang." Ruby menyambut kedatangan Mia yang mendadak siang itu. Sebelumnya, setelah diberitahu oleh Garcia jika dirinya harus bertemu dengan Tuan Grey nanti malam, Ruby meminta agar Garcia mendatangkan Mia ke kediaman utama. Pasalnya, Ruby hanya percaya menitipkan Arthur pada Mia saja. "Wah, Nona. Saya senang sekali karena Nona meminta saya untuk menyusul kemari. Belum apa-apa, saya sudah rindu sekali pada Tuan Muda Arthur," ujar Mia dengan wajah semeringah. Ruby sedikit tertegun mendengar panggilan tuan muda yang Mia sematkan untuk sang putra. Mungkin karena Garcia yang mengakui dirinya sebagai putri kandung, maka posisi Arthur pun otomatis menajdi seorang tuan muda di keluarga itu, mengingat Garcia tak memiliki anak lain bersama mendiang suaminya. "Ayo, ikut aku ke kamar. Arthur sekarang sedang tidur," ajak Ruby. Mia mengikuti Ruby naik ke lantai atas, menuju kamarnya. Bisa Ruby lihat, pelayan itu tampak kagum dengan interior kediaman utama milik Garcia itu. "Aku sudah meminta pada Nyonya Garcia agar kamu terus bekerja di sini untuk menjaga Arthur," ujar Ruby. "Ah, maksudku, aku meminta pada ibuku." Ruby meralat panggilannya pada Garcia. Mia hanya tersenyum menanggapi, berusaha untuk memahani jika Ruby mungkin masih beluim terbiasa memanggil Garcia dengan sebutan ibu. "Terima kasih sudah mempercayai saya, Nona. Saya senang sekali bisa terus menjaga Tuan Muda," sahut Mia. Saat mereka tiba di kamar, Arthur masih terlelap dengan sangat nyenyak. Ruby langsung memberitahu Mia jika dirinya akan pergi sampai malam. Ada stok asi yang telah Ruby simpan di lemari pendingin. Nanti tinggal dihangatkan jika Arthur lapar. "Tolong jaga Arthur, ya," pinta Ruby pada Mia sebelum dia pergi. "Jangan khawatir, Nona. Saya pasti akan menjaga Tuan Muda dengan baik. Dia tidak akan menangis mencari Nona jika bersama saya," sahut Mia. "Kalau begitu, terima kasih." Ruby sekali lagi menatap sang putra yang sedang terlelap, sebelum kemudian berlalu. Dengan diantar oleh seorang sopir, Ruby pergi ke sebuah salon yang sebelumnya telah direservasi oleh Garcia untuk melakukan serangkaian perawatan. Setelah itu, dia juga pergi ke sebuah butik langganan Garcia untuk mencoba beberapa gaun yang telah disiapkan oleh pemilik butik. Sebelumnya, Garcia memang telah menghubungi pemilik butik itu terlebih dahulu. Meski hanya melakukan perawatan dan memilih sebuah gaun, rupanya hal tersebut memakan waktu yang cukup lama. Menjelang malam hari, barulah Ruby selesai. Beruntung ia masih sempat di-make up oleh pihak salon agar penampilannya semakin sempurna. Ruby tiba di tempat dirinya akan bertemu dengan lelaki bernama Tuan grey itu, tepat lima menit sebelum waktu yang dijanjikan. Tempat tersebut adalah sebuah restoran yang cukup mewah dan menawarkan privasi bagi pengunjungnya. Seorang pelayan langsung datang dan mengantar Ruby ke sebuah meja yang telah direservasi sebelumnya. Ruby duduk dan menghela napas beberapa kali. Dia merasa sedikit tegang karena membayangkan seperti apa lelaki yang akan menikah kontrak dengannya itu. Apakah dia seorang lelaki paruh baya yang memiliki tubuh tambun dan perut buncit? Ah, membayangkannya saja cukup membuat tubuh Ruby meremang. "Nona Ruby?" Terdengar suara seorang lelaki menyapa, membuat Ruby menoleh. Untuk sesaat Ruby terkesiap melihat sosok yang mmanggil namanya tadi. Dia lelaki dengan tubuh yang tinggi dan tegap, juga dengan tatapan tajam dan sedingin es. "Benar Anda Nona Ruby?" ulang lelaki itu lagi. "Ah, iya." Ruby langsung berdiri. "Apa Anda Tuan Grey?" "Iya." Lelaki itu mendekat sampai berada persis di hadapan Ruby. "Perkenalkan, saya Hayden Grey," ujarnya sembari mengulurkan tangan. Ruby langsung menyambut uluran tangan tersebut. "Ruby ... Atalarie." Agak canggung Ruby menyebut nama belakangnya, karena nama tersebut bukanlah nama aslinya. Setidaknya, dia lega karena lelaki itu bukanlah lelaki tambun dan buncit seperti bayangannya tadi. Lelaki itu mengangguk, lalu duduk di tempat duduknya. Ruby pun melakukan hal yang sama. "Tuan Grey--" Ruby hendak membuka pembicaraan, tetapi lelaki di hadapannya langsung menyela. "Hayden saja," pintanya sembari menunjukkan ekpresi yang sedikit lebih ramah. "Ah,, ya ... Hayden." Ruby mengangguk dan tersenyum canggung. "Anda pasti sudah mendengar situasi saya dari Nyonya Gracia." "Benar." "Lalu apa Anda tidak merasa keberatan?" Ruby bertanya. "Tidak." Raut wajah Hayden langsung berubah menjadi serius. "Karena latar belakang Nona itu justru menguntungkan saya." Ruby tertegun sejenak, tak mengerti dengan apa yang Hayden ucapkan padanya. "Sebelum menikah dengan Arslan Dominic, Nona lebih dulu bekerja sebagai sekretaris pribadinya selama bertahun-tahun. Benar, kan?" "Ya." Ruby menyahut dengan agak ragu, mencoba meraba kemana arah ucapan Hayden barusan. "Itu adalah hal yang menguntungkan untuk saya. Nyonya Garcia sebenarnya tidak mengetahui alasan yang sebenarnya kenapa saya tertarik membawa Nona berada di sisi saya." Hayden berujar sembari memperlihatkan raut wajah yang tak bisa ditebak. Ruby menahan napasnya sejenak. Tak butuh waktu lama baginya untuk menyadari jika lelaki di hadapannya ini adalah sosok yang berbahaya. "Arslan Dominic, lelaki menyebalkan itu sulit sekali untuk ditumbangkan. Saya yakin, Nona pasti tahu setidaknya satu saja kelemahannya," lanjut Hayden lagi. Untuk sesaat, Ruby menatap ke arah Hayden. Seketika dia mengingat sesuatu yang sebelumnya dia lupakan. Dia akhirnya ingat siapa itu Hayden Grey. Pantas saja, sejak awal mendengar nama Grey, dirinya merasa seperti familiar. Lelaki itu adalah rival Arslan yang dulu sekali pernah Arslan ceritakan padanya. Lelaki yang pernah Arslan sebut sebagai seekor ular berbisa. Hanya saja, selama ini Ruby memang tak pernah tahu seperti apa wajahnya. "Ah ... Astaga ...." Ruby bergumam pelan. Takdir macam apa ini? Setelah pengkhianatan menyakitkan yang Arslan lakukan, bagaimana bisa sekarang sia harus terlibat dengan lelaki yang bahkan jauh lebih berbahaya? "Ada masalah, Nona Ruby?" Hayden bertanya saat melihat perubahan raut wajah Ruby. "Tidak." Cepat-cepat Ruby menggeleng. Sepertinya, sudah terlambat baginya untuk mundur. Nyonya Garcia juga pasti akan mereka kecewa jika dirinya mengubah keputusan secara tiba-tiba setelah bertemu dengan Hayden Grey. "Jika memang tak ada masalah, saya akan menawarkan sebuah kesepakatan untuk Nona," ujar Hayden. "Saya akan meberikan status dan juga kekuatan untuk Nona, sedangkan Nona akan memberikan semua informasi yang Nona ketahui tentang Arslan Dominic. Saya rasa, ini akan saling menguntungkan kita berdua?" Ruby terdiam sejenak, tak langsung memberikan jawaban. "Bukankah tujuan kita sama? Kita berdua sama-sama ingin melihat lelaki menyebalkan itu hancur. Iya, kan?" Hayden bertanya dengan agak memprovokasi. Benar. Alasan Ruby bertahan sejauh ini meski telah dihempaskan oleh Arslan ke dasar jurang, tak lain karena ia ingin membalas dendam pada lelaki itu. Jika saja tak ada hasrat untuk membalas dendam, mungkin dia lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya saat mendengar berita kematian sang ibu. Lalu apa masalahnya jika dalam prosesnya, ia harus bekerja sama dengan musuh Arslan? Toh, musuh dari musuh adalah teman, kan? "Baiklah, mari kita bekerja sama, Tuan Grey," ujar Ruby akhirnya dengan sebuah tekad semakin ia bulatkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD