Harapan yang Hampir Sirna

1011 Words
Beberapa bulan berlalu setelah kedatangan Garcia. Perut Ruby yang tadinya masih rata, kini telah membulat sempurna. Bulan ini, Ruby bahkan telah masuk bulan perkiraan dirinya akan melahirkan. Akan tetapi, tak ada kabar lebih lanjut dari wanita yang mengaku sebagai sahabat ibunya itu. "Bu Sipir, apakah wanita yang mengujungiku waktu itu tidak pernah datang sama sekali setelah kedatangannya waktu itu?" Ruby bertanya pada seorang sipir yang siang itu mengantarkan jatah makanan untuknya. "Tidak," sahut sipir itu singkat. "Tidak pernah menitipkan surat atau barang juga?" tanya Ruby lagi. Dia sangat berharap setidaknya Garcia memberinya kabar atau semacamnya. "Tidak ada." Sipir itu kembali menjawab singkat, sebelum akhirnya meninggalkan Ruby yang masih termangu dengan raut wajah yang tak dapat dijabarkan dengan kata-kata. Ruby menghela napasnya dan berusaha untuk baik-baik saja. Dia harusnya memang tak terlalu berharap pada janji yang diucapkan oleh seseorang yang baru pertama kali ditemuinya. Bahkan Arslan yang telah dia kenal dari kecil saja bisa menipunya, apalagi Garcia, kan? "Kenapa juga aku percaya pada kata-kata wanita itu," gumam Ruby dengan nada ironi. Dia sekarang merutuki dirinya sendiri yang lemah dan gampang sekali dibohongi oleh orang lain. Pantas saja jika selama ini ia bisa tertipu oleh perlakuan Arslan dengan mudah. Semuanya itu memang karena dirinya yang terlalu gampang mempercayai orang lain. Akan tetapi, ada satu hal yang cukup membuat Ruby heran, yakni menu makanan yang diberikan kepadanya saat ini jauh lebih layak setelah kedatangan Garcia waktu itu. Jika sebelumnya, saat siang seperti ini Ruby hanya mendapatkan jatah makan berupa sepotong roti keras bersama sup yang encer dan membuat mual, sekarang yang terhidang di hadapan Ruby adalah sandwich yang terlihat menggiurkan, juga salad sayuran yang tampaknya juga ditambahkan irisan daging ayam panggang. Tak lupa ada fresh milk dan potongan buah segar juga. Meski pikirannya sedang kusut karena merasa telah dibohongi oleh Garcia, tetapi perut Ruby tetap saja merasa lapar. Mungkin karena ada bayi di dalam perutnya, sehingga rasanya ingin selalu makan tak peduli meski perasaannya sedang tak menentu sekalipun. Perlahan Ruby meraih sandwich yang sangat menggiurkan itu dan mulai mengigitnya. Dia tertegun sejenak saat merasakan cita rasa yang begitu sempurna memenuhi mulutnya. Ada isian daging ikan salmon di dalam sandwich tersebut. Jelas itu adalah makanan mahal yang tak mungkin disiapkan oleh pihak penjara begitu saja, meskipun dirinya sedang hamil. Ruby ingat jika jatah makanan untuknya mulai berubah menjadi berkualitas tak lama berselang setelah kedatangan Garcia. Dia sempat berpikir jika Garcia yang telah melobi pihak sipir. Akan tetapi, saat Ruby bertanya pada sipir yang datang membawakannya jatah makanan, jawaban yang didapatnya selalu tidak memuaskan. Intinya, sipir itu selalu berkilah jika kepala penjara sendiri lah yang telah mengeluarkan kebijakan jika terpidana yang hamil harus mendapatkan makanan yang baik. Semua itu terlalu sulit dipercaya. Akan tetapi, mengira jika Garcia yang telah mengatur semua itu juga agaknya terlalu berlebihan, mengingat sampai detik inipun wanita itu tak menunjukkan batang hidungnya lagi. Meski kehamilan Ruby bisa dibilang tak memiliki masalah yang berarti, tetapi karena sekarang dirinya sedang hamil tua, ia semakin sering mendapatkan pemeriksaan medis. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya saja, akhir-akhir ini Ruby mengalami semacam kegelisahan yang memicunya mengalami mimpi buruk saat tidur. Mungkin karena memikirkan akan melahirkan di dalam penjara, Ruby menjadi sedikit tertekan. Seumur hidupnya, tak pernah sama sekali Ruby membayangkan akan mengalami situasi semacam ini. Setelah makan siang, Ruby mengambil majalah bisnis yang waktu itu dikirimkan seseorang padanya. Entah untuk ke berapa kalinya dia kembali membuka dan membawa isi majalah tersebut. Itu adalah satu-satunya yang bisa dia baca untuk menghilangkan kebosanan. Tak peduli jika ada tulisan yang begitu menyakitkan untuknya di dalam sana, dia tetap membaca. Semakin sering Ruby membaca artikel tentang pertunangan Arslan dan Gwen di majalah tersebut, makin terasa mati juga hatinya. Sekarang Ruby tak memiliki keinginan untuk menangis lagi, tetapi hasrat membalas dendam di dalam dirinya menjadi semakin kuat. "Tahanan 207!" Suara sipir yang memanggil namanya, membuyarkan lamunan Ruby. "Waktunya kembali melakukan pemeriksaan kandunganmu," ujar sipir itu sembari membuka gembok sel tahanan Ruby. "Pemeriksaan kandungan? Bukannya itu baru dilakukan dua hari yang lalu?" tanya Ruby sedikit heran. "Sudah hampir dekat waktumu melahirkan, jadi pemeriksaan kandungannya akan semakin intens. Lebih baik kamu tidak usah banyak protes," sahut sipir itu dingin. Ruby terdiam sejenak. Biasanya sipir iru memang bukanlah orang yang ramah, tetapi entah kenapa sekarang terasa lebih galak daripada biasanya. "Baiklah," ujar Ruby akhirnya. Disimpannya kembali majalah yang sebelumnya ia baca, lalu beranjak keluar dari ruangan sel tahanan. Tangan Ruby lebih dulu diborgol, sebelum akhirnya dia mengikuti sipir yang memborgolnya itu dari belakang. Di belakang Ruby sendiri ada dua orang sipir lagi yang mengawalnya. Dalam hati, Ruby agak keheranan dibuatnya. Saat melakukan pemeriksaan kandungan sebelum-sebelumnya, rasanya tak sampai seperti ini, karena klinik kesehatan tempat dilakukannya pemeriksaan masih berada di dalam areal penjara. "Apa kita akan melakukan pemeriksaan kandungan di luar penjara?" Ruby bertanya dengan semakin heran tatkala sipir yang diikutinya berjalan ke arah luar penjara. Saat ini, mereka bahkan telah sampai ke area pintu belakang. "Diamlah! Lebih baik kamu tidak banyak bertanya," sahut sipir yang berada di belakang Ruby. Ruby mengatup mulutnya. Meski merasa ada yang tidak beres, dia memilih untuk menurut saja. Kemudian, sampailah mereka di depan sebuah mobil yang juga tak kalah mencurigakan, pasalnya kacanya tak tembus pandang dari luar. "Masuklah ke dalam sana!" Sipir di depan Ruby memerintahkan dengan tegas sembari membuka kunci borgol di tangan Ruby. Ruby yang semakin keheranan tampak memandangi tangannya yang sekarang terlepas dari borgol. Dia menatap ragu, tapi akhirnya tetap melakukan seperti yang diperintahkan oleh sipir tersebut. Ruby masuk ke dalam mobil tersebut. "Halo, Ruby. Apa kabar?" Seseorang langsung menyapa Ruby setelah Ruby berada di dalam mobil. "Nyonya Garcia?" Mata Ruby seketika membeliak sempurna tatkala menyadari siapa yang berada di kursi belakang kemudi. Garcia menoleh ke kursi belakang dan tersenyum pada Ruby. "Aku datang menjemputmu. Maaf kalau kamu menunggu terlalu lama." "Ganti pakaianmu dengan ini, Ruby. Setelah itu, kita tinggalkan tempat ini untuk selama-lamanya," ujar Garcia lagi sambil menyodorkan sebuah paper bag pada Ruby. Ruby menerima paper bag tersebut dengan tatapan yang masih tertuju pada Garcia lekat. Dia masih tak percaya jika wanita paruh baya itu benar-benar datang untuk menjemputnya di saat harapannya hampir saja sirna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD